Chereads / Berandal SMA inlove / Chapter 50 - Namanya Selalu Muncul Dalam Pikiran

Chapter 50 - Namanya Selalu Muncul Dalam Pikiran

Selamat Membaca

Apa sekarang aku sedang bermimpi duduk di antara mereka yang populer? Aku tak mengenal mereka sama sekali. Sekarang aku duduk bersama Kak Burhan yang membawaku tadi. Namun, Putra belum terlihat di sana. Walaupun dulu saat penerimaan murid baru mereka sudah memperkenalkan diri, tapi otak ini tidak mampu mengingat dengan benar siapa nama mereka. Aku melihat di sisi lain tempatku duduk ada beberapa murid dari kelas 10 juga. Sepertinya mereka juga mendaftar atau direkrut menjadi OSIS. Mereka banyak dari kelas lain dan berbeda jurusan denganku.

Aku merasakan mata yang menatap tajam ke arahku. Benar saja, ada Kartika di sana. Ia duduk tepat di seberangku karena jajaran kursi ini berbentuk persegi. Tentu saja dia ada di OSIS, bagaimana aku bisa lupa. Bodoh. 

"Assalamualaikum teman-teman, aku Laila—HUMAS OSIS dari kelas 11, Kak Putra saat ini sedang berlatih untuk olimpiade matematika, jadi gak bisa kesini. Nanti, semua materi OSIS akan dibahas Kak Burhan selaku wakil ketua," jelas Kak Laila yang berdiri di depan sana. Aku tak menyangka, rupanya Kak Burhan adalah Wakil  ketua OSIS. 

"Halo, Anggota OSIS di sini sudah kenal aku, ya. Tetapi anak-anak kelas 10 masih belum kenal, perkenalkan aku Burhan, wakil ketua OSIS. Di sini aku gantikan Putra untuk meresmikan perekrutan anggota OSIS yang baru. Sementara dalam waktu 3 bulan ke depan kalian akan memasuki masa magang untuk perkenalan tentang OSIS lebih dulu, sebelum pemilihan ketua OSIS baru karena Putra sebentar lagi lulus. Jadi, aku ucapkan, selamat datang di OSIS."

Burhan memberi sambutan dan penjelasan peraturan OSIS  selama beberapa menit hingga bel masuk mulainya jam pelajaran dimulai.  Kami kembali ke kelas masing-masing setelah perkenalan. Aku tak sadar saat itu jika Anne juga ada di sana. Rupanya ia juga mendapat rekomendasi dari Putra. 

"Ngapain lo di OSIS?" tanya Kartika saat aku akan kembali ke kelas dan tengah menunggu Anne yang masih berbicara dengan Kak Laila.

Aku tak menjawab pertanyaan Kartika. Tangan dan kakiku terlalu gemetar untuk bisa menjawab dan menatap matanya. 

"Orang kaya lo mau masuk OSIS, malu-maluin," ejeknya.

"Seharusnya OSIS yang malu punya anggota kaya lo!" tegas Anne yang rupanya sudah datang.

"Gue gak ada urusan sama lo ya, An!"

"Minggir!" Anne menarik tubuh Kartika menjauh dari kami dan langsung menggandeng tanganku. "Ayo, Ros. Ngapain ngurusin orang kaya dia." Aku menoleh kembali ke arah Kartika yang tampak kesal. Sementara aku ditarik oleh Anne kembali ke kelas. Anne sangat pemberani, berbeda sekali denganku yang pengecut. Andai aku bisa bersinar seperti dia. 

"Kamu gak apa-apa, kan?" tanya Anne saat kami tiba di depan kelas. Aku menggeleng. "Gak, makasih." Anne tersenyum, kemudian kami masuk bersama karena memang jam pelajaran sudah dimulai. Aku kembali duduk di bangkuku. Melisa masih tak mau menatap mataku. Sebenarnya apa yang terjadi padanya?

"Hari ini kebetulan ada anak baru, dia pindahan dari Jakarta, kalian baik-baik sama dia ya," kata Pak Danu—wali kelas kami yang membuka pelajaran fisika pagi ini. Ia membawa seorang gadis bertubuh mungil dengan rambut ikal hitam yang panjang.

"Halo, namaku Tia, salam kenal." Ia memperkenalkan dirinya. 

"Kamu duduk di belakang gak apa-apa kan? Karena hanya 2 bangku belakang yang kosong," kata Pak Danu. Tia setuju dan langsung duduk di bangku kosong di samping kiriku.

"Hai," sapa Tia padaku.

"Ha-hai …." jawabku terbata-bata. Sepertinya dia orang yang ramah. Terlihat dari senyumannya. Apa dia akan jijik padaku juga nantinya? Melihat tatapan teman-teman yang lain saat ia duduk di sampingku dan Melisa, aku takut ia merasa tak nyaman nantinya.

