Chereads / Berandal SMA inlove / Chapter 46 - Sahabat Lama

Chapter 46 - Sahabat Lama

Selamat Membaca

Kata orang, masa remaja adalah masa terindah. Namun, berbeda denganku yang hanya seorang figuran. Tak seindah kata mereka si pemeran utama.Aku yang hanya siswa penerima beasiswa kurang mampu di SMA negeri elit di kotaku ini, selalu terpinggirkan. Aku yang anak desa dan miskin ini hanya figuran di antara mereka yang sempurna. Apalagi dengan fisik yang kata orang gendut dan jelek. Ah, sampai bosan aku mendengarnya.

Namun, aku yang hanya figuran ini, boleh kan jatuh cinta? Merasakan cinta monyet masa remaja yang mungkin bisa berakhir sebagai cinta sejati suatu hari nanti. Pada dia, cowok sempurna yang sudah masuk tempat tersendiri di hatiku, Alert.

"Ros, Rosa!" suara Melisa membuyarkan lamunan indahku tentang Putra. Gadis berbadan gempal itu kemudian memukul kepalaku dengan gulungan buku tulis di tangannya.

"Aw! Apaan!" seruku menahan sakit di kepala.

"Sadar woy! Itu saos siomay di tanganmu tumpah. Lagi ngelamunin apa sih?" kata Barabara menyadarkanku dengan saus kacang yang berceceran dari plastik siomay di tanganku.

"Astaga." Lekas aku membersihkannya dan mengelap dengan tisu yang selalu aku bawa di saku rok abu-abu milikku.

"Oh, pantesan sampe gak sadar gitu. Rupanya itu alasannya," ucap Melisa menunjuk ke arah lapangan voli di seberang taman sekolah tempat kami duduk.

Suara gadis-gadis riuh memenuhi lapangan. Menyemangati seorang cowok tampan bernama Alert. Untuk ukuran anak SMA, ototnya terlalu kekar dengan perut sixpack yang mengecap jelas di kaos biru yang sudah basah oleh keringat di badannya. Tambah membuat teriakan gadis-gadis semakin histeris.

"Ketua OSIS, jago olahraga, juara olimpiade matematika provinsi bahkan sebentar lagi ada event nasional, tampan, kaya pula. Kok ada ya cowok sempurna kaya gitu di dunia nyata. Aku kira cuma ada di novel atau komik aja, Sa," kataku dengan mata tak lepas memandang Alert.

"Biasa aja sih menurutku. Kalau gak seganteng Siwon SUJU dan sekaya Siwon bagiku semuanya masih rata-rata aja," ujar si penggemar berat Siwon itu dengan bangganya.

"Susah kalau ngomong sama yang ngaku-ngaku istrinya Siwon emang," kataku.

Namun, Barbara sudah menatapku tajam saat aku menoleh ke arahnya. Ia menggulung-gulung buku tulis yang ia bawa, bersiap menghantamnya lagi ke kepalaku. Lekas aku tutupi kepala dengan kedua tangan. 

"Sini! Jangan sembarangan hina Siwon aku!" serunya bersiap memukulku. 

Aku berjalan mundur untuk menghindarinya. Namun, rupanya aku tak sengaja menabrak seseorang di sana.

"Woy! Kalau jalan, mata di pake!" tegas suara seorang perempuan di belakangku. 

Aku memutar badan dan mendapati seorang gadis cantik dengan rambut panjang dan beberapa aksesoris mahal di badannya. Di ikuti di belakangnya beberapa gadis berpenampilan serupa.

"Minggir!" titahnya dengan tatapan tajam padaku.

Aku tak mampu menatapnya dan hanya tertunduk, kemudian menggeser tubuhku ke pinggiran.

"Siapa sih, dia?" tanya gadis itu pada gadis bermata sipit di sampingnya.

"Aku juga gak tau, Ka. Mungkin dari kelas lain. Penampilannya jelek gitu," ujarnya dengan tatapan sinis saat ia menoleh kembali ke arahku. Membuatku tersadar dengan penampilanku saat ini dan membuatku tak nyaman.Mereka berjalan menuju arah lapangan. Rupanya ingin memberi semangat pada Putra yang tengah bertanding Voli.

"Rosa, kamu gak apa-apa?" tanya Melisa khawatir.

Aku menggeleng. "Gak. Itu siapa, Sa?" tanyaku kemudian.

"Kamu gak tau dia siapa, Ros? Itu Kartika. Cucu Kepala sekolah. Katanya sih, dia udah berteman lama sama Putra. Mereka itu bagai dewa sama dewi di sekolah ini," jelas Melisa. 

"Sama sekali gak tahu, Sa," jawabku yang memang baru menyadari ada dewi di sekolah kami seperti Kartika setelah 3 bulan aku bersekolah di sini. 

"Udah, yuk. Balik ke kelas. Sebentar lagi jam pelajarannya Bu Harni," ajak Melisa kemudian.

Memang, mereka tampak sangat serasi dan sempurna. Berbanding terbalik denganku. Cocok julukan dewa dewi tersemat untuk mereka. 

Tak lama kemudian bel jam istirahat selesai. Aku dan Melisa kembali ke kelas dan duduk berdua di dua bangku paling belakang. 

"Ih, minggir duo gendut mau lewat, ha ha ha. Jijik!" ejek beberapa siswa laki-laki saat kami melewati mereka. Aku dan Melisa sudah biasa dengan hal itu dan memilih tak memperdulikannya.

"Woy! Balik ke bangku kalian!" teriak Anne—ketua kelas kami pada cowok-cowok yang masih berkeliaran tadi.

