Tak sampai setengah jam menunggu, Gauzan sudah tiba di restoran seafood yang digunakan Giavana dan keluarganya untuk makan malam. Sepertinya dia memacu Jeki semaksimal mungkin.
Namun, begitu Gauzan tiba dan masuk ke restoran yang sebenarnya bangunan terbuka dan setengahnya menggunakan tenda kanopi karena jika di siang hari itu merupakan sebuah bengkel, dia serasa ingin balik badan dan pergi saja secepatnya.
Gauzan melihat sosok yang malas dia temui. Gyarendra. Dia masih kesal dengan malam ketika Gyarendra menginterogasi cukup lama. Jika dia tahu akan ada lelaki itu, lebih baik Gauzan urung datang saja.
Seakan melihat keengganan di wajah sahabatnya, Giavana panik dan buru-buru berlari menyambut Gauzan semanis mungkin meski tak perlu ada adegan peluk cium norak seperti di film-film drama. Dia cukup melambai sekali sambil menyapa, "Akhirnya kamu datang, yank!" Lalu dia bergegas menggamit satu lengan Gauzan erat-erat agar lelaki itu tidak kabur, bukan untuk hal mesra. "Yuk, gabung!"
Gauzan mati kutu. Dia susah melepaskan belitan lengan Giavana. "Gi, jangan gini, woi!" bisiknya. Dia tak ingin Gyarendra salah paham lagi seperti sebelumnya, terlebih saat ini dada empuk Giavana menempel ketat pada lengannya. Tak mungkin mata tajam Gyarendra tidak melihat itu.
"Udah, nurut aja dan ikuti alur aku, oke! Ntar Jeki aku traktir ampe kenyang!" Giavana juga berbisik hingga ketika sampai di meja keluarganya, dia berkata sambil tersenyum, "Mama, Kak Lyn, aku pergi dulu dengan Gauzan, yah!"
"Ehh? Kok malah pergi?" Bu Jena bereaksi cepat menanggapi ucapan putri bungsunya.
"Biasalah, Ma ... namanya juga lagi hot-hotnya. Pengennya berduaan melulu, nih!" jawab Giavana sembari menoleh ke Gauzan menggunakan tatapan mesra penuh kasmaran.
Hampir saja Gauzan muntah di tempat mendengar tingkah absurd Giavana padanya. Ingin dia berteriak, 'Enteng kali muncung kau, yah!', tapi dia hanya berikan tatapan tak berdaya ke gadis itu alih-alih mengumpat.
"Kenapa tidak makan dulu saja di sini?" Gyarendra tiba-tiba memberikan opsi lain pada Gauzan. Gerakan tangannya mempersilahkan duduk pada sang rival dengan gaya santai meski wajahnya sudah suram.
Gauzan makin ingin lekas pergi dari sana. Dia menjawab Gyarendra dengan kalimat, "Ohh, tidak usah, Kak. Terima kasih atas tawarannya." Dia menolak secara sopan.
"Kenapa tidak mau? Mumpung kami masih ada di sini, pasti kami tunggu, kok? Ohh jangan khawatir, saya yang membayar. Anggap saja perkenalan kita sebagai sesama pasangan putri-putri Mama Jen." Terselip nada meremehkan di suara Gyarendra. Dia masih teringat akan motor butut Gauzan yang terbatuk-batuk susah di-starter.
Magdalyn dan Bu Jena diam tidak memberikan respon apapun. Namun, dalam hati Magdalyn ada rasa tak enak hati pada ucapan tunangannya barusan ke Gauzan. Sayang sekali, karena terlalu cinta, gadis lemah itu pun lekas melupakan rasa tak nyaman tadi dan menganggap mungkin memang gaya kebaikan Gyarendra seperti itu jika mentraktir seseorang.
Tetapi, tidak demikian dengan Giavana. Dia tak bisa menerima sahabatnya diremehkan serendah itu. "Dia bukannya tak bisa bayar, yah! Biasanya kalau aku diajak dia ke resto steak aja dia yang selalu bayar. Enggak semua orang suka pamer harta kayak kau, mengerti?" Dia tak bisa menahan emosinya dan menatap benci ke Gyarendra.
"Vava, ishh!" Bu Jena kali ini tidak diam dan menegur pelan putri bungsunya.
"Sorry not sorry, nih ... bukan pula Gauzan kagak punya duit makanya ogah nerima tawaran kau. Dari awal aku udah minta jalan-jalan asik ma dia. Jadi ini karena dia hargai kemauan aku untuk lekas pergi dari sini, ngerti kau?" Sekarang mata Giavana sudah melotot tajam pada Gyarendra.
"Va! Jangan begitu!" Bu Jena mulai berdiri. Beliau sungguh tak nyaman dengan situasi ini.
