Selamat Membaca
"Tunggu sebentar!"
Aku berdiri mematung saat tahu Putra menarik tanganku di gerbang sekolah. Apalagi ditambah senyuman yang begitu menghipnotis dari bibirnya. Mimpi apa aku semalam bisa melihat senyum itu sedekat ini.
"Kamu Rosa, kan?" tanya Putra.
Aku masih diam saja kehabisan kata. Merasa tak percaya dengan apa yang aku dengar. Hey! Putra ingat namaku. Iya, aku yang bahkan sering tak terlihat di mata orang lain ini. Putra ingat namaku.
"Halo, hey, Rosa." Putra melambaikan tangannya menyadarkan lamunanku.
"Eh, iya. Ke-kenapa?" tanyaku.
"Gak apa-apa. Kamu yang dulu pingsan pas MOS, kan? Ternyata kamu di jurusan pemasaran. Aku gak pernah lihat kamu lagi dari hari terakhir MOS. Gimana? Sehat, kan?" Putra balik bertanya.
Jantungku yang gak sehat, Mas. Overload menerima ketampanan kamu.
"Eh, iya. Ternyata kamu ingat ya, Mas Putra," Aku menjawab sambil tertunduk.
"Panggil Putra aja gak apa-apa kok."
"Gak sopan kayaknya," jawabku merasa tak enak, karena ia kakak kelasku. Tak disangka justru jawabanku membuatnya terkekeh.
"Santai aja lagi," kata Putra dengan senyum di bibirnya. Benar-benar tak sehat untuk jantung senyuman itu.
"Eh, ya. Ada apa, Mas?" tanyaku teringat ia tiba-tiba menarikku tadi.
"Gak ada apa-apa sih. Cuma mastiin yang aku lihat tadi beneran kamu apa bukan," jawab Putra, membuatku tak menyangka dengan jawaban yang ia lontarkan. Ia mencegatku hanya ingin memastikan ini aku atau bukan? yang benar saja.
Saat sedang tersipu karena jawaban putra, aku mendengar angkot terakhir ke desaku sudah melaju.
"Aduh! Angkotnya!" teriakku saat berlalunya angkot berwarna orange itu menjauh dari mataku.
Aku lupa kalau ini sudah sore dan itu adalah angkot terakhir. Antara senang dan menyesal bertemu Putra di sini. Lagi-lagi harus jalan. Kemarin aku hanya beruntung Dhika lewat. Hari ini sepertinya harus berjalan sampai rumah.
"Kenapa?" tanya Putra yang bingung melihatku kalut sendirian.
"Eh, gak apa-apa. Sepertinya aku harus pulang sekarang. Maaf, ya, Mas Putra," pamitku, karena jika tak pulang sekarang maka aku akan sampai rumah saat hari sudah gelap. Ditambah aku tak ingin ada yang melihatku berdiri bersama Putra di sini.
"Itu tadi angkot kamu yang terakhir ya? Maaf ya, aku bicara sama kamu terlalu lama, jadinya ketinggalan angkot." Ekspresinya terlihat bersalah. Aku jadi tak tega melihatnya. Apakah dia memang ahlinya membuat orang-orang kasihan padanya?
"Eh, gak apa-apa. Aku biasa pulang jalan kaki kok," ucapku merasa tak enak dengan Putra. "Kalau begitu, aku pulang dulu, Mas," pamitku, langsung berbalik pergi.
"Gimana kalau aku antar," tawarnya langsung menghentikan langkahku.
"Hah?" Aku melongo. Apa tadi aku salah dengar atau bagaimana.
"Aku antar ya. Kebetulan hari ini aku bawa motor." Ia menunjukan kunci motor padaku saat aku berbalik badan. Tampaknya ia serius akan mengantarku pulang.
Aku menoleh kesana-kemari. Takut apabila aliansi fans Putra melihat ini. Bisa habis aku.
"Ayo." Suara Putra dan motornya memanggil di depan gerbang. Sejak kapan ia mengambil motornya.Beruntung sekolah sudah lumayan sepi. Aku menutupi wajahku dengan tas ransel putih milikku. Tak ingin jika ada yang melihatku berboncengan dengan Putra.
