"Loh kok ke sini?" tanya Jane yang memandang ke arah gedung di depannya.
"Iya. Aku mau pulang saja. Kau istirahatlah," ucap Nakula yang sejak jalan pulang memang lesu.
"Loh tapi pekerjaan aku belum selesai. Tas aku juga masih di kantor," ucap Jane tidak percaya.
"Ponsel dan dompet kau bawa kan tapi?" tanya Nakula yang mendapat anggukan dari gadis tersebut.
"Ya sudah. Tunggu apa lagi? Pekerjaan kau sudah selesai hari ini. Besok lagi bekerjanya."
Jane yang sempat kebingungan, akhirnya menurut juga. Dia tidak paham dengan sikap Nakula seperti ini. Tapi juga tidak bisa membantah perintahnya.
Sekarang memang baru pukul setengah tiga. Seharusnya mereka pulang pukul empat sore. Masih ada waku satu setengah jam. Tadi di restoran terlalu asyik membahas rencana pembangunan laboratorium perusahaan. Tidak heran, begitu banyak menyita waktu.
"Sudah lah Jane. Anggap saja bonus dari atasan karena kau tadi menemaninya bertemu patner kerja. Ya anggap saja seperti itu."
Sepanjang jalan ke kamarnya, Jane terus melafalkan hal tersebut. Dia anggap semua yang terjadi padanya hari ini memang benar-benar karena alasan pekerjaan. Meski dia harus menumpuk pekerjaannya esok hari.
Membuka kamar apartemen, Jane mendapati lenggang keheningan. Dia menjadi teringat pernyataannya tadi di depan Nakula, Asmara dan juga Alfa.
Tidak ingin terikat hubungan dengan siapa pun. Mungkin itu juga alasan masih sendiri hingga kini.
Namun saat kembali ke apartemen sesore ini. Jane menyadari suatu hal. Dia begitu kesepian. Tidak ada teman untuk mengadu aktivitas sehari-hari yang telah dia lakukan. Tidak ada kesedihan dan keceriaan yang bisa dia bagi dengan orang lain.
Jane bertahun-tahun melupakan kebutuhannya untuk itu.
"Bisa Jane bisa. Saatnya me time hari ini. Nakula sudah berbaik hati memberikan kau waktu kembali lebih cepat. Gunakan saja hal ini dengan baik," gumam Jane.
Dia pun memilih menuju dapur untuk membuat jus yang bisa membuang rasa hausnya. Rasa kering untuk memiliki keluarga.
"Mari kita lihat di lemari pendingin ada apa?" ucap Jane.
Betapa terkejutnya dia saat mendapati lemari pendingin dalam keadaan penuh. Beberapa detik, baru dia sadar kalau kemarin sudah mengisinya. Hasil belanja dengan Nakula.
"Astaga, bisa-bisanya aku syok begini. Tentu saja karena ulah si bos angkuh, sombong, congkak, posesif, super menyebalkan dan apa lagi ya?"
"Dan tampan dan membuat kangen juga."
Jane langsung membalikkan badannya. Dia langsung melonjak kaget saat menyadari sudah ada Nakula di depannya.
"Nakula. Kau mau apa di sini heh?" tanya Jane yang masih syok.
Nakula seperti penghuni apartemen ini. Tiba-tiba saja sudah ada di dalamnya.
"Kau membuat julukanku banyak sekali. Tapi dari semua yang kau sebutkan, tidak ada satu pun bagusnya. Kau mau pencemaran nama baik heh?"
Nakula menyilangkan tangan di depan dada. Kakinya pelan menghampiri Jane yang tampak membeku di depannya.
"Nakula, mau apa kau?" tanya Jane panik.
Pandangan pria itu begitu lain. Jane sampai tidak bisa bergeser tempat sama sekali. Seakan terkunci dari pandangan Nakula.
"Aku mau menagih janjimu kemarin. Kan mau memasakkan nasi lemak, bukan?" ucap Nakula yang jaraknya begitu dekat dengan Jane.
Embusan napas pria itu bahkan tercium dengan jarak sedekat ini.
"Kita kan habis makan. Apa tidak kekenyangan?" tanya Jane mencoba realistis.
"Untuk malam kok. Biar kau tidak lupa saja."
