Selepas mengantarkan Jane ke apartemen. Nakula turut serta masuk. Dia tidak mengindahkan penolakan Jane yang memintanya segera keluar dari tempatnya.
"Mau apa lagi Nakula? Kau bukankah harus bekerja. Begini mau jadi pemimpin. Tidak ada yang patut dicontoh."
Nakula mengangkat bahunya tidak acuh. Terserah Jane mau berkata apa padanya. Yang jelas, Nakula begitu khawatir dengan keselamatan gadis ini.
"Kau membuat aku khawatir. Jadi aku putuskan merawatmu saja."
"Aku bukan anak-anak Nakula. Untuk apa juga sampai dirawat sama kau. Seperti kurang kerjaan saja."
Jane memajukan bibirnya sebal. Selalu seperti ini jika dia berdua saja dengan Nakula. Ada saja hal yang mereka perebutkan.
"Kau bukan anak-anak. Tapi nanti kau yang akan melahirkan anak-anakku bukan?" ucap Nakula dengan seringai jahilnya. Kentara sekali menggoda Jane.
"Sudah deh. Aku bosan dengan topikmu yang terus merayuku."
Jane memilih bangun dari tempat tidurnya. Dia abaikan Nakula yang ternyata turut mengekorinya.
"Kau kenapa mengikutiku?" tanya Jane yang risih saat ada langkah kaki lain di belakangnya.
"Memangnya kau mau ke mana? Aku hanya memastikan kau baik-baik saja."
Jane tidak menjawab. Dia tetap menjalankan kakinya menuju dapur. Langsung berhenti di depan lemari pendingin besar yang ada di sana.
"Kau mencari apa?" tanya Nakula yang heran dengan Jane.
"Aku mencari makanan yang bisa ku makan."
Nakula paham dengan keinginan Jane. Dia mengambil tubuh itu dan mendorongnya sampai ke kursi bar.
"Kau duduk saja di sini. Biar aku yang menyiapkan makan siang untuk kita."
Jane mengerutkan kening. "Mana bisa begitu. Aku mau makan masakanku sendiri. Kalau kau mau masak, masak saja untukmu saja. Tidak perlu membuatkan aku."
Belum apa-apa, Jane sudah protes saja. Serasa masakan Nakula tidak enak sama sekali. Atau dia anti dengan masakan pria tersebut.
"Jane, aku hidup di luar negeri sendiri. Aku bisa masak. Kau tidak akan keracunan memakan masakanku. Tenang saja," ucap Nakula bangga.
Jane menggeleng. Dia tidak mau merasakan lagi apa yang dibuat Nakula. Baginya sudah cukup dulu kala saja.
"Tidak. Aku tidak mau percaya. Kau saja tidak bisa membedakan mana garam dan gula. Bagaimana aku akan percaya rasa masakan kau."
Nakula menggaruk belakang lehernya. Dia dulu begitu gugup saat memasak. Padahal keahliannya mengolah makanan tidak perlu diragukan. Tapi pertama kali menghidangkan untuk Jane, dia justru mengacaukan segalanya.
"Aku minta maaf soal yang lalu. Kan sudah aku jelaskan, kalau aku begitu gugup. Kau tidak mau dengar."
Jane mendengkus sebal. Dia tidak akan percaya begitu saja. Memang secinta apa pun Jane pada Nakula dulu, dia akan jujur kalau apa yang dia makan tidak enak. Budaya di keluarganya sudah seperti itu. Begitu frontal. Dia dulu saja sempat dihina-hina mamanya, saat pertama kali memasak. Begitu juga dengan saudaranya.
"Berikan aku kesempatan. Sungguh aku akan buat makanan enak."
Nakula menuju ke lemari pendingin. Dia mencari-cari menu simple yang bisa dia olah cepat.
"Bagaimana kalau aku buat spaghetti."
Nakula menunjukkan dua kemasan spaghetti yang masih terbungkus rapi.
"Aku akan memasak ini sebagai permulaan untuk mengembalikan kepercayaan kau. Bagaimana?" ucap Nakula mengiba.
"Tapi aku tidak ingin pasta. Aku mau makan sayuran dan juga sambal kentang goreng ati."
Jane menunjukkan keinginannya. Tentu saja itu yang selama ini dia pikirkan.
"Itu sulit," ucap Nakula. "Ini saja. Aku bisa cepat. Lagi pula kau akan pingsan lagi kalau tidak cepat-cepat makan. Sudah duduk saja dan jangan protes."