"Tapi, beneran gak apa-apa, kan?" tanyaku lagi memastikan apakah Putra benar-benar akan mengantarku pulang, ataukah hanya imajinasiku semata.
"Udah, ayo naik." Putra menarikku agar duduk di belakangnya. Hingga motor matic putih itu melaju melewati jalan aspal menuju rumahku, dengan jantung yang berdetak tak normal seakan tak percaya aku berboncengan dengan cowok yang aku sukai selama ini. Namun, apa tak akan terjadi hal buruk nantinya jika ada yang melihat kami tadi? Semoga saja.
***
Lingkaran hitam di mataku terlihat sangat jelas. Rasa kantuk menjalar, memaksa mata untuk terpejam. Ditambah hari ini pelajaran matematika. Otakku tak mau berjalan sedikitpun. Bahkan terasa sangat pusing. Ini semua gara-gara kejadian kemarin. Terlampau senangnya aku sampai melupakan apa itu tidur.
"Ros, kamu ngerti rumus ini gak, X + Y terus …."
"Aku pusing, tolong ya," kataku memotong pertanyaan Melisa tadi. Aku menyerahkan lembar bukuku yang masih kosong karena sama sekali tak bisa melihat tulisan.
"Pak Dodo, Rosa ijin ke UKS sebentar. Katanya pusing banget," ucap Melisa meminta izin pada Pak Dodo yang ada di depan. Ia memang terbaik, mengerti dengan kode yang aku berikan.
"Loh, Rosa, kamu kenapa sampai pucat banget gitu?" tanya Pak Dodo saat Melisa menuntunku keluar.
"Kecapean, Pak." Aku menjawab lirih dengan mata berkunang-kunang.
Aku dan Melisa berjalan menuju UKS. Bertemu dengan suster Diana yang tengah bertugas. Melisa berpamitan lagi ke kelas. Sementara aku berbaring di ruang UKS yang dingin.
"Kamu gak tidur lagi, Ros?" tanya Suster Diana. "Kali ini kenapa?" sambungnya.
"Biasa, Sus. Kecapean jalan kaki sampe gak bisa tidur karena kakinya sakit," jawabku berbohong. Tak mungkin jika aku bilang karena terbayang-bayang Putra kan.
"Istirahat yang cukup, Ros. Kalau kamu sering begadang begitu, nanti jadi kebiasaan sampai dewasa. Gak baik buat kesehatan. Nih, tensi kamu juga turun begini. Udah istirahat situ, nanti suster kasih vitamin tambah darahnya," jelas Suster Diana sambil tensi darahku.
Selain Melisa, Suster Diana sudah seperti teman bagiku sejak MOS dulu. Dia wanita yang sangat baik. Aku tahu semua hal tentang Putra juga dari Suster Diana. Tak lama setelah minum obat yang Suster Diana beri, aku langsung tertidur pulas. Seolah sudah lama sekali aku tak tertidur dengan pulasnya.
***
Satu jam berlalu. Bel jam istirahat berbunyi dan membangunkanku. Rasa kantuk sudah hilang dan kepalaku tak sepusing tadi. Aku berpamitan dan berterima kasih pada suster Diana.
Segera aku ke kamar mandi untuk mencuci muka, ditambah perut yang tiba-tiba mulas. Untunglah saat jam istirahat kedua toilet tak seramai biasa. Aku bisa sedikit leluasa menggunakannya dan tak takut digedor dari luar.
"Lo, yakin lihat Putra boncengan sama Cewek kemarin, Sya?" suara beberapa orang mengobrol di luar toilet membuat jiwa kepoku meronta. Apalagi ia menyebut nama Putra.
"Serius. Gue kira bukan Putra, tapi ternyata si Putra."
"Terus, lo lihat ceweknya siapa?" tanya cewek pertama.
"Gak, Ka. Dia nunduk terus pas naik motor di tutupin pake tas," jawab cewek kedua.
"Tasnya kaya apa? Kita cari siapa dia. Beraninya boncengan sama Putra."
"Tapi kalau kakak kelas gimana, Kartika."
Oh jadi itu Kartika dan temannya. Untunglah mereka tak melihat wajahku.
"Kakak kelas sekalipun, gue gak takut. Siapapun yang deket-deket Putra, berarti cari masalah sama gue."
