Selamat Membaca
Hari sudah mulai gelap saat aku pulang ke rumah. Ibu dan Ayah terkejut saat mendapati aku pulang dalam keadaan berantakan. Dhika berbohong pada Ibu, bahwa aku tak sengaja tersiram air di sekolah. Aku yang memintanya agar mereka tak khawatir. Awalnya Dhika menolaknya, tapi aku terus memohon padanya.Esoknya aku merasa enggan untuk berangkat. Rasa takut menghantui saat aku akan melangkah pergi ke sekolah. Namun, aku juga tak ingin membuat khawatir Ibu di rumah.
"Kamu sakit, Ros?" tanya Ibu padaku yang tengah merapikan kembali buku pelajaran yang akan dibawa.
"Gak kok, Bu. Agak pusing, tapi gak apa-apa. Mungkin efek pakai baju basah kemarin," jawabku.
"Gak usah dipaksakan kalau memang gak enak badan. Nanti ibu belikan obat di warung. Surat izin nanti Ibu antarkan ke rumah Anne," kata Ibu. Rumah Anne memang satu desa denganku, tapi lumayan jauh jarak rumah kami.
"Rumah Anne kan jauh, Bu. Apa Ibu gak capek?" Aku meletakkan tasku dan menatap Ibu di hadapanku.
"Gak apa-apa. Istirahat saja kamu." Ibu berkata sambil berbalik dan berjalan menuju dapur.
Aku memandang punggungnya sedih. Badannya kurus dengan baju yang sudah kotor dan beberapa tambalan jahitan di sana-sini. Bagaimana aku bisa tega untuk mengatakan hal sebenarnya tentang kejadian yang menimpaku di sekolah? Itu hanya akan membebani hatinya.
"Kakak gak berangkat?" Suara Arya—adikku satu-satunya itu mengejutkan lamunanku. Ia sudah siap dengan seragam putih biru juga tas sekolahnya.
"Gak. Tadinya mau berangkat, tapi agak pusing," jawabku.
"Kakak ada masalah di sekolah, ya?" Pertanyaan Arya mengejutkanku. Bagaimana ia bisa tahu hal itu? Aku memilih diam, takut Ayah atau Ibu di belakang mendengarnya.
"Kak Dhika yang kasih tahu, tapi dia bilang aku suruh diam aja sambil awasin Kakak. Enak ya punya pacar perhatian gitu?" jelasnya membuatku terkejut.
"Bentar, bentar? Pacar?" tanyaku bingung.
"Iya, Kak Dhika pacar Kakak, kan?" Ia bertanya lagi.
"Mana ada! Kakak gak pacaran sama si Dhika," tegasku.
"Ih … bohong. Jelas gitu kok. Buktinya sekarang Kak Dhika nungguin di depan tuh. Apa namanya kalau bukan pa…." Belum selesai Arya menyelesaikan ucapanya aku langsung berlari keluar.
"Woy! Aku belum selesai ngomong!" teriak Arya dari dalam rumah. Aku yang penasaran akan ucapan Arya tadi langsung bergegas keluar mencari Dhika.
Benar saja. Ia duduk di batu besar depan rumahku, dengan rokok di tangan kiri dan handphone nokia di tangan kanannya. Sedang apa dia pagi-pagi di rumahku, bukannya berangkat sekolah.
"Eh … Mbak Rosa," sapanya dengan senyuman di wajahnya. Ia membuang rokoknya yang sudah kecil dan melambaikan tangan padaku.
"Ngapain di sini? Sudah jam berapa ini? sekolah, lo, kan harusnya 10 menit lagi masuk." Aku berjalan menghampirinya ke batu tempat Dhika duduk.
"Bentar lagi berangkat. Lo baik-baik aja, kan?" ucapnya sembari menyalakan sepeda motor di hadapannya.
"Gue berangkat," lanjutnya tanpa menunggu jawabanku.
Dhika melajukan motornya dan pergi. Meninggalkan aku yang tercengang karena sikapnya itu. "Hah! Maksud, lo, apaan!"
"Yah pasti tuh, Kak Dhika suka sama Kakak," sambung Arya yang tiba-tiba muncul dengan sepedanya di sampingku.
"Apa sih! Udah berangkat sana!" kilahku.
