Selamat Membaca
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, bersama si 'Mamang Ojek' pake moge dan jaket hitam, Choco membatu di jok belakang. Mata gadis itu mengerjap di balik lensa kacamata, mengamati intens bayangan laki-laki membawa motor tersebut lewat spion.
Ia masih ragu, tentunya. Memangnya ada penampilan ojek seelit ini?
Sampai akhirnya motor sport itu terparkir di depan gerbang SMA Taruna Bangsa. Sekolah megah yang menampung anak beasiswa seperti Choco. Kini gerbang tersebut sudah tertutup dan digembok.
"Aish, sial!" decak Choco, turun dari motor lalu menggenggam besi gerbang.
"Bener dugaan gue. Pasti sudah ditutup dari tadi. Nyesel gue begadang nonton bola!"
"Puas teriak-teriaknya?"
Deg. Jantung Choco terhentak sedetik, setelah mendengar suara bariton nan serak yang tidak asing. Begitu berbalik ke belakang, rahang bawahnya jatuh.
"L-lo! Lo! Lo!"
Sang pengendara motor alias Mamang ojek yang mengantar Choco tadi, mulai membuka helm fullface-nya. Rambut coklat gelapnya berantakan, membuka jaket sebentar, kemudian turun menginjak tanah. Alter Jaydeniel Sebastian. Nama seram yang terpampang jelas pada nametag laki-laki itu. Rupanya Alter, berbalut seragam sama dengan Choco. Karena pada dasarnya dia juga sekolah di sini. Pantas saja dari tadi Choco curiga tentang fisik luar Mamang ojeknya. Rupa-rupanya ia salah orang.
"Kenapa? Kaget?" tanya Alter, melangkah maju.
Punggung Choco langsung menempel ke gerbang. "Alther?! Jadi lo Mamang ojek?"
"Ojek?" beo Alter, terkekeh samar.
"Lo pikir gue semiskin itu?"
"Siapa tau itu kerja sampingan lo. Buktinya sekarang ngapain nganter gue sampe sekolah hayo?"
"Lo sendiri yang—"
"Yaudah, makasih atas tumpangannya," sambar Choco sebelum Alter ingin menjelaskan. Gadis itu merogoh saku seragam dan menyodorkan selembar uang warna kuning.
Alter mengernyit.
"Nih, anggap aja ongkos. Goceng aja, gue gak punya duit lagi," lanjut Choco santai.
"Ha." Merasa direndahkan, Alter mengulum lidahnya di pipi kanan.
"Gue gak butuh duit gembel. Yang gue butuhkan dari lo cuma tanggung jawab soal waktu 'itu'."
Berpikir sebentar, tiba-tiba sebersit ingatan-ingatan tak mengenakkan bersama Alter malam itu melintas di benak Choco. Perihal ketumpahan bolu, diseret ke kamar, buka-bukaan baju, sampai tendangan maut di junior Alter. Bulir keringat dingin telah membanjiri tubuh dan kulit wajah Choco yang penuh bintik jerawat batu. Ia tertawa, hambar. Lantas memasukkan kembali uang lima ribunya ke dalam saku.
"Hahaha, soal itu, ya." Usai mengatakannya, Choco mundur ke samping pelan-pelan. "K-kalo gitu, pending aja, deh. Gue masuk duluan, ya! Ngenggg."
"Woi!" gertak Alter, suara bassnya menggema. Namun sepertinya, tidak mempan bagi Choco yang sudah kabur pontang-panting ke arah gerbang belakang.
Dengusan berat meluncur, dengan gerakan rendah Alter menyalakan ponsel pipihnya. Kemudian ditempel pada daun telinga saat menghubungi Regan, teman gengnya.
"Tugas. Suruh semua anggota Dark Zelox buat ngumpul di gerbang belakang sekarang. Kalo ada cewek yang datang ke sana, seret dia ke markas."
"Huffttt, selamat!" Choco menghela lega, membungkuk sambil mengatur napas yang kacau.
Capek, rasanya seperti menjadi buronan polisi. Mencari tempat aman agar tidak tertangkap untuk keberapa kalinya. Menengok ke arah belakang, ternyata kosong melompong. Tidak ada tanda-tanda Alter mengejar. Choco tegap lagi, sepasang kakinya menapaki daerah gerbang belakang SMA Taruna Bangsa, sekolahnya. Mendongak ke atas, gerbang itu cukup tinggi dipanjat. Baru kali ini ia susah-susah manjat gara-gara telat.Menghirup rakus oksigen, lantas Choco memegang erat besi gerbang berkarat itu. Hendak memanjat.
"Oh, ini targetnya?"
"Witwiw, cewek ... mau ke mana, nih?"