Mampus. Gimana ini? Kenapa jadi kaya sinetron gini sih kisahku. Untung hari ini aku menggunakan Tas yang satu. Besok-besok aku gak mau pakai tas putih itu lagi.
Tak Lama suara mereka pergi keluar dari Toilet. Aku yang sudah selesai berniat keluar, tapi suara lain tiba-tiba datang dan berbicara hal yang sama seperti Kartika lagi.
"Sial! Kenapa sih kemarin pake mukanya di tutupin. Kalau gak gengsi sama Putra, udah gue labrak itu cewek." Mampus! Habis sudah. Aku jadi bahan perburuan satu sekolah. Sepertinya saat ini aku lebih bersyukur tak dikenali siapapun daripada harus menjadi incaran singa-singa betina ini.
Ada satu titik dimana aku ingin menghilang dari dunia ini. Apakah jika aku menghilang, maka akan jauh lebih baik?.Saat ini, semua teman-teman hanya melihatku dan tak berbuat apapun. Mereka justru tertawa melihat apa yang terjadi padaku sekarang. Ah, aku lupa. Aku tak memiliki teman.
"Itu akibatnya, cewek kayak lo, berani deketin Putra. Lo, gak sadar? Lo itu cuma murid yang kebetulan dapat beasiswa di sini. Beasiswa kurang mampu lagi. Kalau beasiswa karena pintar si oke. Lah, lo! Miskin, jelek, gendut. Gak tau malu!" caci mereka semua.
Aku mendongak ke arah pintu kelas. Melisa berdiri di sana dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu, ia juga tak akan bisa berbuat apa-apa.
Padahal, kemarin adalah hari yang indah, di mana aku bisa berbicara dengan Putra. Namun, hari ini terasa sakit. Aku benci diriku sendiri karena tak bisa membalas apa yang mereka lakukan.
Apa yang harus aku katakan ke Ibu kalau bajuku sobek dan rusak. Aku tahu, Ibu tak ada uang untuk membeli seragam baru. Aku harus bagaimana?
"Woy! Dengerin kalau ada orang ngomong!" seru Kartika sambil menyiramkan air padaku.
"Hey, lagi ngapain ini? Kenapa kalian belum pulang?" suara Pak Dodo menjadi secercah harapan bagiku. Mungkin, aku bisa meminta tolong padanya.
"P-pak …." Belum sempat aku berbicara pada Pak Dodo, Kartika sudah memotongnya.
"Gak apa-apa, Pak. Rosa ulang tahun kita kasih kejutan tadi. Ini mau ngerayain di kelas," jawab Kartika dengan suara yang amat manis.
"Oh, begitu. Nanti bersihkan ya," jawab Pak Dodo percaya begitu saja dan langsung berlalu pergi. Bahkan guru pun tak bisa membantu.
Setelah Pak Dodo pergi, Kartika menarik rambutku dan memotongnya dengan gunting hingga sangat pendek.
"Nah, begini kan tambah jelek. Udah, ya. Kapok ya deketin Putra. Meskipun lo ganti Tas sekalipun, meski lo tutupin muka lo. Gue bakal selalu tahu apa yang lo lakuin. Cewek kaya lo ga pantes buat cowok kaya Putra. Gak bakal pantas sedikitpun. Ngerti!" tegas Kartika.
Tampaknya mereka sudah puas menyiramku dengan air, memotong rambut dan bajuku, di tambah mencoret-coret tas dan buku milikku. Mereka segera pergi dengan tawa puas. Sementara orang lain hanya menatapku. Tak ada yang membantu sedikitpun. Seolah ini hanya tontonan bagus untuk mereka.
Ya, tidak apa-apa. Aku bisa bangkit sendiri. Tak apa.
"Hiks, aku harus gimana? Aku harus gimana?" Tangisku akhirnya meledak juga. Dadaku terlalu sakit, sangat sesak. Aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri yang sudah mencintai Putra.
Cinta padanya sudah membawaku jatuh sangat dalam pada kegelapan dan rasa sakit ini. Aku kira tak pernah dianggap sudah sangat menyakitkan. Namun, rupanya ini jauh lebih menyakitkan.