Sementara Arya hanya tertawa puas sambil mengayuh pelan sepedanya di jalanan kerikil depan rumah. Untunglah di desa ini sudah ada SMP negeri. Sehingga ia tak usah jauh-jauh bersekolah di kota sepertiku.Untung saja hari ini aku tidak berangkat sekolah. Badanku mendadak demam tinggi hingga menggigil. Untunglah Ibu memberiku obat penurun panas yang ia beli di warung tadi, sehingga saat sore tiba, demamku sudah turun.Aku duduk di dipan ruang tamu karena bosan berbaring di kasur seharian. Mendengarkan suara serangga dan burung yang bersahut-sahutan sambil menunggu berlalunya senja. Terasa sangat damai. Terasa beban yang mengganggu hilang begitu saja.Saat sedang menikmati suasana, tiba-tiba suara motor yang berhenti di depan rumah mengejutkanku. Aku menengok jam dinding tua di atas pintu. Mungkin itu Dhika yang baru pulang dari sekolahnya. Rupanya ia mampir lagi setelah pulang.
"Eh, Dhik, ngapain kesini la-gi ….." Aku terdiam setelah berlari keluar dan mendapati bukan Dhika yang berdiri di sana.
"Mas Putra," ucapku.
"Assalamu'alaikum, Rosa." Putra memberi salam dengan senyum di wajahnya.
Apa ini mimpi? Itu benar-benar Putra? Sedang apa dia di sini?
"Wa'alaikumsalam," jawabku.
Putra melepas helm warna putih di kepalanya. Ia mengibaskan rambutnya yg sudah lumayan panjang dan menutupi telinga. Sungguh pesona yang sangat melemahkan hati.
"Apa kabar? Kamu sehat?" tanya Putra.
"Baik, Mas. Sedikit demam tapi gak apa-apa," jawabku. "Eh, masuk, Mas. Duduk dulu." Aku mempersilahkan ia masuk. Takut ia lelah karena cukup jauh perjalanan ke rumahku.
"Iya, Makasih." Putra berjalan masuk mengikutiku. Ini pertama kalinya ia masuk ke rumah. Biasanya ia hanya mengantarku saja sampai jalan depan.
"Maaf, ya, Mas. Rumahku lantainya masih tanah. Silahkan duduk."
"Santai saja. Gak masalah." Ia kemudian duduk di dipan bambu setelah aku mempersilakan. Dari wajahnya ia terlihat nyaman-nyaman saja. Namun, aku merasa tak enak karena ini pasti pertama kalinya ia memasuki rumah gubuk seperti rumahku ini. Maklum lah, ia anak orang kaya.
"Sebentar ya, Mas. Aku buatkan teh dulu …."
"Gak usah. Jangan repot-repot. Aku mau ketemu kamu aja kok sekarang," potongnya. "Kamu duduk aja dulu, aku pengen bicara sama kamu." Ia menarik tanganku agar duduk di sampingnya.
Aku menarik kursi kayu lapuk berwarna hitam di belakangku untuk duduk. Ada rasa canggung untuk duduk di sampingnya. Sepertinya Putra akan berbicara hal penting. Hingga ia jauh-jauh kemari menemuiku.
"Ini soal kemarin. Maafkan aku, Ros." Ucapannya itu sedikit membuat dadaku kembali terasa sesak. Teringat kejadian yang menimpaku. Kemarin terlalu menyakitkan.
"Aku benar-benar kaget pas dengar itu semua. Makanya aku langsung kemari nemuin kamu. Buat mastiin kalau kamu baik-baik saja," jelasnya.
"A-aku gak apa-apa kok." Aku tertunduk dan menjawabnya lirih. Memainkan jemari karena bingung harus bicara apa. Bohong sebenarnya jika aku katakan aku baik-baik saja.
"Rosa, maafin aku, ya. Kayaknya aku benar-benar buat banyak orang jadi kesusahan," ucapnya tampak menyesal.
Lagi-lagi aku merasa kasihan dan tak enak hati padanya. Aku mengulurkan tanganku padanya yang tertunduk dan tampak menyesal. Merasa tak tega padanya.
"Mas Putra, aku gak …."
"Ngapain lo di sini!"
"Ngapain, lo, disini!" Seru Dhika yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana.
Aku melihat Putra. Wajahnya tampak pucat saat melihat Dhika di sana. Sebenarnya apa yang sedang sekarang? Bahkan wajah Dhika terlihat begitu marah.