******

"Rosa!" panggil Putra saat jam istirahat tiba. Ia tiba-tiba saja sudah ada di depan kelas saat aku keluar. Membuat tatapan tajam dari gadis-gadis fans Putra kembali membuatku takut dan risih.

"Ngapain, Mas Putra di sini?" aku bertanya dengan panik. 

"Hahaha, gak usah panik gitu," ucapnya. "Kalau ada yang macam-macam sama Rosa cuma gara-gara ini, kalian akan berhadapan sama aku langsung," ancam Putra kemudian. Sepertinya ia sadar jika mata mereka menatap ke arah kami.

"Sudah, kan?" kata Putra seolah masalah itu selesai hanya dengan ia mengancam mereka. Namun rasa trauma itu masih ada dalam dadaku. 

"Aku mau bicara sama kamu sebentar boleh? Pembicaraan kemarin belum selesai," pintanya. Aku setuju dan kami memutuskan duduk di taman samping lapangan Voli. Tempat itu sebenarnya ramai, aku tak pernah duduk di situ karena tempat itu didominasi kakak kelas. Tetap saja terasa risih. Apalagi dengan perbedaan penampilan kami berdua. Aku menyembunyikan kaki dan sepatu bolong di bawah bangku. Terlalu malu dengan sepatu mahal milik Putra disampingku. Padahal seharusnya aku senang karena sekarang Putra duduk bersamaku. Bukankah ini yang selama ini aku impikan. Duduk bersama dengan Putra dan berbincang santai. Namun, rupanya terasa berat di satu sisi.

"Kamu kenal dengan Andhika?" tanya Putra membuyarkan lamunanku.

"Ah … iya. Kami berteman dari SMP," jawabku. 

"Oh begitu. Andhika gak bicarain apa-apa tentang aku?" tanya Putra Lagi. Seolah ada Rahasia di antara mereka.Aku menggeleng, karena memang Dhika tak pernah membicarakan masalah apa yang menimpa antara Dhika dan Putra, dan juga tentang bagaimana mereka bisa saling mengenal.

"Oke, kalau begitu." Putra terdiam beberapa saat. "Oh, ya. Kamu mau temenan sama aku, kan? Setidaknya kalau kamu dekat sekalian sama aku,  mereka nggak bakal ganggu kamu lagi. Aku gak mau kalau ada orang-orang yang terluka lagi karena mereka berbicara sama aku. Apalagi buat gadis semanis kamu, Ros."

Manis? Apa aku salah dengar?

Saat ini aku tersipu mendengar ucapannya barusan. Jantungku berdebar seolah tengah berada di pelukan seorang kesatria penyelamat. Jadi, Putra akan melindungiku dari mereka. Sepertinya Putra tak seburuk yang selalu Dhika ucapkan. Tentu saja, Selama ini aku mencari tahu tentang Putra dari suster Diana, aku tak pernah menemukan hal buruk darinya. Itulah yang membuatku jatuh cinta pada Putra. 

"Oh, ya aku mau tanya boleh?" Aku mengangguk semangat saat ia bertanya.

"Kamu tahu nomor hp Anne? Kamu deket sama Anne kan?" Senyumku hilang saat ia menyebut nama Anne. Kenapa Putra bertanya tentang Anne? Ah, mungkin ada keperluan tentang OSIS dengan Anne, karena Putra yang merekomendasikan Anne masuk ke OSIS.

"Rosa, gimana?" Putra bertanya lagi padaku yang terdiam beberapa saat.

"Anu, iya aku dekat sama Anne, tapi gak sedekat itu. Kami kebetulan satu desa dan sejak TK satu sekolah," jelasku.

"Jadi begitu. Nomer hapenya tahu, aku ada perlu," ucapnya.

"Maaf, aku gak punya Hape, jadi aku gak tahu sama sekali nomernya. Maaf, Mas Putra. Memang ada apa? Nanti aku mintain ke anaknya. Emang Mas Putra gak minta ke Anne langsung, bukannya Mas Putra yang merekomendasikan Anne ke OSIS?" tanyaku.

Wajah Putra tersipu. "Aku suka sama Anne, tapi dia itu penyendiri dan gak suka berkumpul dengan orang lain meskipun dia populer di kalangan anak-anak kelas 10, 11 atau 12, emang aku yang rekomendasikan Anne tapi secara gak langsung. Aku minta bantuan sama …."