Harus seberapa sakit lagi.
"Apa dengan aku populer dan sempurna aku boleh mencintai Putra!" teriakku seketika. Membuat langkah Kartika yang belum terlalu jauh dariku berhenti.
"Apa aku harus kaya, cantik, pintar dan sempurna seperti kalian untuk bisa mencintai seseorang!" teriakku lagi dengan sekuat tenaga agar mereka mendengarnya. Aku menyeka air mata yang terus saja mengalir di pipi. Menguatkan hati agar mampu berdiri lagi.
Kartika berbalik badan. Ia menyunggingkan senyum, kemudian mengarahkan jari tengah padaku. Setelahnya ia benar-benar pergi bersama dayang-dayang setianya itu.
Aku menoleh pada mereka yang hanya melihatku saja. "Kenapa? Kalian jijik sama aku! Apa aku seperti kotoran bagi kalian! Apa kalian gak tau seberapa susahnya aku bisa membeli buku ini!" Teriakku pada mereka. Aku tersungkur lagi ke lantai teras kelas. Berteriak dan menangis. Tak peduli lagi dengan pandangan mereka.
"Rosa." Suara lirih Melisa yang terisak mendekat ke arahku. "Maafkan aku," ucapnya.
Aku menggeleng saja sambil membereskan buku-buku yang basah ke dalam tas. Melisa membantuku membereskan semua itu dan memberikan jaketnya padaku. Melisa ikut menangis selama membantuku membereskan buku-buku itu.
"Terima kasih," ucapku pada Melisa. Ia langsung memelukku. Tangis kami akhirnya tumpah.
***
Matahari sore membuat langit menjadi jingga. Ini sudah pukul 16.00, aku pasti akan sampai rumah saat hari gelap. Apa yang harus aku katakan pada Ayah dan Ibu nanti.
"Kamu nginep di rumahku aja dulu ya. Besok gak usah berangkat dulu. Kamu bisa pulang besok ke rumah. Bilang aja sama Ibumu kalau kamu …."
"Makasih, Sa. Aku gak apa-apa. Aku pulang aja," potong ku, tak ingin merepotkan keluarganya.
Aku melihat seluruh sekolah yang sudah sepi. Tampaknya sudah pulang semua, hanya tinggal aku dan Melisa di sini. Aku bercermin di depan toilet wanita. Merapikan sedikit potongan rambutku yang berantakan. Wajahku terlihat makin bulat di sana.
"Mereka kok tega banget, sih. Lagian siapa sih yang udah beberin ke Kartika kalau kamu boncengan sama Putra? Tega banget," omelnya.
"Gak tau, Sa. Bodo amat lah. Nyari tahu siapa juga, gak bakal ngerubah kejadian ini. Memang aku aja yang lagi apes," ucapku.
"Udah, yuk. Kita pulang, Sa," ajakku. Sebelumnya aku mengisi air minum lebih dulu di galon air depan kelas. Rasa haus menjalar setelah berteriak tadi, juga untuk bekal jalan kaki nanti.
Aku dan Melisa berjalan menuju gerbang sekolah. Angin sore menembus jaket Melisa yang di pinjamkan padaku. Terasa dingin karena seragamku yang basah.
"Itu, siapa, Ros?" tanya Melisa tiba-tiba menunjuk arah gerbang. Seseorang berdiri di sana menatap kami dengan wajah khawatir. Seorang cowok berseragam putih abu-abu yang sangat berantakan. Itu bukan seragam sekolah kami.
Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Aku tersenyum padanya dan melambaikan tangan.
"Gak apa-apa, Sa. Kamu pulang aja dulu. Ayah kamu jemput pakai sepeda itu di depan." Aku menunjuk pada Ayah Melisa yang menunggu di seberang jalan.
"Eh, tapi kamu kenapa nangis? Itu siapa?" tanya Melisa yang penasaran.
"Udah, pulang aja." Aku mendorongnya perlahan agar gadis itu segera pulang.
Setelah aku memastikan Melisa pulang, aku mendekat ke arahnya, Dhika.
"Ngapain di sini? Kabur lagi yah?" tanyaku saat sudah berdiri di hadapan cowok berwajah datar itu.