"Hey! Ada apa sih? Jangan buat ribut di rumah orang deh." Aku menarik Dhika yang mulai terlihat emosi memandang Putra. Aku tahu persis, Dhika sangat sulit mengendalikan emosinya.
"Maaf, Ros. Sepertinya aku harus pulang. Oh, ya. Sebagai permintaan maaf, sebentar lagi perekrutan anggota OSIS baru di sekolah, jabatanku juga sebentar lagi selesai, kamu masuk OSIS ya, aku merekomendasikanmu dan hhhkamu akan jadi tamu spesial di OSIS," jelas Putra.
"Maksudnya?" tanyaku, merasa apa yang aku dengar barusan salah. OSIS? Apa Putra sedang mengigau?
"Datang saja ke ruang OSIS besok saat kamu berangkat. Aku akan kenalin ke seluruh anggota OSIS," kata Putra. Ia meraih tas ranselnya, kemudian berpamitan. Tatapan Putra dan Dhika masih terlihat panas. Bahkan hingga Putra pulang dan menjauh. Dhika masih saja terlihat marah.
"Hey, kenapa sih?" tanyaku pada Dhika yang masih membara itu.
"Gue sudah bilang kan, jauh-jauh dari dia!" tegasnya. Baru pernah aku melihat Dhika seserius itu. Terlihat menakutkan, karena aku selalu melihat tingkah konyol dan sok kerennya itu. Aku tak pernah melihat Dhika di sisi ini.
"Huh …." Dhika menarik nafas berat dan mengacak rambutnya. Tiba-tiba ia menarikku dalam peluknya.
"Jangan berubah sedikitpun, gue mohon. Apapun keinginan dan keputusan lo nanti. Tolong, tetap jadi Rosa yang gue kenal," bisiknya lembut.
Tunggu sebentar, perasaan apa ini? Kenapa jantungku berdebar seperti ini? Apa dia benar-benar Dhika?.Aku mendorong badannya menjauh. Ia menatapku datar, seolah hal seperti barusan adalah hal biasa baginya. Namun, ini pertama kalinya seorang cowok memelukku seperti itu.
"Kenapa?" tanya Dhika dengan wajah polos. "Wajah, lo, merah banget? Demam?" lanjutnya.
Aku memegang wajahku. Memang terasa hangat di sana. Apa demamku belum sembuh?
"Ah! Sudah pulang sana! Iya gue demam, kepala pusing mau tidur!" tegasku.
Aku mendorong badannya keluar dari rumah agar ia segera pulang. Perasaanku sekarang sedang tidak jelas. Ada apa dengan diriku sebenarnya.
"Besok gue anter, ya, kalau udah sembuh. Gak usah pakai angkot," ucapnya sebelum pulang.
"Terserah," jawabku.Dhika tersenyum dan melambaikan tangan sebelum pergi. Ah, aku lupa bertanya padanya. Ada masalah apa sebenarnya antara dia dan Putra. Kenapa seakan ada dendam yang sangat dalam di mata Dhika tadi. Kenapa semua ini bertambah seperti cerita dalam drama sih? Ini tahun 2010! Ribet banget hidupku.
***
Aku masih saja terbayang wajah Putra saat ke rumah siang tadi. Kenapa Dia mau jauh-jauh ke rumahku hanya untuk meminta maaf? Apa ini sinyal jika ia juga mencintaiku? Ah, aku tidak boleh terlalu senang dulu. Hey, Rosa! Apa gak ingat kejadian kemarin! Ini semua karena terlalu senang. Jika ada kejadian yang membuatku senang tiba-tiba, biasanya akan terjadi hal buruk. OSIS? Kenapa OSIS? Di sana adalah pusatnya siswa-siswi premium alias populer. Sedangkan aku?
Aku hanya siswa beasiswa kurang mampu. Otak pas-pasan. Gak punya kemampuan apa-apa, bahkan aku juga miskin, dan juga fisikku. Kata orang aku gemuk, padahal tinggi badanku 158 dan berat badanku hanya 43 kilo. Ini karena pipiku yang terlaku chubby.Namun, mungkin jika aku masuk OSIS aku akan bisa populer dan dianggap ada oleh orang-orang di sekitarku. Tak ada tatapan jijik itu. Tak akan ada yang merendahkan aku. Namun juga, apa sepertiku ini bisa populer dan bisa bersanding dengan Putra, juga membungkam mulut si Kartika dan orang-orang yang merendahkanku selama ini.
