Jane tidak mengeluarkan sepatah kata pun saat di mobil. Pun ketika Nakula banyak mengobrol dengan Jane. Dia tidak berbicara tanpa ditanya.
Sendirinya pun lebih memilih duduk di belakang. Memainkan ponsel, atau sesekali terpejam ketika dirasa lelah.
"Kau mau mampir dahulu, Nakula?" tawar Nadine yang sudah sampai di depan kediaman Sandra.
"Tidak ya. Lain kali saja. Ini sudah malam. Besok masih harus bekerja," ujar Nakula menanggapi ajakan Nadine.
"Ah baiklah. Tapi kalau akhir pekan, kau wajib ke sini. Anak-anak selalu menanyakan kau."
Nadine berkata dengan begitu lembut. Sikap keibuan yang ada padanya, selalu berhasil membuat Nakula tidak tega untuk menolak.
"Iya. Aku akan ke sana bersama Jane," sahut Nakula.
Nadine yang awalnya semangat, mendadak muram. Dia tersenyum begitu terpaksa. Setelahnya mengangguk.
"Baiklah. Aku tunggu, iya kan Jane?" ucap Nadine yang menoleh ke arah belakang.
Jane yang sejak tadi sibuk sendiri, terpaksa tersenyum. Dia hanya ingin menghargai perempuan di depannya itu.
"Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu. Selamat malam."
Nadine keluar dari mobil. Dia berjalan beberapa langkah untuk kemudian berbalik badan kembali. Melayangkan tangan ke arah Nakula dan juga Jane.
Setelah benar-benar masuk ke dalam rumah, giliran Nakula yang menoleh ke arah perempuan di belakangnya.
"Sayang. Kau tidak pindah ke depan?" tanya Nakula pada Jane.
Gadis itu menggeleng. "Aku mengantuk, malas untuk berpindah," ujar Jane yang langsung memejamkan mata.
"Matamu terpejam, lehermu mendongak. Kau minta dicium brutal di sini."
Jane langsung menurunkan kepalanya yang bersandar. Memang sedikit mendongak hingga leher jenjangnya terekspos.
"Apa sih. Kau mau mesum biar aku lari ke rumah kak Bara. Mereka pasti akan menghajarmu," ucap Jane yang penuh dengan ancaman.
"Lah kalau lari ke rumah mereka, justru kita akan dinikahkan saat ini juga. Atau itu yang kau mau? Boleh kok, kita ucap janji suci dahulu. Baru setelahnya resepsi."
Jane dengan keras menendang kursi di depannya. Dia merasa sakit di pergelangan kaki. Tapi tidak mau terlalu menunjukkan.
"Duh Sayang, nanti kakimu sakit loh," ujar Nakula dengan penuh perhatian.
"Biarkan saja. Ayo cepat bergerak. Aku begitu lelah, ingin segera tidur."
Nakula mendesah. Dia masih menoleh ke belakang. "Kau pindah dulu ke depan, apa tidak bisa. Aku seperti sopirmu saja."
Jane memilih memalingkan wajah. Bersikap bodo amat pada bos besarnya itu.
"Dih kacang mahal ya."
Ketukan di kaca jendela mengejutkan keduanya. Nakula menatap ke samping dan membuka sedikit kaca.
"Maaf Tuan Nakula, apa ada sesuatu yang terjadi? Dari tadi tidak juga jalan."
Petugas keamanan yang mengunjungi mobil Nakula. Merasa heran dengan tingkah laku orang kepercayaan Bara tersebut.
"Ah tidak kok. Sedang lihat map saja. Maaf ya Pak Yanto. Ini mau jalan."
Petugas keamanan itu mengangguk. Dia mempersilakan Nakula menjalankan mobilnya.
Di kursi belakang, Jane tampak menahan tawa. Merasa lucu dengan kejadian tadi.
"Kau senang sekali tampaknya?" tanya Nakula yang masih saja cemberut.
"Maaf Tuan, aku tampak biasa saja," sahut Jane yang sudah kembali ke mode datar.
"Ck. Kau jangan mengolok-olokku Jane. Ini juga gara-gara kau yang tidak juga pindah ke depan. Petugas keamanan menganggap aku sedang mengintai."
Jane membenarkan posisi duduknya. Dia mendekatkan wajah ke depan. Tepat di dekat leher Nakula.
"Kau sendiri yang cari masalah. Bukan mengantarku dulu atau membiarkan aku pulang sendiri. Kau malah memilih mengantar perawat Eugene lebih dulu."
"Namanya Nadine, Jane."
