Selamat Membaca
Sekumpulan murid laki-laki berseragam basket penuh keringat baru saja selesai latihan. Mereka mengambil duduk di area lapangan sambil mengibaskan tangan untuk menghilangkan penat dan rasa panas. Para penonton atau murid lainnya sudah mulai bubar. Sorakan dan suara yang tadinya berisik kini telah hilang setelah berakhirnya latihan.
Namun, ada satu geng perempuan yang tampak mendekati tempat beristirahat seorang pria yang cukup familiar di sekolah Atma Bangsa, pria itu adalah Reynand Dirgantara. Seorang ketua dari geng basket yang merupakan idaman para siswi SMA Tunas Bangsa.Memiliki wajah tampan dan tubuh atletis, membuat pria yang sering dipanggil Rey itu menjadi incaran para wanita. Terkenal ramah di sekolah. Prinsip Angkasa,
'Berbuatlah semamumu jika itu membuat hidupmu terasa berguna, tetapi jangan paksa siapa pun untuk mengikuti alurmu jika ia tidak suka. Termasuk dalam mencintai dan dicintai.'
"Semua punya hak untuk mencintai dan dicintai, tetapi di saat hati berani jatuh cinta, kita juga harus berani menerima resikonya, ditolak, berjuang, dan terluka." Kalimat yang Rey sering ucapkan terhadap ketiga sahabatnya—Jeffri, Abas, dan Idoy.
Rey memicingkan mata, memperhatikan sepatu dan beberapa kaki yang mulai mendekat ke arahnya. Pandangan Rey datar di saat melihat pemilik sepatu pada barisan pertama. Yumi?
"Hai, Rey." Gadis bernama Yumi itu langsung mengambil posisi duduk di samping Rey. Rey hanya membalas sapaan itu dengan senyuman dan sedikit bergeser karena Yumi duduk di sampingnya tanpa memberikan jarak.
Yumi menghadap kearah anggota gengnya. "Trio spoiled girl" begitulah Yumi mengucapkan nama geng miliknya di sekolah. Jemari gadis itu bergerak ke arah dua gadis yang selalu setia menemani— seperti meminta sesuatu—Tiara dan Vanesha.
"Ini, buat Rey ." Yumi menyodorkan sebotol minuman, kotak bekal, dan handuk kecil. Seketika hening tanpa jawaban, para anak basket yang berbaring di lapangan fokus ke arah Reyyang dikelilingi siswi geng spoiled girl. Beberapa langkah terdengar mendekat dan berakhir di samping kiri Rey. Dia adalah Abas.
"Yumi, kau adalah bagaskara yang menyinari buana, bagai cahaya untuk hidupku yang merana." Abas menarik kasar handuk kecil itu dari Rey, lalu membersihkan keringat dipelipisnya dengan perlahan. Terakhir, ia menggantung handuk itu di leher, layaknya sebuah medali penghargaan.
Satu sosok pria lagi bangkit dari lapangan mendekat mengambil kotak bekal ditangan Rey. "Disaat diksi bertindak, maka tubuh sulit bergerak. Seakan dikunci agar menikmati syair yang datang dari hati."
"Seberapa hebat kau untuk ku banggakan,
Cukup tangguhkah dirimu untuk selalu ku andalkan, eakk!" Jeffri langsung melantunkan sebuah lagu dan berjalan bak seorang model di hadapan Rey. Sesekali ia melemparkan senyuman dan melambai dengan gerakan anggun, kemudian meraih botol minuman di pangkuan Rey.
Yumi tampak memancarkan wajah kesal, sepertinya ia emosi dengan tingkah aneh dari ketiga pria konyol di hadapannya.
Inilah tiga pria gila di sekolah SMA Tunas Bangsa, makhluk yang dipelihara oleh Rey seperti babu sendiri. Rasa sayangnya terhadap ketiga pria itu, sudah seperti saudara yang sebenarnya.
"Stop!" Yumi berteriak dan menghentakkan kakinya keras, membuat semua yang berada di lapangan terdiam dan menatap Yumi intens.
"Auu," desahnya mengelus betis yang terasa sakit akibat terlalu keras menghentak.
