Giavana baru saja meletakkan anting pemberian Gyarendra ketika ibunya muncul dari balik pintu dan mengabarkan kedatangan Gauzan. Ini membuat dia menjadi bersemangat. Lekas saja dia melompat bangkit dari rebahnya dengan wajah gembira.
"Ehh! Sudah mandi atau belum, nih?" Bu Jena menatap penuh selidik ke putri bungsunya. Kadang Giavana bisa menjadi gadis selebor yang tak mau mandi dengan alasan dingin atau malas gerak alias mager.
"Sudah, dong Ma! Mama mau cium ketek aku?" Giavana sudah mengangkat satu lengannya tinggi-tinggi.
"Isshh! Amit-amit, ahh kamu ini!" Bu Jena lekas pergi dari sana dengan kening berkerut melihat kelakuan si bungsu yang masih saja tak bisa berubah, tak bisa sekalem kakaknya.
Giavana terkikik merasa menang dan dia lekas saja merapikan rambut dan menatap pantulan dirinya di cermin seukuran badan di depannya. Kaos oblong longgar dan celana jins pendek. "Yups! Begini aja, dah!"
Kemudian, dia mengambil topi bisbol di dekatnya dan tas cangklong kecil sebelum memakai sepatu kets tanpa kaus kaki. Setelah semua itu, dia melangkah keluar dari kamar.
"Ma, Kak, aku pergi dulu, yah!" Giavana berpamitan sambil mengecup pipi kedua orang tersayangnya tanpa menoleh ke Gyarendra yang juga ada di ruang tamu.
"Ehh? Akan keluar malam begini?" Mama tidak siap ketika bungsunya pamit. Beliau kira Giavana hanya akan mengobrol santai dengan Gauzan di teras depan seperti dulu.
"Ya, Ma." Giavana memakai topi bisbolnya dengan cara terbalik, bagian belakang di putar ke depan, sementara rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja. Meski terkesan tomboy dan tanpa riasan berlebihan, dia justru terlihat sangat cantik dan segar.
"Pulangnya jangan terlalu malam, yah Va." Magdalyn mengingatkan.
"Sip, Kak!" Ia membentuk jarinya ke huruf V sambil mengedipkan satu mata ke Magdalyn.
"Tapi, bukankah tidak baik kalau anak gadis keluar malam begini memakai motor pula." Gyarendra angkat bicara. Raut Bu Jena mulai berubah.
Ini membuat Giavana ingin mengutuk pria itu jadi batu yang diam tak perlu banyak tingkah. Namun, alih-alih menjawab ucapan mantannya, dia justru berkata, "Jangan khawatir, Ma, aku ini udah gede, di Aussie aja aku sudah biasa keluar malam dan tak ada apa-apa. Palingan hanya ketemu cowok playboy brengsek doang. Tapi itu aja sudah gampang aku usir pakai jurus-jurus pamungkasku, Ma!"
Gyarendra merasa Giavana sedang menyindir dirinya. Apalagi tadi Giavana melirik sinis ke arahnya walau sekilas.
"Tsk, ya sudah, tapi benar jangan sampai lebih dari jam 12, yah!" Bu Jena masih agak tak rela melepas putri bungsunya.
"Iya lah, kan nanti kalau lewat dari jam 12, aku balik jadi jelek, siapa yang mau? Hi hi!" Lalu, tanpa menunggu respon dari yang lain, Giavana bergegas ke teras depan. "Zan, bawa helm tambahan?"
Gauzan yang tak menyangka akan Giavana yang ingin pergi, hanya menjawab gugup. "H-Hah? Helm? Helm tambahan?" Ia tadinya hanya ingin main biasa ke rumah Giavana tanpa ada niat mengajak gadis itu keluar.
Apalagi ketika kini dari arah pintu depan mulai bermunculan satu demi satu sosok. Gauzan hanya kenal 2 dari mereka dan 1 lelaki terlihat asing baginya. Segera, Gauzan mengangguk sopan ke Bu Jena dan Magdalyn.
"Isshh, kamu! Kenapa kagak bawa helm cadangan, sih!" Tangan Giavana menampar kecil bahu belakang Gauzan yang masih bingung.
"Kalau dia tak bawa helm lain, lebih baik kalian tak usah pergi, Va." Gyarendra berkata yang mengakibatkan calon mertuanya pun ikut menyetujui sarannya.
"Benar, Va. Bahaya kalau tidak pakai helm! Aspal itu keras, loh Va, bukan roti, apalagi bubur." Bu Jena terpengaruh Gyarendra.
