Giavana akhirnya sudah dibawa Gauzan ke tempat lelaki itu tinggal, yaitu di sebuah kompleks kamar kos. Meski dia bingung karena Gauzan memperkenalkan dia sebagai pacar lelaki itu, namun ia memilih untuk diam dan ikut saja alur yang diciptakan sahabat masa SMA dia itu untuknya.
Di dalam kamar kos, mata Giavana terus berkeliling menatap sekeliling ruangan kos yang bisa dikatakan tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil.
Setelah puas melihat ke sana dan sini, Giavana pun duduk di kursi yang ada di dekatnya.
"Kau baru kali ini ke kos aku, ya kan?" Gauzan menutup pintu kamar kosnya.
Melihat tindakan dari sahabat lelakinya itu, Giavana tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Ehh? Kok pintunya ditutup?" Dia mulai waspada.
"Ampun, Gi, nyamuknya menggila kalau sudah jam seperti ini. Atau kamu lebih suka kulitmu besok bentol-bentol? Aku bisa buka pintu kalau kau mau." Gauzan berjalan lagi ke pintu, hendak menggapai kenop.
"Gak usah, Zan!" Giavana bukan jenis manusia yang rela-rela saja jika tubuhnya dimanfaatkan oleh bangsa nyamuk. Ia paling benci dengan gigitan apapun dari serangga.
"Ya udah kalo gak mau." Gauzan kembali menjauh dari pintu dengan langkah ringan agak diseret sambil memindahkan helm yang dia bawa tadi ke atas lemari. "Tapi kau tak perlu juga berpikir macam-macam, loh yah!" Kemudian, dia duduk di kasur single bed yang teronggok di lantai.
"Tsk!" Giavana memutar bola matanya sambil berusaha menyamankan duduknya di kursi tersebut. "Ini beda dengan tempat kosmu yang dulu jaman kamu SMA, yah!"
"Yups! Kalau di sana terus, aku yang repot karena terlalu jauh dari kampusku." Gauzan memberikan alasan mengenai pemilihan kos barunya.
"Ohh iya, aku lupa kalau kau belum lulus kuliah, yah!" Giavana menahan tawanya.
"Ya, ya, ya, terus aja ngeledek, mentang-mentang kau udah selesai kuliah." Kini ganti Gauzan yang memutar bola matanya.
"Ha ha ha, yah mau gimana lagi, kan kenyataan." Giavana tak bisa menahan tawanya lebih lama dan menyembur begitu saja menyebabkan wajah Gauzan menjadi masam. Tapi dia tahu Gauzan tidak akan pernah benar-benar tersinggung padanya.
Hubungan persahabatan mereka semenjak SMA sudah erat dan itu menjadi landasan untuk mereka bisa seenaknya bercanda. Tak akan ada yang tersinggung.
Sahabat Giavana di jaman SMA memang tak hanya Gauzan saja, namun ada Nada dan Firlanda, meski yang paling akrab dengannya hanya Nada dan Gauzan saja.
"Omong-omong, tadi kenapa kau bisa tiba-tiba ngehubungi aku untuk jemput aku?" Giavana teringat akan apa yang sudah menjadi tanda tanya dia sejak tadi.
"Nada lah pastinya yang kasi tau aku." Gauzan meraih gitar akustik di dekatnya. Gitar itu terlihat sudah kusam karena usia tuanya, namun Gauzan masih senang memainkannya untuk sekedar penghibur di kala waktu tertentu. "Baik nian yah dirimu, pulang ke Indonesia diam-diam tanpa kasi kabar ke aku. Kayaknya aku udah bukan sahabatmu lagi, yah!" sindirnya sambil memainkan gitarnya.
Giavana mengamati jemari lincah Gauzan sedang memetik senar-senar gitar seakan jari lelaki itu sedang berlomba satu sama lain. Tapi dia masih ingin mengobrol, "Ha ha … kagak usah ngambek gitu, bisa kan? Kau jadi keliatan imut kalo lagi ngambek gitu, Zan!"
"Dih! Siapa yang ngambek? Aku cool aja, kok!" elak Gauzan sambil makin memainkan gitarnya dengan irama ala musik latin. Hampir seluruh jari tangannya bergerak dinamis pada keenam senar.
"Iya, deh, iya … aku minta maaf karena gak kasi kabar ke kamu tentang kepulanganku." Giavana mengalah sambil dua kakinya dia gerak-gerakkan seakan sedang mengayuh di udara.
"Hm, kalo gitu, napa kau minta ke Nada untuk jemput kamu? Malam gini pula. Ada apa?" Gauzan bertanya tanpa melihat ke Giavana karena pandangannya masih tertuju pada permainan gitarnya.
"Umm … kasih tahu gak, yah?" goda Giavana.
"Kagak usah. Aku kan kagak penting," jawab cepat Gauzan.
"Ha ha ha! Ya ampun bocah ini!" Giavana tak bisa menahan gelak tawa lepasnya menghadapi rajukan lucu dari Gauzan.
