"Jelas tampanan Paman, Syden. Kau pikir perempuan di depanmu doyan anak kecil."
Dari arah jauh suara Nakula sudah terdengar. Dia berjalan mendekat ke arah tiga orang itu yang sama-sama terkejut dengan suaranya.
"Dih kalau tampanan Paman, kenapa pula Kak Jane tidak mau," ucap anak laki-laki yang bernama Syden tersebut.
"Eh kata siapa tidak mau."
"Kata Pengasuh Intan. Paman ditolak lagi kan oleh Kak Jane."
"Ck."
Nakula berdecak sebal. Ini si Intan memang perlu diberikan pelajaran berkali-kali lipat. Main seenaknya saja berkata yang tidak-tidak pada Syden. Anak itu menjadi kurang ajar begini.
"Kau tidak perlu dengarkan Pengasuh Intan. Kak Jane bukan tidak mau. Tapi belum mau. Kalau tidak percaya kau tanyakan saja padanya."
Nakula menunjuk Jane yang masih berjongkok menyeimbangkan tinggi dengan Syden.
"Benar begitu Kak?"
Syden dengan polos bertanya pada Jane. Dia bahkan bersedia menunggu jawaban saat Jane hanya diam saja seperti ini.
"Eh itu ... "
Jane dibuat mati kutu oleh dua pemuda ini. Tidak tahu menjawab apa. Karena merasa ini sebuah jebakan.
"Kak Jane tampak ragu. Baiklah, Syden sudah tahu jawabannya," ucap Syden dengan yakin.
"Memangnya jawabannya apa?" tanya Nakula yang penasaran dengan pemikiran Syden.
"Ya ada saja. Kau tidak perlu banyak tahu. Nanti sakit hati."
Jawaban Syden tentu saja membuat pening kepala Nakula. Jika tidak di sini sudah dia jitak kepala kecil yang ada di depannya ini.
Nakula pikir, menghadapi Sky sudah sangat menyebalkan. Tidak tahunya, adik Sky yang mana si Syden ini, justru begitu sulit. Lebih menyebalkan dibandingkan kakaknya.
"Banyak bicara kau ini," ujar Nakula sebal.
"Ayo Jane ke ruanganku. Ada yang ingin bertemu denganmu," sahut Nakula yang sudah beralih ke arah Jane.
"Oh ya, siapa memangnya?" tanya Jane heran.
"Kau lihat sendiri saja. Ayo!"
Jane mau tidak mau menurut. Terlebih tangannya sudah digandeng oleh Nakula begitu erat. Untung saja kantor belum mulai bekerja. Mereka masih asyik di bawah untuk sarapan dahulu.
Sampai di depan ruangan Nakula, Jane menoleh ke belakang yang tidak ada Syden mengikuti. Dia bertanya dahulu pada Nakula karena khawatir pada anak tersebut.
"Syden ke mana, Nakula? Aku pikir dia mengikuti kita."
Nakula yang hendak membuka pintu menoleh ke belakang. Benar memang tidak ada Syden dan juga Anta.
"Biarkan saja. Sama Anta juga. Tidak perlu khawatir."
Nakula melanjutkan gerakan tangannya mendorong pintu. Mereka masuk ke ruangan yang begitu ramai.
"Nakula. Kau lama sekali," ucap perempuan yang suaranya begitu familiar.
"Waw. Jane!"
Sandra langsung melangkah menuju ke arah Jane. Gadis itu hanya bisa terbengong dengan apa yang ada di depannya.
"Apa kabar?"
Sandra langsung melayangkan pelukan pada gadis tersebut. Yang mana Jane masih saja diam. Tapi tangannya sudah membalas perbuatan Sandra.
"Kau semakin cantik dan terlihat dewasa," komentar Sandra pada Jane.
"Kak Sandra."
Jane sudah menangis. Apa yang ada di depan matanya begitu mengejutkan. Dia tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan perempuan yang sudah dia anggap saudara itu.
"Ah tidak perlu menangis gadis kuat."
Sandra kembali memeluk Jane. Mereka seperti dua saudara yang baru saja bertemu. Terasa sekali kehangatan yang tercipta.
"Kak, kapan sampai di sini?" tanya Jane yang merasa belum yakin ada Sandra di sini.
"Kemarin. Nakula juga yang menjemput. Katanya kau sedang sakit. Untuk apa datang ke kantor?"