"Lu bertiga nggak ada hak atas ketiga barang ini!" Ia meraih kasar handuk kecil, botol minuman, dan kotak bekal yang sudah tinggal setangah isinya.
"Nanggung banget, anjir!" ujar Idoy terlihat kecewa sembari mengunyah sisa sandwich di mulutnya.
Yumi tampak tidak peduli, tatapannya begitu tajam ke arah ketiga pria itu. "Gue ngasih ini semua buat Angkasa. Ingat, hanya R E Y !" teriak Yumi menyebutkan satu persatu huruf dari nama Rey, lalu kembali menyebut nama Rey dengan teriakan.
Abas menguyel-uyel hidungnya, menatap Yumi jengah. "Mau lu ngasih si Rey tujuh truk, kek, dia nggak bakal berubah pikiran, nggak akan buat dia jatuh hati ke lu, Yumi. Mending lu ngejar gue aje, lumayan, gue dapet nafkah selama pacaran. Nikmat mana lagi yang akan Abas dustakan, Jeffri?" Abas memejamkan matanya untuk berhalusinasi.
"Tidak ada, Baginda! Silahkan kalian memadu kasih!" teriak Jeffry mengibas-ngibaskan jemarinya seakan memberkati Abas .
"Pacaran, yok!" sambung Abas menatap Yumi dengan kediapan.
"Ogah!"
Melihat itu, Jeffri berjalan mendekati Yumi. "Satu yang perlu diketahui semua penghuni bumi, termasuk engkau, wahai Yumi. Harta Rey adalah harta kami juga. Maka dari itu, barang yang kau berikan, bisa saja turun temurun pada kami bertiga." Jeffri tersenyum tulus, lalu merangkul Yumi dan memberikan sebuah elusan untuk memberikan ketenangan. Namun, perlakuan itu langsung saja ditepis oleh Yumi.
"Maafkan aku yang lupa akan ketidak mahromnya kita, Umi." Jeffri menjauh dan beralih memeluk Idoy dramatis.
"Gue Yumi, bukan umi, Jeffri. Ihh, tolol!" teriak Yumi kesal, Jeffri hanya nyengir kuda tanpa merasa berdosa.
Para anggota basket lainnya bangkit dari istirahat, lalu menjauh meninggalkan lapangan. Abas, Jeffri, dan Idoy tampak menutup telinga rapat-rapat, siap-siap menerima teriakan Yumi. Sementara Angkasa bangkit dari duduknya, lalu berjalan melewati Yumi tanpa mempedulikan apa yang sedang terjadi.
"Ihh, Rey!" teriak Yumi tidak terima.Rey terus saja melangkah dan mengabaikan teriakan Yumi, tetapi Yumi tetap saja mengejar pria pujaan hatinya itu.
"Rey, tunggu!" Langkah Rey terhenti, tetapi tubuhnya tidak berbalik sama sekali. Yumi mengambil tisu dari saku roknya, lalu berjalan mendekati Rey.
"Gue mau lap keringat lo, Beb."Rey menatap datar, lalu menarik paksa sebuah senyuman.
"Oke, terima kasih, ya, Yumi." Pria itu menerima tisu dari Yumi dengan suara yang terdengar sangat lembut.Yumi tersenyum senang, berniat mengarahkan tisu itu ke leher Rey. Namun, segera Rey menahan perlakuan itu.
"Gue bisa lap sendiri." Rey kembali tersenyum dan berakhir dengan senyuman Yumi yang memudar.
"Udah, gue aja yang lap, lu pasti kecapean, 'kan?". Rey menatap datar gadis di hadapannya, menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Harus dengan apa lagi agar ia bisa mengusir ulat itu?
"Boleh, 'kan?" tanya Yumi memastikan.
"Oke, silahkan." Rey tersenyum lagi, lalu membungkukkan tubuh agar Yumi dapat menyapu keringat di pelipisnya.
"Lu emang idaman banget, ya." Rey menyentuh dagu Yumi dengan jari telunjuk, membuat gadis itu tersenyum malu.
"Ihh, lu kenapa gemesin, sih?" Yumi memanyunkan bibir, sepertinya tidak tahan dengan sikap Rey yang begitu memabukkan.