"Huh, sepertinya aku berlebihan khawatir sama, lo." Ia menjitak kepalaku setelah mengatakannya. Aku reflek mengusap bagian yang ia jitak tadi. Saat itu ia menyematkan topi hitam yang ia pakai padaku, juga menghapus air mataku yang masih basah di pipi.
"Yuk, pulang." Dhika menggandeng tanganku dan menarikku ke motornya. Ia segera melajukan motornya setelah aku naik. Aku memeluk pinggangnya erat. Terasa hangat dan nyaman. Seolah beban berat tadi sudah pergi terbawa angin.
Tiba-tiba ia berhenti di pinggir jalan, tepat di samping bukit landai yang memperlihatkan pemandangan kota yang begitu indah. Hari yang sudah senja membuat bukit itu terlihat jauh lebih indah. Hanya beberapa orang saja terlihat berhenti di sana untuk menikmati indahnya matahari terbenam.
"Duduk," titahnya padaku. Ia menyuruhku duduk di bangku kayu yang terletak di bukit itu. Tempat biasa orang-orang lewat dan beristirahat menikmati suasana.
Dhika mengambil sesuatu dari tasnya yang ia simpan di bagian bagasi motornya. Ku lihat itu adalah plester dan beberapa tisu juga air putih. Apa ia selalu membawanya di situ?
"Gue udah bilang, kan. Hati-hati sama Putra," ucapnya sambil membersihkan luka di kaki dan tanganku karena kejadian tadi. Bagaimana ia menyadarinya, bahkan aku sendiri tak sadar ada luka di sana.
"Bukan Putra, kok, yang ngelakuin ini semua …."
"Tetapi gara-gara dia juga kan masalahnya." Aku terdiam mendengar ucapannya, karena hal itu memang benar adanya. "Kenapa gak ngelawan, sih?" lanjutnya.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Sebab, aku sendiri tak tahu bagaimana harus melawan mereka. Aku tak ingin terlibat masalah yang jauh lebih parah hanya karena meladeni mereka.
"Kenapa diam aja?" tanya Dhika lagi.
"Mereka terlalu sempurna, Dik. Apa jika aku sempurna seperti mereka, aku akan diperlakukan dengan baik."
"Gak ada orang sempurna di dunia ini, Ros. Semua orang sama kotornya dan buruknya, hanya saja mereka pandai menutupinya. Kesempurnaan hanya milik Tuhan." Aku kembali diam. Tanpa sadar ia sudah selesai membalut lukaku dengan plester.
Dhika kemudian duduk di sampingku. Rambut merahnya tertiup angin. Aku baru sadar, meski kusut dan lecek begitu, Dhika ternyata tampan. Pantas saja ia menjadi playboy kelas kakap.
"Lo gak perlu tampil sempurna di mata orang lain. Cukup jadi diri lo sendiri, dan buktikan pada mereka kalau lo lebih baik dari mereka," kata Dhika. Aku tak tahu, ia bisa berkata bijak seperti itu. Namun, perkataan Dhika juga ada benarnya.
"Ngomong-ngomong, gimana bisa lo tahu gue abis kaya gini?" tanyaku yang penasaran karena ia bisa tahu aku begini.
"Mata-mata gue banyak," jawabnya santai di sertai seringaian.
"Makasih," ucapku.
"Nangis aja." Perkataan Dhika barusan langsung memicu air mata yang aku tahan sejak tadi.
Aku menangis di sampingnya. Menangis hingga hatiku terasa ringan kembali. Aku merasakan tangannya lembut mengusap rambutku. Aku menoleh ke arahnya, tapi Dhika memalingkan wajahnya.
"Nangis aja, lanjutin. Sampe lo puas," ucapnya. Sepertinya ia sadar aku memandangnya. Aku bersyukur. Rupanya masih ada lagi selain Melisa yang peduli padaku. Aku kira aku hanya sendirian saja.Mungkin setelah rasa sakit ini, aku bisa menjadi sinar terang di dunia ini. Agar mereka tak memandang rendah padaku lagi, dan mungkin aku bisa berbicara dan menyatakan perasaanku pada Putra. Mungkin dengan bersinar dan populer mereka tak akan memandangku rendah lagi.
Bersambung