Jane bernapas lega, saat Nakula menjauhkan badan darinya. Paling tidak pandangan Nakula sudah normal seperti biasa. Tidak mengintimidasi seperti tadi.
"Oh tenang saja. Berarti aku tidak perlu membuat sekarang kan?" ucap Jane dengan tenang.
"Kau duduk saja di kursi bar itu. Aku akan buat jus jeruk, kau mau?" ucap Jane lagi sekaligus bertanya.
"Ya boleh."
Nakula berjalan menjauh. Dia menuju ke kursi bar sesuai dengan perintah Jane. Dari sudut ini, dia bisa melihat Jane yang sedang mengupas jeruk mandarin dan memasukkannya ke blender.
Segala tingkah laku Jane terekam jelas oleh pandangan Nakula. Dia tidak ingin melewatkan kecantikan yang paripurna dari seorang Jane yang exclusive ditunjukan padanya.
Hanya dalam waktu singkat, dua buah jus sudah tersaji di depan mata Nakula. Jane berbalik badan untuk mencuci tangan di wastafel. Lanjut mengambil sesuatu di lemari pendingin.
"Cocok tidak sih? Aku harap cocok ya?" ucap Jane sambil terkekeh. Dia merasa aneh dengan kebiasaannya yang meminum jus jeruk dengan mengemil brownies cokelat kesukaan.
"Tidak aneh kok. Toh jusnya tidak kau buat manis. Yang manis justru yang buat."
Jane mencebikkan bibirnya malas. Selalu saja Nakula berhasil mencuri gombalan untuknya. Mau heran tapi ini Nakula.
"Iya tahu sih aku memang manis. Terima kasih loh suami orang," ucap Jane yang kali ini berterus terang. Dia tentu tidak ingin ada kesalahpahaman kembali. Sudah cukup baginya ditipu oleh Nakula.
"Suami orang? Suami kau maksudnya?" tanya Nakula yang masih heran dengan ucapan Jane. Padahal sudah jelas kalau tadi Asmara mengatakan dia bukan istri Nakula melainkan sepupu.
"Ck. Kau ini ya. Bukankah kau bilang telah beristri orang Singapura dan saat ini juga memiliki anak?"
Nakula mengerutkan keningnya. "Kapan aku bilang seperi itu?" tanya balik Nakula yang heran dengan pernyataan Jane.
"Kemarin kau bilang pas selesai menelepon istri dan anakmu yang masih tidur."
Nakula mengingat-ingat lagi. Tapi setelah sekian detik berpikir, dia tidak menemukan jawaban dari hal tersebut.
"Kau bukannya hanya tanya istriku orang mana?" tanya Nakula.
"Iya benar. Kau jawab Singapura bukan?" ucap Jane yang masih ingat jelas. Kenyataan itu juga yang membuatnya tidak nyaman sekali.
"Ya memang. Kami juga belum memiliki anak loh," ucap Nakula lagi.
"Ah maaf, aku tidak bermaksud."
Jane menangkupkan kedua tangannya depan dada. Merasa tidak enak. Dia paham hal itu menjadi sesuatu yang begitu sensitif dalam hubungan rumah tangga.
"Ya tidak apa-apa kok Jane. Aku paham, kami masih muda. Dia pun masih asyik dengan pekerjaan barunya."
Nakula memasang wajah sendu. Semakin membuat Jane tidak enak dibuatnya. Apa yang bisa dia lakukan untuk menghibur Nakula saat ini, pasti akan dia lakukan. Tidak tega juga membiarkan Nakula merasa sedih seperti ini.
"Sabar ya Nakula. Anggap saja sedang pacaran saja. Ingat hal yang menyenangkannya."
Jane berusaha menghibur. Meski nyatanya hatinya sakit mengatakannya ini.
"Jadi menurut kau mending pacaran dulu saja ya?" tanya Nakula kembali.
"Ya, itu lebih baik bukan dibandingkan saling menuntut."
Nakula tersenyum senang. Dia menggenggam tangan Jane kembali. Begitu erat dan posesif.
"Jadi lebih baik pacarana dulu saja. Ya sudah kalau itu maumu, Sayang. Terima kasih telah menjadi kekasihku kembali. I love you."
Jane terbengong dengan apa yang Nakula katakan. Apa lagi dia hanya bisa pasrah saja saat Nakula mencium punggung tangannya berulang kali.
***