'Tolong jangan pernah berubah, tetap jadi Rosa yang gue kenal.'Ucapan Dhika terlintas di pikiranku. Namun, aku hanya merubah penampilan agar populer kan. Bukan merubah seluruh sifatku. Ini kan hidupku, kenapa harus mendengarkan apa yang Dhika ucapkan. Aku ini kenapa sih?
"Hoi! Kakak lagi kenapa sih?" suara Arya mengejutkanku. Aku langsung meraih selimut dan menutup badanku di atas kasur.
"Ngapain kesini! keluar sana aku mau tidur, ganggu aja."
"Bilang aja lagi bayangin Kak Dhika. Iya kan?" terkanya.
"Apa sih? Rese." Aku melemparnya dengan bantal keras dari kapuk pohon randu.
"Ih … bantal full iler!" Arya mengangkat dengan jijik bantal bergambar hello kitty itu.
"Keluar sana! Ngapain sih di sini!" teriakku yang mulai kesal dengan kelakuan adikku itu.
"Gak mau mie instan? Ya udah aku habisin," ucapnya. Sontak aku langsung bangkit dari kasur tipis dan berlari ke dapur. Pantas saja dari tadi aku mencium aroma mie goreng instan. Aku kira dari tetangga sebelah. Aku menarik nafas berat. Tanganku masih mencengkram erat seragam Dhika. Kami berada di gerbang sekolahku pagi ini. Jantungku berdebar cepat, seolah seluruh sekolah ini diisi aura gelap.
"Gak apa-apa. Masuk, tenang aja. Gue pasti bakal langsung datang ke sini kalau lo ada apa-apa. Mata-mata gue banyak," ujarnya sedikit menenangkanku.
Namun, aku masih melihat beberapa tatapan tajam yang memandang ke arahku dan mengintimidasi. Aku masih takut kalau terjadi hal buruk lagi nanti. Namun, Dhika terus menenangkanku dan menyuruhku masuk ke dalam.Akhirnya aku melangkahkan kaki ke sekolah ini. Mencoba mengabaikan tatapan-tatapan itu. Hal terpenting sekarang adalah berjalan saja sampai kelas. Namun apa yang aku temui di kelas justru membuat hatiku semakin sakit.Mejaku penuh sampah. Dengan banyak coretan dari spidol dan tipe-X di sana. Aku melihat Melisa yang terus tertunduk diam di bangku sampingku. Dia terlihat sangat tertekan. Apakah terjadi hal buruk padanya saat aku tak berangkat kemarin?
"Melisa, apa kab …." Aku memberi salam padanya, tapi ia mengalihkan pandangannya dariku, padahal tadi ia sempat menatap ke arahku. Aku membersihkan meja semampuku. Lagipula meja kayu berwarna coklat itu awalnya juga sudah sangat kotor dengan berbagai coretan.
"Yang namanya Rosa mana?" sebuah suara mencariku dari pintu kelas. Aku mengangkat tangan.
"Ikut aku ke ruang OSIS," ajak seorang laki-laki berwajah hitam manis dengan tahi lalat di sudut bibirnya. Sepertinya Ia OSIS dan kakak kelas. Aku belum pernah melihatnya di angkatanku atau jurusanku. Efek sekolah ini terlalu besar.Saat aku berjalan mengekor padanya, semua mata tertuju padaku dan mereka tampak saling berbisik. Persis seperti para pembully di drama-drama dan sinetron yang aku tonton di TV tua milikku di rumah.
"Oh ya, kenalkan aku Burhan. Aku anggota OSIS dari kelas sebelas, salam kenal, Ros." Ia memperkenalkan dirinya padaku.
"Rosa, Kak." Suara dan senyum Burhan sangat manis. Sepertinya ia adalah orang yang ramah dan baik hati.
"Kak Burhan, apa kabar? Besok les Pramuka Kak Burhan yang pimpin lagi kan?" tanya beberapa gadis dari jurusan akuntansi kelas 10.
"Tentu," jawabnya dengan senyum merekah.
Ternyata benar, semua anggota OSIS itu terkenal. Bahkan sepanjang jalan hampir semua orang mengenal Burhan.
"Oke kita sampai, Ros. Selamat datang di ruang OSIS."
Bersambung