Sepulang dari acara jalan-jalan yang sebenarnya menyiksa Giavana, gadis itu merasa sangat lega begitu dirinya bisa berjumpa dengan tempat tidurnya.
Ia hempaskan tubuh lelahnya ke kasur empuk dalam keadaan telungkup. Meski sebenarnya yang lelah tak hanya tubuhnya saja melainkan juga pikirannya.
Dia harus melihat kemesraan antara kakak dan mantannya di depan mata. Bukan berarti dia cemburu. Dia sangat menggaris bawahi itu tebal-tebal. Dia hanya muak melihat sandiwara Ren.
Yang di benak Giavana hanyalah bagaimana cara memberitahu kakaknya bahwa Ren bukan lelaki yang baik dan layak untuk si lembut dan manis Magdalyn. Orang seperti Magdalyn tak patut disakiti, itu yang terus disuarakan Giavana di hatinya.
Namun, untuk memisahkan kakaknya dari Ren, ia juga belum menemukan caranya. Bagaimana ia bisa melakukan itu tanpa menguak mengenai kelakuan Ren dulunya. Kalau dia sampai menguak mengenai itu, sama saja dia juga menguak tentang hubungan mereka pula saat di Australia.
Giavana tak siap membuka semua mengenai aspek satu itu.
Karena mulai pusing sendiri dengan pikiran dan dilemanya, Giavana pun menghubungi salah satu teman semasa dia kontrak rumah di Australia.
"Wah, rupanya kau masih ingat dengan temanmu bernama Zhao Wenyi!" Jelas-jelas gadis dari Tiongkok itu sedang menyindir Giavana.
"Iya, iya, maafkan aku yang bersalah ini, Tuan Puteri Wenyi."
"Hi hi … nah, kenapa kau meneleponku? Untung saja aku tak ada jadwal kuliah saat ini."
"Kenapa kau tahu kalau aku menghubungimu karena aku membutuhkanmu?"
"Apakah aku perlu mengurai semua dosa dan aibmu, hm?"
"Ha ha ha, ampun, Wenyi. Baiklah, aku akan bercerita padamu, tapi jangan berteriak setelah mendengarnya, yah!"
"Tergantung. Kalau aku mendengar bahwa kau sedang berkencan dengan Wang Yibo, aku pasti akan berteriak sekeras yang aku bisa! Atau mungkin kau mengaku kalau kau biasa berkirim pesan ke Jungkook, maka aku juga akan teriak keras pula. Nah, yang mana?"
"Wenyi! Hentikan halusinasimu! Mana mungkin aku mengencani selebritis dunia? Ya ampun, imajinasimu terlalu liar, gurl."
"Ya sudah, lekas buat aku terkejut."
"Hghh … baiklah. Jadi, ketika aku pulang, aku mendengar kakakku satu-satunya sedang menjalin hubungan sampai ke tahap pertunangan dan hendak menikah sebentar lagi."
"Ohh, itu bagus. Tunggu! Jangan bilang kakakmu bertunangan dengan Yibo atau Jungkook?! Arrghh!"
"Wenyi, stop! Astaga, sepertinya kau butuh air suci untuk kuguyurkan ke kepalamu agar otakmu sedikit lurus."
"Ha ha ha, maaf … aku terlalu terobsesi dengan keduanya. Habisnya, mereka itu—"
"Wenyi, aku pikir dengan kembalinya aku ke Indonesia maka aku tak perlu lagi mendengar kisah kedua pangeran halusinasimu itu, ternyata masih saja, yah!"
"Ha ha ha, iya, iya, maaf. Oke, cepat lanjutkan ceritamu tadi. Kakakmu hendak menikah dengan seseorang. Lalu?"
"Tebak siapa prianya."
"Umm … Yibo dan Jung—"
"Wenyi, stop! Atau aku lebih baik bicara dengan Rin atau Ava saja!"
"Jangan! Jangan! Baiklah, aku akan tutup dulu aura kedua pacarku itu agar tidak mengganggu pembicaraan kita."
Giavana memutar bola matanya. Zhao Wenyi memang sudah terlalu terkontaminasi dengan segala hal berbau idol. "Jadi, kau tak akan bisa menebak, ya kan?"
"Tidak. Ayolah, katakan, siapa lelaki itu!"
"Dia adalah … Ren."
"Ohh, Ren. EH? APA? SIAPA? REN?" Baru saja Zhao Wenyi menjawab santai hingga kemudian terdengar teriakan histeris darinya.
Buru-buru Giavana menjauhkan ponsel dari telinganya. "Wenyi sial! Jangan berteriak sekeras itu! Aku masih membutuhkan telingaku untuk masa depanku, oke?"
"Maaf, maaf, aku … aku … sumpah, aku sangat kaget. Tidak bisakah kau menyebut nama lain saja agar aku tidak kaget begini? Lihat, aku sampai berdebar-debar."
