"Aku ingin mengajak kalian semua makan malam." Demikian yang disampaikan Gyarendra kepada tunangannya, Magdalyn.
Bu Jena lewat di belakang mereka dan menyahut, "Ohh, kebetulan kami belum makan malam." Padahal Beliau baru saja memasak. Tapi jika bisa berinteraksi lebih banyak dengan calon menantu kebanggaan, apa salahnya? Makanan yang tadi baru selesai dimasak bisa disimpan untuk besok pagi.
Magdalyn tersenyum, dia paham ibunya sangat senang jika menghabiskan waktu dengan tunangannya ini. "Aku akan ganti baju dulu, yah!" Ia pun berjalan ke kamar untuk mengganti baju dengan yang lebih pantas.
"Ohh, Mama akan bilang ke Vava dulu untuk juga bersiap-siap!" Bu Jena teringat dan dia pun pamit kembali ke dalam untuk mengajak putri bungsunya ikut makan malam di luar bersama Gyarendra.
Pintu kamar Giavana dibuka pelan dan Bu Jena mendapati bungsunya sedang rebah telungkup sembari menonton film dari laptop. "Ihh, anak gadis, kerjaannya di depan laptop melulu!"
Giavana terpaksa menekan tombol pause dulu sebelum menanggapi ibunya. "Kenapa, sih Ma? Mendingan nonton film daripada jadi tontonan, kan?" kilahnya.
"Isshh! Kau ini paling pandai menjawab, yah!" Bu Jena makin melangkah masuk mendekati sang putri.
"Makasih untuk pujiannya, Ma." Giavana meringis dan bersiap untuk melanjutkan acara nonton drama action yang sedang dia ikuti di salah satu platform menonton berbayar yang ternama.
Tapi, Bu Jena buru-buru duduk di sebelah putrinya sambil berkata, "Va, ganti baju, gih!"
Tangan Giavana urung menekan tombol di laptopnya dan menoleh ke ibunya. "Kok ganti baju?" Ada perasaan tak enak seketika masuk ke hatinya.
"Calon kakak iparmu mengajak kita semua makan malam di luar. Gih, cepat ganti bajumu!" Bu Jena menepuk pantat putri bungsunya.
Kening Giavana segera berkerut tak senang. Bukan karena tepukan ibunya pada pantatnya, melainkan karena hal mengenai ajakan Gyarendra pada keluarganya. "Aku di rumah aja, Ma!" Dia lekas menyahut. Lalu, tangannya lanjut menekan tombol tadi.
"Heehh ... jangan menolak!" Bu Jena menekan tombol pause setelah dia paham mana yang harus ditekan. Tanpa memerdulikan tatapan kesal bungsunya, Beliau berkata, "Jangan membuat kakakmu sedih."
"Loh? Kok malah bawa-bawa Kak Lyn?" Ada rasa tak suka pada ucapan ibunya tadi.
"Lyn pasti ingin kamu juga ikut. Dia itu ingin lebih banyak menghabiskan waktu denganmu sebelum dia jadi istri nantinya."
"Kalau emang begitu, aku bisa pergi berdua ama kak Lyn besok."
"Ihh, kau ini!"
Giavana sudah hendak menyanggah ibunya ketika dia melihat kakaknya sudah berada di ambang pintunya.
"Va, yuk ikut makan malam di luar." Magdalyn tersenyum lembut pada adiknya.
Ohh tidak, apakah semua orang tak bisa membiarkan dia sendirian? Apakah semua orang begitu ingin agar dia banyak bertemu dengan Gyarendra? Mau mereka apa? Agar dia bisa menyatu lagi dengan lelaki itu?
Mungkin di pihak Gyarendra mau saja jika disatukan dengan Giavana, namun tidak untuk gadis itu! Tapi kenapa orang-orang begitu ngotot ingin itu terjadi?
"Hghh ...." Giavana luluh jika dia melihat tatapan penuh harap kakaknya. Sepertinya Magdalyn adalah kelemahan terbesar dirinya.
Tak sampai lima belas menit, Giavana sudah berdiri di teras depan bersama ibunya, sedangkan Magdalyn sudah menggamit lengan Gyarendra.
Alangkah gembiranya Gyarendra ketika tahu Giavana ikut acara yang dia cetuskan. Setelah kejadian tadi pagi, rasanya ini sebuah kompensasi terbaik dari Giavana. Lupakan mengenai rasa sakit pada selangkangannya tadi pagi. Sekarang dia mendapatkan obatnya yaitu Giavana.