Seperti biasa. Nakula tidak bisa dibantah. Dia sudah menuju ke meja dapur untuk mengolah apa yang ingin dia buat. Sementara Jane pasrah duduk. Memang benar apa yang Nakula katakan. Dia butuh segera makan. Energinya harus segera diisi, sebelum dia jatuh pingsan lagi.
Sambil menunggu, Jane memainkan akun sosial medianya. Dia menyalakan kamera dan memotret punggung Nakula dari belakang.
"Koki kilat."
Itu caption yang dia unggah di story miliknya. Dia tertawa sendiri melihat tingkah konyol dirinya.
Sempat ragu menekan tombol kirim. Tapi akhirnya terlaksana juga.
Foto itu tidak tampak wajah Nakula sama sekali. Tapi orang kantor yang ada di akunnya, pasti bisa mengenali itu Nakula.
Jane segera sadar. Dia buru-buru mengambil ponselnya dan berniat menghapus unggahan tersebut.
"Jane ini makanlah."
Terlambat. Nakula sudah mengambil ponselnya. Dia bahkan memasukkan di saku celana yang dikenakan.
"Kenapa ponselku masuk ke saku celanamu?" ucap Jane yang protes dengan aksi Nakula.
"Biar kau fokus makan. Ayo segera habiskan."
Nakula tidak acuh saja. Dia sudah duduk dan menuangkan air ke dua gelas di depannya.
"Nakula kembalikan ponselku," rengek Jane pada pemuda di hadapannya.
"Ambil saja sini. Tapi jangan sampai tangannya salah ya. Bahaya."
"Bahaya kenapa?"
Jane merasa aneh dengan kata bahaya yang Nakula katakan. Mengambil ponselnya sendiri untuk apa bahaya.
"Soalnya dekat dengan pusat napsu. Nanti kau aku serang sekarang juga, apa mau? Mumpung tidak ada orang lain."
Jane seketika menendang kaki Nakula dari bawah meja. Pemuda itu mengaduh keras. Tendangan Jane begitu sakit dia rasa.
"Sakit Jane!" ucap Nakula sampai meringis.
"Makanya jangan mesum saja yang kau pikirkan."
Nakula hanya menanggapi dengan cengiran santai. Tidak merasa terganggu dengan pendapat Jane barusan.
"Ya sudah, kalau begitu makan saja."
Mereka berdua makan dengan lahap. Memang keduanya sama-sama kelaparan. Seakan tidak memberi celah masing-masing untuk bernapas.
Tidak heran, kedua piringnya cepat sekali tandas.
"Enak kan Nyonya Nakula?" ucap Nakula dengan bangga.
"Enak kok. Terima kasih Bos."
Nakula tertawa mendengar ucapan tersebut. Mengambil tisu dan mengelap mulut Jane yang sebenarnya bersih. Hanya iseng saja.
"Apa sih Nakula. Mencari kesempatan saja bisanya kau!"
Jane tentu saja tidak terima diperlakukan demikian. Dia sudah menganggap mulutnya bersih. Tapi kelakuan Nakula, seakan menganggapnya anak kecil yang makan saja berantakan.
"Alasan saja!"
Nakula ingin menanggapi. Tapi dering ponsel, mengalihkan perhatian.
"Halo Nadine."
Mendengar nama perempuan itu disebut lagi, Jane siap-siap mendekatkan telinganya. Dia begitu penasaran dengan hubungan yang terjalin antara keduanya. Mengapa mereka begitu dekat dan sering menghubungi satu sama lain.
"Oh ya, kau dan Eugene akan segera tiba. Baiklah aku akan menjemput kalian. Jangan ke mana-mana sampai aku datang."
Panggilan berakhir dengan senyum mengembang di bibir Nakula. Dia bahkan tidak sadar saat melakukan itu di depan Jane.
"Kau akan pergi?" tanya Jane.
"Ya aku ada keperluan sebentar."
Nakula belum mengalihkan perhatian dari layar ponselnya.
"Lalu apa yang kau tunggu?" tanya Jane dengan ketus.
"Aku menunggu kau minum obat. Sebentar kuambil dulu."
Nakula beranjak dari duduknya. Dia meletakkan ponsel yang masih menyala di atas meja.
Karena dilanda penasaran. Jane mengintip siapa yang sebenarnya Nakula hubungi.
Tapi yang dia lihat. Hanya bocah berparas bule yang sedang melambai.
"Siapa anak ini? Wajahnya seperti tidak asing."
***