"Tentu saja kau masih berdebar karena kau masih hidup dan punya jantung, Wenyi!"
"Ha ha! Oke, sekarang kita ke mode serius. Jadi … kakakmu akan menikah dengan Ren?"
"Yups!" Kemudian, Giavana menceritakan mengenai kisah sang kakak dengan penyakitnya dan juga awal perkenalannya dengan Ren yang mengaku sebagai Vigo.
"Astaga, Va, lari! Lari untuk keselamatanmu!"
"Gila! Mana mungkin aku lari, Wenyi!"
"Yah, kau pastinya tak mungkin berpikiran kalau si Ren psikopat itu akan baik-baik saja dengan kau dan kakakmu. Ya ampun, kau harus terus menghindar darinya, apalagi jika dia memegang pisau atau garpu!"
Giavana memutar lagi bola matanya. Apakah Zhao Wenyi ini sudah terlalu teracuni dengan berbagai kisah thriller yang ditonton?
"Va, menurutku, lelaki itu tidak akan membawa kebaikan untuk kau dan keluargamu. Sungguh, entah apakah ini ilmu cenayangku sedang beroperasi bagus karena arwah leluhur begitu menyayangiku, aku seakan bisa mengendus aroma busuk dari rencana dia menikahi kakakmu."
"Wenyi, lalu aku harus bagaimana? Aku tak tahu cara menyampaikan ke kakakku agar dia menjauh dari si psikopat itu!"
"Ihh, kalau aku ingat bagaimana dia menjadi stalkermu dulu, aku merinding! Harusnya dulu kau melaporkan dia ke polisi agar dia dikerangkeng saja! Dia bahkan sempat mengancam hendak membunuhmu kalau kau memutuskan dia, ya kan?"
"Ya, tapi … ahh, aku sungguh bingung, Wenyi. Aku sayang kakakku tapi aku juga tak mau membuka kisah lamaku ke mereka."
"Va, pilihanmu hanya ada 2, kau buka dan mungkin kakakmu sakit hati meski sebentar demi kebaikannya, atau kau terus tutupi itu sambil berharap kakakmu diperlakukan dengan baik."
"Benar, aku juga berpikir begitu." Giavana menghela napas. Meski dia tak mendapatkan solusi jenius dari Zhao Wenyi, setidaknya dia merasa lega karena memiliki seseorang yang biasa diajak bicara dan orang itu pun sudah mengetahui seluk-beluk hubungan lalu dia dengan Ren.
Jika dia menceritakan ini kepada Nada atau Gauzan, ia tak yakin mereka akan paham yang sedang dirasakannya.
.
.
Malamnya, ketika tahu bahwa Ren datang berkunjung, Giavana tak punya kesempatan untuk melarikan diri dari rumah seperti sebelumnya. Oleh karena itu, dia bersikeras tak ingin keluar kamar. Saat ini, kamarnya adalah tempat teraman baginya.
Bisa terdengar samar-samar dari kamarnya suara ibu dan Ren yang mengobrol di ruang tamu. Sungguh, ibunya sangat menyukai Ren. Apa jadinya jika sang ibu mengetahui semua kebusukan Ren?
Sembari mendengarkan musik kesukaannya agar tak perlu mendengar suara mereka di ruang tamu, Giavana secara iseng membuka kotak beludru merah berpita merah jambu dari tas kecilnya.
Ketika kotak halus itu dibuka, terlihat segera sepasang anting berbentuk kupu-kupu namun antenanya dibuat membesar dan melengkung panjang hingga ke atas.
Jika dipakai di telinga, sungut antenna kupu-kupunya bisa mencapai puncak teratas daun telinga dan kemudian ujung lengkungannya bisa dikait ke bagian cekungan telinga atas. Anting itu dari emas putih dan penuh akan berlian kecil.
Sebenarnya, Giavana menyukai bentuknya yang unik dan terlihat manis namun tidak terlalu girlish. Andaikan yang memberi bukan Ren, pasti dia akan memakainya.
"Hghh …." Mendesah panjang, Giavana menutup kotak kecil itu dan melemparkan begitu saja ke tumpukan barangnya di sebuah kotak tak jauh dari meja riasnya.
"Va." Suara ibunya terdengar jelas ketika membuka pintu kamar dan Giavana sedang merebahkan kembali tubuhnya di kasur.
"Ya, Ma?" Ada perasaan waswas ketika sang ibu melongok masuk ke kamarnya. Jangan katakan dia harus keluar menemui Ren untuk alasan apapun!
"Di depan ada Gauzan, katanya ingin ketemu kamu. Sudah lama dia tidak main ke sini, yah Va." Bu Jena ternyata mengabarkan bahwa sahabat putrinya datang berkunjung.
Segera saja Giavana bangun dari rebahnya dan matanya berbinar. Lagi-lagi, Gauzan bisa menjadi penyelamatnya!