Sementara, wajah Giavana sekeruh hatinya. Dia memakai celana kargo dan kemeja lengan panjang. Tak ingin terlihat menarik di mata Gyarendra. Amit-amit dipeluk lagi oleh mantan yang sudah dibuang.
Tadinya, Bu Jena keberatan dengan pakaian yang dipilih putri bungsunya, namun Giavana mengancam akan tinggal di rumah saja jika dia didikte mengenai pakaian yang ingin dia pakai.
Magdalyn berhasil menenangkan ibunya agar menerima saja dandanan adiknya asalkan Giavana mau ikut. Dia hanya ingin berbagi kebahagiaan karena mendapatkan lelaki baik yang sangat penuh kasih sayang pada dia dan juga keluarganya. Pasti jarang ada lelaki seperti Gyarendra ini, kan?
.
.
"Va, tidak pesan kerang rebus? Biasanya kamu suka itu, kan?" tanya Bu Jena pada putri bungsunya setelah mereka sudah tiba di salah satu restoran seafood terkenal di kota tersebut.
"Nggak, Ma. Aku makan mie saja." Ia justru memilih jenis makanan lain yang memang ditawarkan juga di restoran tersebut. Ia sungguh tidak memiliki napsu makan jika di depannya ada Gyarendra.
"Mie udang, mau Va?" tanya Gyarendra yang duduk di bangku depan Giavana. Dia berlakon bagaikan kakak penuh perhatian. "Atau mie seafood. Di sini terkenal juga loh mie seafood-nya."
"Mie goreng biasa aja, Ma. Lagi malas seafood." Meskipun dia berjuang keras agar tidak menjatuhkan air liur saat membayangkan kerang rebus dan udang saos padang, ia tak mau menyenangkan hati Gyarendra. Semakin dia bisa menolak lelaki itu, semakin puas perasaannya.
"Sepertinya mie goreng biasa juga tidak buruk, Ma." Gyarendra menyahut seakan dia membela Giavana. Lalu dia beralih ke tunangan di sebelahnya untuk bertanya, "Sayank, kamu ingin pesan apa? Tidak boleh diet, yah! Kamu harus montok dan segar saat jadi pengantinku nanti."
Mendengar celetukan menggoda tunangannya, Magdalyn segera tersipu dan menepuk pelan lengan Gyarendra. "Vigo, apaan sih ngomongnya? Apanya yang montok, ihh ...." Dia jadi malu sendiri pada pilihan kata sang tunangan.
Gyarendra tertawa santai dan meraih kepala Magdalyn dan mengecup di dahinya. Lalu berkata lembut nyaris berbisik, "Karena aku ingin kamu sehat selalu, sayank. Kamu sumber kebahagiaan aku."
Bu Jena segera saja terharu sampai tergambar jelas di wajahnya ketika mengerang penuh haru akan adegan di depannya. "Awwhh ... manis sekali! Mama saja belum pernah diperlakukan seperti itu oleh Papa dulunya. Lyn beruntung sekali. Ahh, Vava, besok kau cari suami yang baik dan romantis seperti Vigo."
Mata Giavana berputar jengah. Ibunya ini terlalu polos. Atau Gyarendra yang terlalu lihai berlakon jadi menantu idaman? "Gak mau, Ma."
"Heehh?" Bu Jena menampilkan raut terkejutnya. "Kok nggak mau?"
"Aku sukanya lelaki yang macho dan berani apa adanya. Malahan kalau bisa yang seperti Gauzan." Giavana tak mau repot-repot untuk melirik Gyarendra yang pastinya sudah mirip kepiting saos merah yang dia pesan.
Memang, saat ini wajah Gyarendra sudah masam, tak enak dilihat. Namun, tak ada yang menyadarinya karena Bu Jena dan Magdalyn sedang sibuk melihat ke Giavana.
Lagi-lagi nama Gauzan disebut, bahkan secara frontal, Giavana menyebutkan bahwa tipe lelaki idamannya adalah yang seperti Gauzan. Apakah ini bukan seruan untuk perang, namanya?
Mengatakan nama artis lelaki saja sudah bisa membuat Gyarendra cemburu, apalagi seseorang yang mudah ditemui di kehidupan nyata Giavana!
Sepertinya Giavana sedang menguji kesabarannya. Gyarendra meremas ketat telapak tangan di bawah meja. "Hm, apa sih yang istimewa dari orang bernama Gauzan itu? Dia yang kemarin menjemput kamu, kan Va?" Mengalihkan kemarahannya, dia malah bertanya seperti itu.