Sekali lagi, Giavana harus menahan kesalnya karena paksaan ibu dan kakaknya untuk ikut pergi atas ide Gyarendra. Lelaki ular satu itu sungguh menyusahkan saja! Jika bukan karena rasa sayangnya yang melebihi luasnya samudera pada sang kakak, dia mana mau menuruti pergi jika ada si mantan di sana.
Karena itu, sikapnya ketus dan dingin selama di restoran seafood jika Gyarendra mengajaknya bicara. Malahan, Giavana sengaja mengabaikan pertanyaan sang mantan dan malah berlagak menjawab ibu atau kakaknya ketimbang membelokkan pandangan mata ke makhluk tak penting itu.
Hingga akhirnya ada topik mengenai calon suami idaman Giavana, dia dengan sembarangan saja menyebutkan nama Gauzan. Dia tak punya banyak teman lelaki sejak dulu, oleh karena Gauzan memang paling cocok dijadikan obyek penderita untuk beberapa hal sebagai penyelamat dirinya. Egois dan seenaknya, tapi mau bagaimana lagi?
Tak mungkin dia berkata calon suami idamannya adalah Jungkook atau Andy Lau, ya kan? Bisa-bisa ditertawakan, dikira gadis halu.
Oleh sebab itu, yang paling tepat memang Gauzan saja untuk dijadikan tameng.
Sementara itu, Gyarendra menahan gemuruh cemburu di hatinya dan bertanya dengan nekat hanya agar dia bisa terus berbincang dengan Giavana, "Apa sih yang istimewa dari orang bernama Gauzan itu?"
Mata Giavana berbinar dan dia menahan senyuman. Akhirnya Gyarendra terjebak juga! Maka, dia pun tidak menahan apapun saat menjawab, "Gauzan itu orangnya apa adanya, jujur, gak munafik, gak banyak drama, gak banyak akting ini dan itu! Aku selalu bisa percaya ke Gauzan. Aku yakin dia bukan cowok kardus yang hobinya selingkuh. Jaman sekarang ini perselingkuhan seperti sesuatu yang diwajarkan. Ngeri! Aku paling anti berhubungan dengan perselingkuh! Kalau tidak ada hukum, ingin kurajam mereka semua!"
Betapa puasnya Giavana mengatakan itu meski dia tak melirik ke arah Gyarendra, tapi dia yakin IQ lelaki itu tidak jeblok untuk memahami sindiran keras dia pada si mantan.
"Kak Lyn juga harus berhati-hati dengan ras peselingkuh, Kak!" Tak lupa, Giavana menambahkan itu sambil menepuk ringan punggung tangan kakaknya yang ditaruh di atas meja.
"Ahh, aku sih percaya Vigo bukan ras peselingkuh, Va." Seperti sudah diduga Giavana, Magdalyn akan membela sang tunangan. Apalagi tatapan mesra itu seakan sedang membelai Gyarendra sembari dia menepuk-nepuk balik tangan adiknya.
Bu Jena menampar ringan lengan putrinya. "Kau ini bicara apa, sih! Mana mungkin calon ipar kamu setega itu berbuat selingkuh? Dia lelaki terhormat!" Mata mendelik Beliau sudah cukup menjadi indikasi pemujaannya terhadap Gyarendra yang terlalu polos.
Giavana melengos ke arah lain dengan wajah santai sambil berkata, "Yah, siapa tahu. Aku kan hanya memberikan warning saja karena aku sayang Kakak."
"Iya, terima kasih, Va, kamu sudah memperingatkan Kakak." Magdalyn tak ingin topik mengenai itu diperpanjang, dia merasa tak enak hati karena Gyarendra masih bersama mereka. Tentunya tak sopan jika membicarakan seseorang ketika orang itu ada di dekat mereka, bukan. Tidak etis.
Makanan pesanan mereka pun datang dan semua mulai bersantap. Sesekali ada obrolan pendek atau sebuah tanya jawab sederhana saja sambil makan.
Tanpa Giavana perlu memiliki mata tambahan, dia sangat yakin Gyarendra melirik ke arahnya sejak tadi secara diam-diam tanpa diketahui kakak dan ibunya.
Huh! Sungguh ras peselingkuh yang menjijikkan! Giavana mengumpat dalam hati.
Secara tak terduga, entah ini hasil doa khusyuk Giavana atau hanya kebetulan, ponselnya bergetar di saku celananya. Saat dilihat, layar menampilkan nama Gauzan. Mata Giavana berbinar terang. "Zan! Sayank!" Dia lekas berdiri dari kursinya. Lalu menggunakan isyarat tangan, dia pamit untuk menepi dahulu di sudut lain.
Menyaksikan Giavana menerima telepon dari Gauzan, mata Gyarendra terasa dipenuhi magma menggelegak. Jika bukan karena sedang berlakon sebagai calon menantu idaman, ingin sekali dia mengejar Giavana dan merebut ponsel itu untuk dibanting.