"Haihh! Gak sadar diri, yah? Kalau aku bocah, kau juga bocah, woi!" Kali ini Gauzan menatap Giavana dengan tatapan kesal dan nada suara bersungut-sungut.
Ini membuat Giavana makin tertawa. Sudah berapa lama dia tidak bercanda semaca ini dengan seseorang? Mereka sudah berpisah bertahun-tahun lamanya, namun dia sama sekali tidak merasa asing pada lelaki di depannya meski lama tak bertemu.
Tak ada kecanggungan.
Oleh karena itu, Giavana pun bangun dari duduknya dan mulai duduk di sebelah Gauzan. "Lagunya yang aku tahu, dong! Jangan yang latin begitu."
"Wani piro?" celetuk Gauzan menanggapi Giavana. Segera saja rambut di kepalanya sudah diacak oleh gadis di sebelahnya. "Dih, gemas sekali kau padaku. Yah, wajar sih, aku emang menggemaskan sejak dulu kala."
"Huuuu!" cibir Giavana.
"Oi, Gi, kau mau menginap di sini?" Gauzan mulai memasang sikap serius sambil menghentikan permainan gitarnya.
"Umm … lihat keadaan dulu, deh!" Giavana tak bisa memberikan jawaban pasti. Tentunya dia harus yakin apakah di rumahnya masih ada si mantan sialan itu atau tidak.
"Keadaan yang gimana, sih?" Alis Gauzan berkerut hingga nyaris bertaut menjadi satu.
"Ada deh … he he he …." Giavana malah bersikap misterius.
"Iya, iya … aku ini gak penting, makanya gak perlu dikasi tau kalau ada apa-apa denganmu." Wajah kesal Gauzan kembali lagi dan itu membuat Giavana tertawa sekali lagi.
Giavana mengambil ponselnya dan melihat jam di sana, sudah hampir tengah malam. Kemudian, dia pun mengirim pesan ke kakaknya. [Kak, sudah selesai pacarannya?]
Tak berapa lama, ponsel Giavana malah berbunyi. "Bentar, yah Zan. Kak Lyn nelpon." Ia pamit menyingkir dari dekat sahabatnya untuk menerima telepon. "Ya, Kak?"
"Aduh, aduh, kamu itu, Va… ini kamu ada di mana?" Terdengar suara panik Magdalyn di ponsel Giavana.
"Aku tadi janji temu dengan teman-temanku, kok Kak. Tenang aja, aku aman di sini."
"Lalu, malam ini pulang, kan?"
"Um, belum tahu nih, Kak. Omong-omong Kakak belum jawab pertanyaanku tadi di WA."
"Apa, sih?"
"Sudah selesai belum pacarannya, hi hi!"
"Aiihh, kamu! Tentu saja Vigo sudah pulang sejak tadi! Apaan sih kamu, malah menggoda Kakak begitu."
"Ohh, hi hi … nggak apa, kok Kak. Habisnya, aku kan baru ini lihat Kak Lyn super hepi karena cowok."
"Kamu pasti tidak memeriksa ponselmu, yah Va?"
"Kenapa?"
"Duh, aku dan Mama sejak tadi telpon kamu!"
"Ohh, maaf, Kak … ponselku aku silent, he he he … ya sudah, Kak, sebentar lagi aku pulang. Mungkin diantar Gauzan, karena nggak enak kalau Nada yang antar, kasihan nanti dia pulangnya sendirian."
"Ya sudah, cepat pulang. Sudah terlalu malam, nih!"
"Iya, Kak."
Kemudian, pembicaraan di telepon itu pun disudahi dan Giavana mantap untuk pulang malam ini juga karena rumahnya sudah 'bersih' dari si mantan.
Giavana menoleh ke Gauzan yang sedang asyik dengan gitarnya, berkata, "Zan, yuk antar aku pulang!"
"Sekarang? Ini sudah malam, Neng!"
"Kenapa? Takut nanti ketemu kunti di jalan kalau habis mengantarku?"
"Ehh buset! Malah berani ngeledek aku nih bocah!"
"Ayo, buruan!" Giavana menarik tangan Gauzan.
"Harus malam ini pulangnya?" Gauzan agak malas-malasan ketika menaruh gitarnya di kasur.
"Yah, kan aku gak mungkin tidur di sini malam begini!"
"Kenapa enggak?"
"Gauzan! Kita kan bukan muhrim!"
"Ya sudah, sini aku bikin kamu jadi muhrimku!"
Bletakk!
Gauzan mengaduh sambil mengelus kepala yang diketuk Giavana.
"Gak usah bawel! Ayo!" Giavana bersikeras sambil menarik tangan Gauzan.
"Hghh … derita supir ojek yah begini ini," keluh Gauzan sambil mengambil helm di atas lemari sebelum mereka keluar kamar kosnya.
"Kamu sekarang jadi supir ojek juga, Zan?"
"Iya! Supir ojekmu!"
"Ha ha ha!"