Duniaku tiba-tiba terasa sunyi setelah mendengar pernyataan Putra barusan. Tentu saja, bagaimana aku bisa sebodoh ini. Bagaimana bisa aku sudah terlalu percaya diri bahwa Putra suka padaku hanya karena beberapa kali ia mengajakku bicara, menolongku, mengantarku pulang. Bodoh sekali. Waktu itu ia bukan tersenyum padaku, tapi pada Anne di belakangku. Ia bukan menjengukku, ia hanya ingin tahu rumah anne dan kontak tentangnya. Bodohnya aku. Bodoh! 

Nama Anne terus Putra sebut dari tadi. Wajahnya memancarkan kebahagiaan. Senyumnya sangat indah, tapi bukan untukku.

"Jadi, kamu bisa bantu kan, Ros?" Pertanyaan Putra menyadarkanku untuk kembali ke dunia nyata. 

"I-iya." Mulutku terasa sangat berat untuk berucap, mengambil keputusan untuk membantu Putra mendekati Anne.

"Terima kasih udah mau bantuin aku buat deketin Anne. Aku ga bakal lupa sama kebaikan kamu. Kalau kamu butuh apapun ngomong aja sama aku. Apapun itu, oke," kata Putra. 

Bagaimana aku bisa setuju begitu saja. Padahal aku yang menyukai dan mencintai Putra. Kenapa Aku justru menjadi mak comblang antara ia dengan Anne. Ini terlalu menyakitkan. Apa yang harus aku lakukan setelah ini?. Senyum palsu aku berikan pada Putra. Keputusan menyakitkan ini aku ambil. Baiklah, dekat dengannya saja sudah cukup. Lagipula selama ini aku tak melakukan usaha apapun untuk mendekatinya dan hanya mengagumi dari jauh.Lagi Pula mana mau Putra dengan seorang gadis sepertiku. Kasta kami terlalu jauh. Saat ini aku tersadar, sainganku sesungguhnya bukan kartika. Melainkan Anne. Kartika memang sempurna dan cantik, tapi di mataku Anne jauh lebih bersinar. 

"Hoi, kamu lagi ngelamunin apa?" 

"Astaga!" Aku tersentak saat mendapati wajah Tia hanya beberapa senti dariku. Aku yang terus memikirkan perkataan putra saat jam istirahat tadi sampai tidak fokus di dalam kelas. 

"Ngelamunin cowok ya?" tebak Tia. 

"Eh, enggak," jawabku malu. Bagaimana ia bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan saat ini.

"Kita belum kenalan. Aku Tia. Kamu siapa?" Tia mengulurkan tangannya memperkenalkan diri. Aku membalas jabat tangannya.

"Rosa," jawabku. 

Tia tersenyum hingga matanya menyipit. "Kita temenan ya." Ia terdengar sangat senang. Seolah ini pertama kalinya ia mendapat teman. 

Teman, ya. Aku menoleh ke meja Melisa. Ia tak ada di sana, melainkan duduk bersama anak-anak lain di bangku depan. Bercengkrama akrab, berbeda sekali dengan dulu. Sejak kapan mereka menjadi dekat begitu. 

"Kenapa?" tanya Tia tampak penasaran.

"Eh, gak apa-apa," jawabku.

"Kalian dekat ya?" tanya Tia sambil menunjuk ke Melisa. Tia kemudian mendekatkan bangkunya ke mejaku. "Jangan terlalu memberi kepercayaan berlebih sama manusia, seberapa baiknya mereka menyimpan rahasia selalu saja ada retakan kecil untuk rahasia itu tersebar," ucapnya kemudian.Aku langsung menoleh ke arahnya. Badan Tia memang mungil, tapi pemikirannya sangat dewasa.

"Aku dua tahun lebih tua darimu, jangan kira aku ini anak kecil," ucapnya tiba-tiba seolah mengerti apa yang aku pikirkan. Seketika aku menutup mulutku saking terkejutnya.

"Gak usah lebay," ucapnya dengan seringaian. "Sepertinya kita bisa jadi teman baik, ya."

Ternyata pemikiranku salah. Sepertinya Tia benar-benar anak yang baik. Aku tak melihat tatapan jijik padaku di matanya. Senyumannya juga terasa hangat.

***

Hari-hari berlalu. Seminggu dua kali anggota baru OSIS mendapat materi dan pelatihan dari OSIS senior. Di sana aku melihat Putra yang sangat berwibawa dan bisa mengambil keputusan dengan baik. Ia juga memimpin OSIS dengan sangat baik dan penuh perhitungan. Berkumpul dengan anggota OSIS membuatku merasa aku ini ada. Padahal selama ini aku tak pernah bermimpi sekalipun bisa berada di antara anak-anak keren dari OSIS. 