"Nggak gemesin berarti bukan Angkasa namanya," celetuk Rey merapikan rambutnya.
"Fakta, sih." Dengan membenarkan ucapan itu, membuat pria yang bernama Rey semakin percaya diri.
Rey melipat kedua tangannya di depan dada. "Lu habis ini mau kemana, honey?"
"Arghh, lu kenapa punya senyum manis banget, sih, Rey ?" Makhluk yang dilemparkan pertanyaan hanya membalas dengan senyuman yang tidak pernah ada habis-habisnya ia pancarkan.
Yumi menggigit bibir bawahnya, kemudian menatap Rey dengan harapan. "Gue masih mau di sini sama lu, Sa." Lagi dan lagi, wanita satu ini selalu saja membuat waktu Rey terbuang sia-sia. Membiarkan suara wanita memanggil namanya sangat tidak epik, bagi Rey semua harus diladeni dengan gombalan jika waktu masih memungkinkan. Namun, saat ini baginya bukanlah waktu yang teapat.
Rey meraih jemari Yumi, ia menarik napas sejanak, lalu membuangnya perlahan. "Panas banget, ya, hari ini," ujar Rey menatap langit dengan menyipitkan mata, Yumi mengangguk.
"Mending lu ke kelas deh, Beb. Di luar lagi nggak cocok buat kulitmu yang putih, entar penyakit kulit lagi." Jari telunjuk dan jempol yang menyatu membentuk sarangheo dihadiahkan pada Yumi.
"Ahh, gak mau. Mau sama kamu terus." Kini Yumi mulai bergelayut manja di lengan Rey.
"Duduk di di kelas dengan pose anggun lebih menyenangkan, rembulan," ujar Reynand mengedipkan mata.
Yumi semakin salah tingkah. "Ahh, gue gak tahan, tolong. "Yumi memjamkan mata sembari menghentakkan kaki pelan. Ia mulai berhalusinasi akan menjadi sepasang kekasih yang romantis. Membayangkan betapa indahnya Menjadi Ratu dan Raja bersama Rey di sebuah istana suatu saat nanti.
"Yumi?" Rey memegang bahu gadis itu khawatir. Takut terjadi sesuatu karena senyum-senyum sendiri tanpa alasan.
"Mau gak, Minggu depan kita nonton bareng? Sekalian kencan?" Yumi kembali tersenyum manja dengan mengalungkan tangannya di lengan Rey.
Lagi dan lagi, pria yang dilemparkan pertanyaan itu menarik paksa sebuah senyuman, lalu melirik sekelilingnya mencari cara untuk bisa menghindar. Tidak butuh waktu lama, mata Rey langsung tertuju pada satu makhluk yang baru saja melewatinya. Ingat, lewat begitu saja di hadapannya, sopankah begitu?
"Hei, lu apa kabar?" Suara Rey mampu menghentikan langkah itu. Dengan rasa bangga Rey menunggu gadis berambut sebahu di hadapannya berbalik, dia yakin ini adalah penyelamat yang tepat. Namun, gadis itu hanya berdiam tanpa membalikkan tubuh.
Rey melirik ke arah Yumi yang tampak ikut bingung. Akan tetapi, wajah Yumi juga terlihat seperti kecewa dan tidak terima.
"Gue tuh kangen banget sama lu, kenapa matung, sih?" ujar Rey menggenggam jemari gadis yang ia anggap penyelamat, kemudian langsung menarik pergelangan itu agar menghadap ke arahnya.
"Gak bisa gitu, dong, Rey!"teriak Yumi sejadi-jadinya.Senyuman yang terpancar kini berubah menjadi tatapan datar, menyesal, dan jengah. What the? Rey telah menggenggam pergelangan gadis bernama Gina. Sang musuh bebuyutan.Semua perhatian siswa-siswi kini terfokus ke arah jemari Rey yang melingkar di pergelengan Gina, semua karena teriakan Yumi yang begitu keras. Permainan akan dimulai, Reynand akan berurusan dengan gadis paling menyebalkan dalam hidupnya.
Bersambung ....