"Gampang, Ma, nanti aku bisa beli helm di depan kompleks!" tangkis Giavana. Dari tadi dia sama sekali tidak merespon ucapan Gyarendra dan hanya menjawab ke ibu atau kakaknya.
"Memangnya malam begini masih buka, Va?" bisik Gauzan.
Lekas saja Giavana mencubit lengan Gauzan sambil matanya mendelik memberi kode. Lalu dia mulai naik ke jok belakang motor butut Gauzan dan melingkarkan dua lengan di pinggang sahabat prianya itu.
Mata Gyarendra panas melihatnya. Apalagi Giavana tersenyum ketika melakukan itu seakan merasa tentram dan damai melakukannya. Kalau tak ingat ada Magdalyn dan Bu Jena, mungkin dia akan nekat menghampiri keduanya dan menarik paksa Giavana dari motor tersebut.
"Ayok, Zan! Tunggu apa lagi? Aku udah gak sabar pengen jalan-jalan lagi kayak dulu!" Giavana makin mengetatkan belitan lengan di pinggang lelaki di depannya.
Gauzan menelan saliva ketika punggungnya merasakan sesuatu yang empuk. "I-Iya, iya! Sabar!" Ia pun mulai menyalakan mesin motornya. Tapi, mendadak tidak bisa. Berulang kali ditekan tombol starternya, masih juga tak mau menyala.
Gyarendra mendengus lirih sambil matanya menatap remeh ke Gauzan. Tapi dia malah mendelik emosi ketika Giavana merebahkan kepala di tengkuk Gauzan. Tangannya terkepal erat di samping tubuhnya.
Karena motor butut Gauzan gagal dinyalakan menggunakan tombol starter, terpaksa Gauzan memakai kakinya. Dia berulang kali menendang tuas starter di samping kanan, tapi masih tak berhasil.
"G-Gi, jangan gini, hoi!" bisiknya keras pada Giavana sambil menggerakkan bahu agar kepala Giavana menjauh dari tengkuknya. "Susah, nih!"
"Tsk!" Giavana merengut kesal. Padahal adegannya sudah pas, tapi gara-gara si Jeki, semua jadi tak sesuai skenarionya.
Dagu Gyarendra terangkat pelan saat menyaksikan Gauzan yang kesusahan menyalakan mesin motornya. Ia semakin memandang rendah pria yang hendak bertingkah menjadi rivalnya.
Namun, baru saja Gyarendra hendak mencemooh Gauzan, motor itu pun mulai menderu. Wajah Giavana terlihat sumringah dan mereka berdua berlalu dari rumah itu.
Napas berat Gyarendra terembus pelan tanpa diketahui Magdalyn dan Bu Jena.
Di jalan, Giavana mulai melepaskan belitan lengannya dari pinggang Gauzan dan tertawa riang.
"Dih! Apaan sih malah ketawa begitu? Sini, tanganmu peluk lagi, dong!" Gauzan melirik sambil lalu ke belakang.
"Hi hi! Nanti aja, yah Zan, kalau aku lagi khilaf," jawab Giavana seraya taruh tangannya di pundak Gauzan.
"Kenapa begitu udah jauh dari rumahmu, kau malah lepasin pelukan? Sengaja mau bikin cemburu cowok yang tadi?" todong Gauzan tanpa basa-basi.
Hampir saja Giavana tersedak salivanya, tapi nasibnya masih beruntung dan dia menyahut, "Enggak, lah! Untuk apa juga bikin dia cemburu? Dia kan calon kakak iparku."
"Lah, terus … kenapa tadi aku dipeluk? Mabok lem, Gi?"
"Isshh! Sembarangan! Kan kamu yang biasanya mabok lem! Hi hi!"
"Haisshh! Lalu kenapa tadi pakai adegan peluk-peluk lalu setelah jauh dari rumah malah dilepas?"
Giavana sadar dia harus lekas memberikan alasan masuk akal kepada sahabatnya ini atau akan ketahuan semuanya. "Ohh, itu … aku pengin kasi lihat Mama kalau aku gak perlu dicarikan pacar."
"Maksudnya aku ini sekarang pacarmu, gitu Gi?"
"Enggak."
"Ehh? Siaul amat ini bocah!"
"Hi hi, kamu cuma pacar bohongan! Mau enggak jadi pacar bohonganku? Biar Mama nggak usah jodoh-jodohin aku lagi."
Gauzan diam. Harus jawab apa dia dengan tawaran Giavana ini?