Nakula mengendarai mobil ke arah bandara. Mimik wajahnya mengartikan kesenangan saat menunju ke sana. Dia benar-benar tidak sabar bertemu dengan orang yang sudah lama tidak dia lihat.
Wajahnya berseri-seri. Senandung kecil lolos begitu saja dari bibirnya. Andai kata Jane tidak sakit, dia pasti akan mengajaknya serta.
Memang setelah memastikan minum obat, tidak lama, perempuan itu terlelap. Efek lelah dan reaksi kimiawi yang dia dapatkan dari tubuhnya. Tentu saja membuat Nakula tidak tega untuk memintanya ikut.
Nakula sampai lebih dulu. Dia menunggu di tempat kedatangan pesawat.
Menunggu selama hampir satu jam. Dari arah jauh, terlihat rombongan keluarga besar Hernandez yang berjalan ke arahnya. Terlebih seorang anak kecil yang berlari ke arahnya.
"Paman Naku!" teriak Eugene dari jauh.
Nakula tersenyum lebar. Dia segera berlari ke arah bocah usia lima tahun tersebut. Kedua tangannya terayun ke depan. Dalam sekejap, tubuh mungil itu sudah berpindah ke dalam pelukannya.
"Astaga, kau sudah besar sekali, Eugene! Kau begitu berat. Apa makanmu begitu banyak?" ucap Nakula setelah mengaduh.
Eugene tertawa mendengar apa yang dilontarkan Nakula. "Tentu saja banyak. Perawat Nadine menyuapi aku makanan yang banyak."
Nakula tertawa dengan apa yang dikatakan Eugene. Begitu lucu masuk ke dalam telinganya.
"Apa Mamamu tidak menyuapimu?" bisik Nakula yang langsung mendapat pelototan dari Sandra.
"Jangan bertanya yang macam-macam Nakula. Kau bawa lah saja ini. Berikan Eugene pada perawat Nadine."
Nakula terpaksa menurunkan Eugene. Bocah kecil itu beralih pada Nadine yang setia merentangkan tangan kepadanya.
"Halo Svarga, halo Syden."
Nakula juga menyapa kedua bocah kembar yang sudah tidak mau digendong. Berbeda dengan Eugene yang masih saja manja. Bocah kembar titisan gen dari Bara itu, tampak mandiri. Sama saja dengan pendahulunya, Sky.
"Halo Paman," ucap Syden ramah. Sementara Svarga hanya mengangguk sebagai balasan. Berbeda sekali dengan kembarannya yang ramah.
"Astaga, lihatlah kembaranmu, Syden. Dia begitu irit dalam hal berbicara. Apa kalian tidak ada keinginan untuk saling berdebat?" ucap Nakula yang mana menimbulkan tawa di bibir Syden.
"Paman jangan seperti itu. Justru kalau Svarga pandai berbicara, Mama Sandra yang akan marah-marah setiap saat."
Syden mengatakan itu dengan berbisik ke telinga Nakula. Menandakan takut sekali terdengar Sandra.
"Oh ya. Kok Mamamu jadi marah-marah. Apa yang salah dengan berbicara?"
Nakula belum juga mengerti konotasinya. Jadi yang bisa dia lakukan hanya bertanya pada Syden.
"Karena, akan ada tiga anak kecil yang teriak-teriak memanggil dia. Belum lagi ditambah Sky dan juga Papa."
Nakula ingin sekali tertawa. Tapi pelototan mata Sandra sudah lebih dulu sampai padanya.
"Ah kau tidak boleh seperti itu Syden. Itu akan menyakiti saudaramu," ucap Nakula dengan bijak.
"Ugh apa Paman mendapat tekanan dari Mama?" tanya Syden yang sudah paham sekali dengan Nakula. Pemuda itu akan bijak, jika sudah ada aba-aba dari Sandra.
"Ah bukan begitu Syden. Memang kita harus lebih mengerti lagi kondisi orang lain. Saat ini Svarga yang pelit bicara. Tapi bisa jadi, dua atau lima tahun ke depan, dia akan begitu cerewet dan banyak maunya."
"Itu mah Paman."
Intan dan Eka yang ada di belakang Syden dan Nakula tertawa. Dua pengasuh dari si bocah kembar itu, terang-terangan mengejek Nakula. Yang mana membuat pria itu merenggut sebal.
Percakapan gurauan usai. Mereka masuk ke mobil yang sudah disiapkan sebelumnya oleh Nakula. Dibalik kesibukannya. Nakula menyempatkan diri membantu keluarga Hernandez tersebut yang ingin kembali ke Indonesia.
***
"Jadi mana Jane? Katanya kau bertemu dengannya lagi?" tanya Sandra yang baru ingat dengan gadis tersebut.