"Udah. Kalian duduk aja," perintah Anne pada kami. 

Bagi kami berdua, hanya Anne yang tak pernah membedakan kami sebagai murid penerima beasiswa kurang mampu dengan siswa lainnya. Aku juga mengenal Anne sejak TK dan sangat paham sifatnya yang baik dan pemberani itu.

Kami berdua duduk di kursi kami. Tak lama Bu Harni—guru Fisika memasuki kelas dan memulai pelajaran. Suaranya yang lirih membuat aku dan Melisa tak pernah bisa memahami betul pelajarannya. Apalagi kami berdua hanya berdua saja di bangku belakang, tak ada murid lain lagi.

Kadang aku berpikir. Andaikan aku cantik, kaya dan sempurna seperti mereka, apakah aku akan diperlakukan berbeda? .Mungkin, setidaknya aku bisa duduk di bangku depan bersama anak-anak pintar.

***

Hari ini jadwal piket kelas. Aku bertugas menyapu dan membersihkan kelas sendiri saat pulang sekolah. Harusnya salah satu siswa laki-laki di kelasku bertugas bersama saat pulang. Namun, ia merasa jijik untuk piket bersama. Alhasil ia piket lebih dulu saat jam istirahat dan memilih pulang. Ini terjadi tiap kali jadwal piketku dan Melisa.

Beruntung, Melisa menemaniku piket dan membantu beberapa pekerjaan. Padahal hari sudah sore, jika tak selesai dalam waktu 10 menit, aku akan ketinggalan Angkot dan terpaksa pulang jalan kaki sejauh hampir 7 KM. Nasib aku yang berasal dari desa pelosok dan bersekolah di kota. 

"Yuk, udah selesai kan. Angkotnya bentar lagi pergi itu di depan," kata Melisa panik saat melihat angkot terakhir yang biasa aku naiki segera berangkat. 

Aku bergegas berlari ke gerbang sekolah yang berjarak 100 meter dari kelasku. Namun, rupanya angkot itu tak mau menunggu dan bergegas pergi. Saat tengah berlari aku melihat Putra pulang di jemput sebuah mobil mewah di depan sekolah. Ia tampak bergandengan dengan Kartika sebelum menaiki mobil.

"Yah, jalan kaki lagi, Ros." Ucapan Melisa menyadarkan lamunanku.

Aku pun tersenyum padanya. "Udah biasa. Yuk, pulang."

Kami berdua berjalan bersama. Melisa memang biasa jalan kaki. Rumahnya hanya berjarak satu kilo saja dari sekolah kami, SMK Negri 1 Balaraja.

Setelah beberapa menit berjalan, aku dan Melisa berpisah. Aku harus terus berjalan, ke arah jalan menanjak menuju perbukitan panjang di hadapanku. Rumahku ada di desa paling ujung di atas perbukitan bernama desa Koi. Konon, dulu banyak  ikan koi di desaku itu.

Sore ini matahari masih terik. Untunglah aku sempat mengisi air minum di tempat air minum siswa yang banyak tersedia di depan kelas. Lama kelamaan kakiku mulai terasa panas. Kulihat bawah alas sepatu hitam yang aku kenakan sudah berlubang cukup lebar. Maklum, sepatu ini sudah digunakan sejak masih duduk di kelas 7 SMP.

Aku melepas sepatu itu dan memilih berjalan tanpa alas kaki, agar saat olahraga besok bisa kembali memakainya. Saat ini aku bisa memilih jalan di pinggiran yang jauh lebih teduh agar kakiku tak terasa panas.

"Hei." Seseorang memanggil, disertai suara motor yang berhenti di sampingku.

"Ngapain jalan kaki? Sepatunya bau di tenteng gitu. Yuk, naik," ajaknya kemudian. Aku tersenyum lebar saat mendapati siapa yang mengajakku.

"Dhika, darimana? Kabur lagi ya dari sekolah?" tanyaku pada anak laki-laki berseragam putih abu-abu lecek dengan motor bebeknya.

"Berisik! Yuk, pulang cepetan. Gue tinggal, nih."

Bergegas aku membonceng di jok belakangnya, dengan cepat Dhika melajukan motornya melewati tanjakan dan tikungan tajam di hadapan kami. Aroma keringat dan minuman keras tercium jelas dari seragamnya.

Aku memukul badannya keras. "Gue bilangin Bibi Mar, ya. Lo abis minum-minum, ya!" ancamku akan memberitahu Ibunya tentang apa yang Dhika lakukan.

"Berisik. Diem aja. Kalau gak, gue bilangin ke cinta monyet lo itu, siapa namanya? Putra. Kalau lo suka sama dia," ancamnya.

"Jangan dong," rengekku. Takut ia membocorkannya  karena Dhika banyak mengenal siswa kelas 3 sekolah kami yang merupakan angkatan Putra.

"Ya, udah. Lu diem-diem ya." Dhika mengangkat tangan kirinya dan memberi jempol padaku.

Dhika adalah sahabatku sejak SMP dulu. Aku tak pernah satu sekolah dan bahkan ia tak satu desa denganku. Ia dari desa sebelah dan merupakan tetangga sepupuku. Kami berteman baik sejak dulu karena sepupuku yang memperkenalkan kami.

Dhika juga tahu jika aku menyukai Putra. Namun, ia selalu berkata padaku bahwa ia tak suka pada Putra. Entah apa alasannya. Ia tak pernah memberitahuku. Sejujurnya, Dhika adalah cowok yang penuh misteri. Aku tak pernah bisa menebak jalan pikirannya selama ini.

Bersambung