Giavana mengambil napas dalam-dalam dan melirik ke arah kakaknya, Magdalyn sedang mengelus dadanya. Rasanya sudah cukup! Kalau diteruskan, Magdalyn bisa kambuh jantungnya. "Maaf, yah Kak, bukannya aku mau kurang ajar. Yah, siapa yang tidak kesal kalau pacar dihina. Sudah, yah, aku minta maaf. Aku pergi dulu. Pulangnya nggak malam banget, kok!"
Tak cukup hanya bicara saja, Giavana juga menghampiri sang kakak untuk dipeluk agar Magdalyn tenang. Kepala Magdalyn terangguk-angguk sambil dia tetap duduk dan dipeluk adiknya yang berdiri. Menepuk-nepuk pelan tangan sang adik, dia berkata, "Ya sudah, sana pacaran dulu, tapi jangan kelewatan, yah! Jaga diri kalian berdua."
"Iya, kakakku sayank." Giavana lega kakaknya tidak kenapa-kenapa, wajahnya tidak pucat ataupun membiru, bahkan masih bisa tersenyum. Ia mengecup pipi Magdalyn dan ibunya sebelum pergi.
Tak lupa, Gauzan juga berpamitan pada mereka bertiga secara sopan dan membungkuk sedikit. Lalu, Giavana membawanya pergi sambil bergandengan tangan tanpa memperdulikan tatapan orang-orang di sekitarnya.
Magdalyn menghela napas. Kalau dipikir-pikir lagi, ucapan Gyarendra memang agak keterlaluan. Sampai-sampai adiknya yang biasa santai dan mudah bercanda bisa begitu emosi tanpa perduli sekitarnya. Ia menoleh ke tunangannya.
Gyarendra segera paham situasi dan mengambil tangan Magdalyn seraya berkata, "Maaf, yah, aku agak keterlaluan tadi. Aku benar-benar minta maaf. Lain kali tidak lagi." Ia membawa tangan lembut itu ke bibirnya untuk dikecup. Lalu dia juga meminta maaf pada Bu Jena atas situasi tak enak baru saja.
"Tak apa, Vig. Nanti kau bisa minta maaf ke Vava dan pacarnya." Magdalyn tersenyum lembut seraya menatap hangat lelaki terkasihnya.
"Iya, Nak Vigo. Lebih baik minta maaf ke Vava saja karena dia tabiatnya agak keras seperti papanya. Takutnya hubungan kalian jadi jelek kalau tidak segera didamaikan." Bu Jena ikut berkomentar.
"Nanti biar aku yang akan mendamaikan mereka, Ma." Magdalyn berjanji. Ibunya mengangguk saja karena Beliau paham, hanya Magdalyn yang biasanya bisa 'menjinakkan' temperamen Giavana.
"Makasih, sayank. Kau baik-baik saja? Kita bisa ke rumah sakit dulu setelah ini." Gyarendra berlagak cemas.
"Tidak usah, Vig. Aku baik-baik saja, kok! Untung tadi Vava lekas surut dan peluk aku, makanya aku gak jadi anfal. Maaf kalau membuatmu khawatir," balas Magdalyn.
"Apapun untuk kebaikan kamu, sayank." Gyarendra mengembangkan senyum terbaiknya.
Sementara, di jalan, Giavana masih saja kesal. "Cowok brengsek! Semoga cepat mati! Mati! Mati! Mati!"
Gauzan di depan terpaksa sedikit menoleh ke belakang, menegur sahabatnya, "Gi, apaan, sih! Kagak boleh bilang gitu walau kau semarah apapun ke orang lain."
"Dia bukan orang! Dia iblis!" sentak Giavana. "Sialan! Bikin mood aku ambyar aja tuh iblis! Zan, nyok kita ke tempat Nada!"
"Lah? Ntar kalo dia lagi asik-asik ama pacarnya, gimana?"
"Yah, kita ikutan asik-asik sekalian!"
"Ehh, kutil!"
"Ehh, babik!"
"Astaga... nyebut kau, nyebut! Anak perawan kok ngomongnya brutal gitu, Gi. Ehh, kau masih perawan apa enggak, yak?"
"Kau minta biji kau kutepak pake sepatu ini, heh?"
Tak sampai satu jam, keduanya tiba di unit apartemen milik Nada, sahabat masa SMA mereka.
Ketika Nada keluar, dia malah memasang wajah sebal. "Kalian ngapain ke sini? Kagak bilang-bilang dulu, pula!"
"Napa?" tanya Giavana dengan kerlingan jenaka. "Lagi indehoi ama si yayank, yah?" godanya.
"Iyalah!" Nada menjawab asal saja.
Bukannya surut, Giavana justru mendorong tubuh Nada dan masuk ke dalam apartemen, berseru, "Boim! Buruan pake kancutmu, Boim! Tuan putri dan punggawanya datang, nih!"