"Eh dia sedang sakit Kak. Tidak bisa ikut," ucap Nakula.
"Sakit apa? Kau tidak memforsir tenaganya bukan?" tanya Sandra yang merasa sebal dengan Nakula. Dia tidak mau, Nakula menjadi bos yang kejam kepada bawahannya. Terlebih ini mantannya juga.
"Ya mana mungkin Kak. Karena dia terlalu semangat bekerja saja. Dia kan baru di Indonesia, jadi masih awal sekali."
Nakula mencoba menjelaskan perihal Jane. Sampai saat ini, Sandra memang masih merestui hubungan mereka. Apa lagi, tahu kalau Jane masih ada hubungan darah dengannya. Yang juga, merupakan Bibi dari Eugene.
"Iya benar. Terus kau berniat untuk melabuhkan cinta kalian kembali? Kau dan Tuan Zhou sempat membicarakan ini kan sebelumnya?"
Nakula memalingkan wajah. Lantas mendongak menatap lampu pijar di atasnya. Dia kesulitan menentukan apa akan curhat dengan Sandra atau tidak. Mengingat perempuan itu, terkadang suka sekali mengejeknya.
"Mengapa kau seperti itu? Sedang meledekku hah?"
Sandra tampaknya tidak senang dengan sikap Nakula barusan. Dia mencari alat untuk bisa menggetok kepala Nakula.
"Cepat katakan. Kau banyak sekali alasannya."
Sandra melempar bantal sofa ke arah Nakula. Yang mana membuat pria itu mengangkat kepalanya.
"Maaf Kak. Aku sebenarnya ada rencana kembali. Bahkan sudah mengatakan padanya. Tapi—"
"Tapi kau ditolak olehnya?" potong Sandra cepat.
"Aduh Kak."
Nakula salah tingkah. Dia menggaruk tengkuknya. Terasa sekali sorot tajam dari mata Sandra untuknya.
"Kau benar-benar seperti tidak berguna Nakula. Yang seperti ini saja tidak bisa atasi sendiri."
Sandra membawa tangannya ke dagu. Tampak berpikir apa yang seharusnya dia lakukan untuk menyatukan mereka.
"Ya seperti ini adanya, Kak. Kita sudah lama sekali tidak bertemu. Bahkan dia mengaku memiliki kekasih. Siapa yang tidak dibuat mendidih karena hal ini."
Sandra mengangguk paham. "Benar juga. Dari pada menunggu kau yang tidak jelas. Memang sudah seharusnya Jane move on saja. Toh Kakak yakin, dia pasti bisa dapat pria yang seratus kali lipat dibandingkan kau."
"Kak, tolong ya."
Nakula merasa kesal dengan Sandra. Kadang kala dia membela hubungan Nakula dan Jane. Kadang kala, dia juga meminta untuk segera diakhiri saja.
Mungkin faktor hormon merubah segalanya.
"Ya habis kau seperti pasrah beberapa tahun ini. Kakak kan jadi cari sampingan."
"Kau mau cari sampingan apa memangnya?"
Baru selesai mengatakan itu, Bara sudah dulu muncul. Dia sudah berganti dengan pakaian rumahan.
"Ini Bara. Adik kau ini begitu galau dengan cinta lama."
Bara mengerutkan keningnya. "Jane maksudnya?"
Sandra langsung mengangguk saja. "Memangnya Nakula pernah dengan siapa lagi selain Jane?" ucap Sandra santai.
"Oh ya. Jane itu keuangan juga di kantor Samuel kan? Coba hubungi Nakula. Tanyakan padanya, password brankas di ruangan Samuel kodenya berapa. Dia tanya sama Paman, mana Paman tahu. Sudah coba hubungi Jane, tapi belum ada tanggapan."
Nakula mengangguk paham. Dia lantas mengeluarkan ponselnya untuk segera menelepon Jane.
Dalam tiga nada dering saja. Panggilannya sudah dijawab oleh Jane.
Jane : "Iya Nakula, ada apa?"
Nakula membenarkan posisinya. Padahal yang melihat juga hanya Sandra dan Bara. Bukan kekasih hatinya.
"Jane, kata Paman—"
Suara pria lain di telepon Jane : "Kau benar sakit dan tidak bisa ikut?"
Mendengar suara pria lain. Sontak saja, ubun-ubun Nakula serasa mendidih.
Tanpa aba-aba lagi, dia menutup ponsel dan bergegas mengambil kunci mobil.
"Nakula kau mau ke mana?"
Bukan hanya teriakan Sandra saja. Tapi saat dia ingin pergi, suara Nadine juga nencegahnya.
"Makan dahulu sebelum pergi," ucap Nadine yang suaranya sudah mencegah Nakula.
"Nanti saja ya."
***