Betapa terkejutnya Choco begitu disambut pekikan juga sorakan yang muncul dari arah mana saja. Kakinya turun lagi, tidak jadi manjat. Berputar badan melihat sekumpulan murid cowok berandal yang berpenampilan urakan. Sebagian ada yang memakai jaket sama persis dengan Alter, laki-laki mengerikan itu.
"K-kalian siapa, huh?! Jangan mendekat!" sentak Choco waspada. Semua berandal di hadapannya kian maju dengan seringai serigala. Jika dihitung, sekitar delapan cowok di sana.
"Cantik-cantik galak, ih," sahut salah seorangnya.
"Wlee!" Ekspresi Choco sengaja dibuat muntah saat tangan cowok jabrik membelai pipinya. Ia menepis kasar.
"Tangan lo bau terasi!"
"Sembarangan! Muka lo tuh kembaran terasi," balas cowok lancang itu tak terima.
"Dih, labil lo. Tadi muji gue cantik, sekarang dikatain kayak terasi. Aneh." Choco geleng-geleng kepala tak mengerti.
Semua manusia-manusia yang mengepung Choco kompak saling pandang, menyiratkan sesuatu lewat mata seolah-olah membagi pikiran tentang rahasia besar negara. Karena bosan menonton mereka yang hanya pandang-pandangan antar cowok, Choco kembali menghadap gerbang berniat memanjat. Gila, tokoh-tokoh di dunia novel ini sangat di luar akal sehat. Ia tak habis pikir.
Apalagi si Mamang ojek tadi, Alter. Choco anti tokoh Male Lead itu. Padahal di novelnya, peran Alter tidak semenyebalkan ini.
"Emmhh!"
Choco melotot, mulut dibekap saputangan oleh tangan kekar secara mendadak. Meronta-ronta tapi percuma, matanya langsung berkunang-kunang menghirup bius yang menguar.
"Cepat bawa ke markas! Si Boss udah nunggu katanya," ujar cowok lain berambut kriwil.
Sedangkan cowok yang membungkam Choco sampai pingsan, mulai membungkus kepala gadis itu pakai karung goni.
"Ini gimana bawanya, kampret?!"
"Seret aja, lah. Biar praktis."
"Parah, anak orang itu." Anggota lain sedikit kurang setuju.
"Cuma si culun doang, ngapain takut? Cepetan bawa keburu kepergok si gembrot lagi patroli."
Akibat desakan dari Regan juga Ethan, Lucas terpaksa membawa tubuh Choco yang terseret-seret di permukaan tanah sebab kedua kakinya diseret ke depan. Dalam kondisi terlelap serta kepala ditutupi karung.
Memang lumayan sadis, tapi beginilah yang terjadi.Choco benar-benar sudah tidak melihat dunia lagi untuk sementara waktu.
***
"Ck, Choco kemana, sih?!" Cherry menggigit kuku jempolnya, jengkel. Panggilan via telepon terhadap anak pembantunya itu tak kunjung dijawab.
Padahal di hari-hari sebelumnya, tidak ada kata terlambat bagi Choco untuk sigap hadir melayani sang Ratu. Mungkin saat ini dia telah berani mengabaikan sambungan Cherry hingga rela menunggu seperti orang meminta kepastian. Cherry mondar-mandir di depan kelas, celingak-celinguk mengecek sekitar yang tampak senyap. Berhubung kelasnya jamkos, segelintir warga IPA 1 berkeliaran. Termasuk dirinya.
Nihil, sama sekali tidak ada siluet atau batang hidung Choco yang terlihat. Membuat Cherry semakin muak. Ingin rasanya gadis itu menindas Choco hingga sengsara.
"C-cherry?"
Ia menoleh, seseorang memanggilnya. Sosok laki-laki lugu berkacamata dengan rambut mangkok itu berjalan kaku mendekat.
"Apa?" tanya Cherry, malas.
"Kamu ... gak masuk?"
"Hah?" Raut Cherry semakin masam bercampur muak.
"Apa urusannya sama kamu? Mau aku masuk atau nggak, kamu merasa rugi? Lagian situ siapa?"
Jujur, Cherry memang tidak kenal siapa laki-laki sok akrab ini. Atau singkatnya, SKSD.
Melirik nametag si empu, tertera nama 'Farezka Geovano'.
"A-aku Farez!" Laki-laki itu mengulurkan tangannya, meskipun gemetar gugup. "K-kamu Cherry ... 'kan? Sisa-salam kenal-kenal!"
Dalam batin, Farez memaki dirinya sendiri. Mengapa harus bicara gagap? Dia yakin Cherry akan memandangnya sebatas orang bodoh.Benar saja, gadis itu tak mengindahkan apa yang Farez katakan dan lakukan barusan. Tangannya tersapu angin halus, tersenyum miris ketika Cherry berlalu begitu saja. Berjalan angkuh memasuki ruang kelas.
Jadi ini rasanya ditolak sebelum memulai?
Bersambung