Jane menoleh ke arah Nakula. Melayangkan tatapan protes pada pemuda tersebut. Yang mana si pemilik nama, justru mengedipkan sebelah matanya menggoda.
"Aku sudah baikkan. Hanya kelelahan sedikit. Pekerjaan sedang banyak," ucap Jane jujur.
"Ah kau memang harus menambah personil. Kau minta Nakula asisten saja ya."
Sandra masih sama seperti dulu. Masih perhatian terhadap Jane. Hingga gadis itu kesulitan membantah apa yang dia katakan.
"Oh ya, anak-anak Kakak sudah lahir. Sini kukenalkan."
Sandra membawa tangan Jane untuk mengikutinya. Tidak lupa gadis itu juga bersalaman dahulu dengan Bara.
"Kak Bara. Lama tidak berjumpa?"
Bara terkekeh geli. "Kau saja yang tidak melihatku. Padahal aku sering ke kantor Samuel dulu," ucap Bara.
"Oh ya. Aku tidak tahu Kak."
Jane merasa tidak enak. Jadi tamu misterius yang dulu sering Samuel rahasiakan itu Bara.
"Ya tidak masalah. Karena keinginan dia juga tuh."
Dagu Bara menunjuk ke arah Nakula yang justru sedang bermain puzzle dengan anak laki-laki di pangkuannya.
Sementara Jane hanya salah tingkah. Dia tersenyum canggung.
"Katanya mau jadi kaya dulu baru bertemu kau Jane. Bagaimana? Enak tidak punya mantan Billionaire?" ledek Bara yang mengarah ke sosok Nakula yang langsung cemberut di tempat.
"Ah biasa saja si Kak," ucap Jane.
"Yang luar biasa memang cintanya. Kau mau bilang begitu kan Jane?" celetuk Nakula yang mana membuat Jane sangat malu.
"Ck. Kau itu hanya kata-kata saja yang kaya. Buktikan dong."
Sandra tidak terima dengan perlakuan Nakula kini. Dia juga langsung saja mengenalkan anggota baru keluarganya.
"Oh ya Jane. Ini kenalkan Intan. Dia pengasuh Syden. Tadi sepertinya kau sudah bertemu dengan anak itu."
Jane mengangguk, dia melangsungkan tangannya ke arah Intan.
"Jane," ucap Jane meminta berkenalan.
"Intan."
Intan memegang tangan Jane takjub. Pikirnya mana mungkin Nakula mudah move on kalau tangan Jane saja sehalus ini.
"Perawatan di mana, Nona?" tanya Intan yang mana langsung disikut perempuan di sebelahnya.
"Hus tidak perlu didengarkan dia. Kenalkan saya Rieka. Panggil saja Eka. Saya pengasuhnya Tuan muda Svarga. Ini orangnya. Kembarannya Tuan muda Syden."
Perempuan di sebelahnya sudah lebih dulu mengenalkan diri. Sebelum dirinya dikenalkan oleh Sandra.
Eka pun menggenggam tangan Jane dan sama takjubnya.
"Iya benar, halus sekali."
Jane merasa tidak enak. Dia meminta ijin menarik tangannya.
"Aku hanya perawatan di rumah saja. Tidak perlu berlebihan," ucap Jane tertawa.
"Aslinya memang cantik. Kalau kami ikut Nyonya ke salon juga sama saja kusut. Bisa begitu ya?"
Ucapan Eka mengundang gelak tawa orang di ruangan itu. Padahal kulit mereka juga sama terawatnya.
"Jane kau juga harus kenalan dengan anak kecil ini."
Nakula menegakkan badan anak kecil di pangkuannya.
"Ayo Eugene, kau harus berkenalan dengan ... siapa aku harus memanggilnya. Kau memanggilku Paman, berarti dia Bibi."
Nakula bertanya dan menjawab sendiri.
"Ini ...."
Jane mendekat ke arah anak kecil di pangkuan Nakula. Dia baru ingat kalau tampang anak ini yang ada di ponsel Nakula. Wjaahnya juga tidak asing di matanya.
"Ayo Eugene kenalkan dirimu?"
Bukan mengajak berkenalan, Eugene justru mengulurkan kedua tangannya.
"Bibi, maukah kau menggendongku?"
Jane sempat terpaku beberapa saat. Tapi sejurus kemudian, dia ikut merentangkan tangannya lebar. Entah ada dorongan dari mana, untuk menyambut tubuh kecil itu.
***