Aku semakin jatuh cinta Pada Putra tiap kali melihat gaya kepemimpinannya. Namun, saat itu aku juga tersadar, aku hanya bintang yang sinarnya kalah terang oleh matahari. Ah, mungkin aku hanya lampu pijar di malam hari, dari bintang pun kalah saing. Selama itu juga, aku membantu Putra mendapat beberapa informasi tentang Anne. Meski aku hanya mengetahui sedikit saja, tapi Putra selalu terlihat puas dan senang. Aku pun puas melihat senyumannya setiap kami bertemu. Aku tak menyangka bisa berbicara selalu dengannya. Namun, aku juga sadar atas perbedaan kami yang membuat mata-mata itu menatap tajam padaku. Bahkan Kartika kembali berulah karena kesal melihat aku yang dekat dengan Putra.

"Maaf, ya," ucap Kartika yang dengan sengaja menumpahkan jus durian ke seragamku saat kami berpapasan dari kantin. Ia mengucap maaf, tapi tatapannya berkata lain.Ku memilih diam saja agar tak terjadi keributan. Meski tawanya semakin menjadi, aku masih tetap diam saja. Saat itu sebuah tangan mengambil sisa-sisa jus durian di seragamku dan melemparnya ke muka Kartika hingga seruan anak-anak di kantin menjadi bergemuruh. 

"Woy! Siapa bocah ini! Beraninya …." Seruan Kartika berhenti saat melihat Tia berdiri di hadapanku. Ia terdiam seketika. Ia hanya melotot ke arahku kemudian pergi begitu saja.

"Harusnya anak kaya gitu jangan dibiarkan, Ros!" teriak Tia dengan suara cemprengnya memekakan telingaku. Apa dia sedang memarahiku?

"Bodoh banget!" serunya lagi, kali ini dengan jitakan di kepalaku. Baru kali ini ada yang memarahiku sampai seperti ini.

"Eh, Tia? Jadi kamu pindah ke sini?" Suara Putra membuatku reflek menoleh padanya yang tengah berjalan dengan Kak Burhan dan satu orang cowok lagi berambut keriting, aku tak tahu siapa namanya.

"Eh, Rosa kamu kenapa?" tanya Putra kemudian saat melihat aku yang basah oleh Jus. Ia mengambil kain merah di tangan Kak Burhan dan menggunakannya untuk mengelap Jus di bajuku.

"Eh, jangan, Mas. Gak apa-apa kok," ucapku merasa tak enak jika Putra harus membersihkan seragam kotorku. "Maaf ya Kak Burhan kainnya jadi kotor," ucapku juga pada Kak Burhan.

"Santai," jawab Burhan.

"Siapa yang nyiramin kayak gini, Ros?" tanya Putra. Aku meraih kain merah itu karena malu jika Putra  yang membersihkannya. 

"Kartika." Tia menjawabnya. 

"Apa sih maunya itu anak?" Putra terlihat kesal.

"Apalagi, lo tolak berkali-kali. Gimana gak kesetanan kayak gitu," kata Tia santai.

"Kalian saling kenal?" tanyaku karena merasa aneh dengan keakraban mereka.

"Hahaha, Putra anaknya Pak Dhe aku. Kami aslinya seumuran, tapi aku sempat berhenti sekolah dulu karena konsen untuk olimpiade sains," jelas Tia. 

Gila! Apa keluarga Putra itu jenius semua? Aku juga baru ingat nama Tia, yaitu Aristya Adinda Wijaya. Aku kira karena nama Wijaya itu pasaran, rupanya mereka keluarga Wijaya. Sungguh fakta yang sangat mengejutkan.

"Gak usah syok begitu, biasa aja," ucap Tia dengan jitakan di kepalaku.

"Aduh!" seruku. Gadis ini benar-benar menggunakan tenaga dalam.

"Hati-hat, Ros. Tia itu bukan manusia," bisik Putra namun dengan suara keras, sengaja agar Tia mendengarnya. Diteruskan tawa dari teman-teman Putra.Tia tampak kesal dan mulai memukuli Putra hingga tawa mereka pecah. Aku tersenyum melihat mereka. Baru pernah aku berada di lingkaran seperti ini. Seolah mereka tak ada masalah berteman dengan orang sepertiku. 

"Tenang saja, Rosa. Mereka adalah orang-orang baik. Aku mengenal mereka dengan baik. Meski aku lebih muda satu tahun dari mereka berdua," jelas Kak Burhan. Aku rasa, aku setuju dengan ucapan Kak Burhan. Mereka memang orang baik. Terlepas dari rasa sukaku pada Putra, ia memang benar-benar orang baik dan tulus.Aku jadi semakin penasaran, konflik apa yang menyelimuti antara Dhika dan Putra, sehingga seolah tatapan Dhika dipenuhi dendam pada Putra. Beberapa hari ini aku juga tak pernah bertemu dengan Dhika. Padahal biasanya hampir tiap hari ia ke rumah. 

Bersambung