Di sebuah sudut yang tak begitu ramai, Giavana bisa leluasa berbincang dengan Gauzan.
"Sayank, sayank biji kau kendor, Gi!" sembur Gauzan begitu dia tersadar bahwa tadi Giavana memanggilnya dengan sebutan sayank.
Giavana tertawa santai. "Emangnya kamu gak suka aku panggil sayank? Ya udah, aku panggil jamet aja, deh! Kayaknya itu lebih mesra, ya kan?"
"Jangan sampai aku ketemu kau, ya, atau kusentil ginjal kau nanti ampe getar-getar!" Gauzan di seberang sana makin kesal. Tapi dia makin mendapatkan respon tertawa dari yang sedang dia telepon.
"Hahaha! Santai, jamet sayank. Jangan buru-buru ngamuk, ahh ... ntar cakepnya makin nggak ada, loh! Wihihii ...." Giavana makin kejam berucap.
"Udah ahh, kututup aja ketimbang bijiku yang meleleh."
"Eh! Eh! Jangan ditutup, oi! Zan! Zan, woi!" Lekas saja Giavana menghalangi niat Gauzan.
"Daripada aku lelah hayati kau ledek melulu!" Suara Gauzan mirip anak kecil sedang merajuk.
"Iya, sayank, iya deh, nggak lagi manggil gitu ke kamu. Tapi kamu ke sini, yah!" Giavana membujuk agar Gauzan tidak sampai benar-benar tersinggung.
"Ke mana? Rumah kau?"
"Enggak, bukan. Aku lagi ada di resto seafood dekat perempatan Bulgeri." Giavana menyebutkan sebuah daerah.
"Resto yang beken itu? Yang tendanya gede?"
"Itu warung Lamongan, Zan! Yang sebelahnya, nggak pake tenda!" koreksi Giavana. "Yang pake atap kanopi!"
"Dih! Jauh! Buang-buang bensin aja. Ogah!" Gauzan langsung menolak setelah memikirkan beberapa detik.
"Ya ampun, Zan ... nanti aku belikan bensin deh, full tank biar Jeki hepi tralala bisa ngepot asoi geboi!" Terpaksa Giavana memberikan jurus pamungkas.
"Nah, bilang dong kalo ada subsidi untuk Jeki. Oke! Cuss ke sana! Kau jangan kemana-mana! Tunggu aku!"
Giavana mencibir. Gauzan memang paling mudah dibujuk kalau berkaitan dengan kesejahteraan Jeki, motor bututnya. "Sekalian bawa helm untuk aku, loh yah!"
"Alamak! Ya sudah, nanti aku pinjam helm mas sebelah!"
"Gak mau! Kurap jangkrik! Jangan pinjam ke dia! Ogah! Kasian rambutku yang berharga ini, oi!"
"Cerewet, dasar kutu komodo!" Lalu Gauzan lekas matikan telepon tanpa aba-aba.
"Oi! Komodo mana punya kutu!" seru Giavana kesal meski tahu telepon sudah diputus dari seberang. "Ehh, komodo punya kutu atau enggak, yah? Bodo amat, dah! Emangnya aku emaknya komodo ampe harus mikir segitunya?" Setelah mengedikkan kedua bahunya dengan cepat, ia pun kembali ke meja tempat keluarganya berada.
"Sepertinya tadi kamu ngomel-ngomel saat bertelepon. Tadi Gauzan? Kalian marahan?" Gyarendra langsung memberikan pertanyaan itu begitu Giavana kembali duduk di depannya.
"Sori, Ma, Kak, tadi aku agak bersemangat ngobrol ama Gauzan sampai dikira sedang bertengkar." Giavana malah menoleh ke keluarganya sendiri dan tidak menggubris Gyarendra. Dia sebenarnya menjawab pertanyaan lelaki itu namun perhatiannya diarahkan ke ibu dan kakaknya alih-alih ke si penanya.
"Bukannya ribut?" Gyarendra tidak patah semangat dan tetap mengajukan pertanyaan. "Apa dia ketahuan selingkuh?"
"Ma, Kak, tadi Gauzan bilang dia ingin ke rumah untuk ngapelin aku, tapi kubilang aku di sini. Kami tadi cuma berdebat sedikit tentang mana yang lebih enak, udang atau cumi. Gauzan sama sekali gak ada bau-bau ras peselingkuh, kok! Kalian bisa tenang soal itu." Lagi-lagi, jawaban diarahkan ke ibu dan kakaknya meski Gyarendra yang bertanya.
"Ya ampun, Va, urusan udang dan cumi saja sampai berdebat? Dia tak mengalah? Bagaimana nanti jika dia jadi suamimu, urusan sepele pasti akan jadi bahan perdebatan. Ckckck." Gyarendra bersandar ke kursinya sambil satu tangan ada di sandaran kursi Magdalyn, menatap remeh ke Giavana.
Bolehkah Giavana lempar garpu di depannya ke mata mantan brengsek itu?