Nakula meralat julukan yang Jane berikan. Meski tidak salah. Tapi dari nada bicara gadis itu, seakan merendahkan. Padahal mereka sudah berkenalan.
"Ya memangnya kenapa? Dia memang benar perawat Eugene. Aku tidak salah menyebut bukan?"
Jane tentu saja merasa kesal. Dia hanya malas memanggil nama Nadine yang baru saja disebutkan Nakula. Lebih memilih memanggil sesuai profesinya. Tapi ternyata Nakula tidak menerima hal itu.
"Ya benar. Tapi kan dia punya nama. Kau juga kan sudah berkenalan dengannya. Lagi pula, tadi kita bahkan makan malam bersama-sama. Seharusnya sudah lebih akrab."
Jane memutar bola matanya malas. Dia kembali menyandarkan punggung ke belakang. Ingin menjawab yang makan bersama itu kan kalian berdua. Tapi tidak jadi.
"Terserah kau saja Nakula. Yang jelas aku akan memanggil sesuai yang dia sebutkan. Entah nama, entah profesi. Toh dia saja bangga dengan hal itu. Kenapa justru kau yang sewot?"
Nakula mendesah. Dia tidak berminat melanjutkan bantahan pada Jane. Cukup sampai di sini saja perdebatan mereka. Takut kalau diteruskan akan semakin lama lagi.
***
"Ayo turun."
Mengendarai tiga puluh menit dalam keheningan. Tidak tahunya, Jane sudah terlelap di kursi belakang.
Jane bilang lelah dan mengantuk. Berarti benar adanya. Ternyata tubuhnya memang belum sepenuhnya pulih.
Melihat pemandangan di belakang tubuhnya. Nakula tidak tega membangunkan. Dia akan menggendong tubuh Jane ke kamar mereka saja.
"Kau ini ya. Aku pikir masih marah padaku. Tidak tahunya tidur," ucapnya menggelengkan kepala. Salahnya sendiri yang tidak mengajak Jane berbicara. Bahkan tidak melihat ke belakang. Sibuk dengan jalan, juga banyak kata di kepala.
Dengan sangat hati-hati, Nakula menggendong Jane yang meringkuk. Jalannya dibuat cepat. Takut Jane terganggu dengan perpindahan ini.
"Selamat malam Tuan Nakula. Ini kenapa Nonanya?" tanya petugas keamanan yang melihat Nakula membopong Jane di depan.
"Tidur saja. Kelelahan. Boleh bukakan pintu dan tekankan lift?" ujar Nakula yang meminta pertolongan.
Petugas itu mengangguk. Dia berjalan di depan Nakula. Mengikuti arahan yang Nakula berikan. Dia juga mengikuti Nakula sampai benar-benar berada di depan kamar.
"Terima kasih atas bantuannya Pak. Tipnya besok ya," ujar Nakula bergurau.
"Astaga Tuan Nakula nih. Saya niat membantu. Tidak perlu memikirkan. Bisa-bisa saya di SP sama kantor."
Mereka berdua terkekeh bersama. Hal yang biasa untuk ditertawakan. Namun, tidak pernah gagal.
"Baiklah, kami masuk dulu. Selamat malam."
Petugas itu mengangguk. Dia melanjutkan langkahnya berkeliling.
Sementara Nakula tentu saja masuk ke kamar. Dengan penuh kelembutan meletakkan Jane di atas ranjang.
Baru akan berdiri untuk keluar. Tangannya sudah lebih dulu ditarik Jane.
"Kak," ucap Jane begitu lirih. "Kau tidak menengokku di sini?"
Begitu ucapannya yang membuat Nakula merinding.
"Tengok apa nih? Gunung kembar, eh?"
Nakula memukul mulutnya yang mulai tidak terkontrol. Hal ini juga lantaran, kancing baju Jane yang terbuka dua bagian di atas. Membuat apa yang sebelumnya pernah dia lihat, kembali mengintip.
"Kurang ajar memang napsu. Jauh-jauh sana."
Nakula mengedipkan mata, membuka lagi, mengedipkan lagi. Mengusir hal buruk yang sedang menari-nari di atas kepala.
"Sudahlah Jane. Kau pasti rindu kakakmu ya. Besok aku cari tahu jadwalnya untuk meminta dia datang."
Setelah berhasil mengendalikan diri. Nakula berjalan pelan keluar kamar. Tidak mungkin untuk saat ini menggoda Jane yang terlelap. Bisa-bisa dia sendiri yang tergoda.
"Halo Anta. Kau tahu kabar Tuan Zhou?"
***