Selamat Membaca
"Ini teh jalannya bener nggak, Non?"
"Iya, Pak. Setelah belok kanan lurus aja."
"Siap atuh, Non."
Selesai bercakap-cakap terkait arah jalan dengan Pak Uus —supir pribadinya—, Cherry kembali menyender pada sandaran jok belakang mobilnya. Pandangan terlempar ke luar jendela samping, mengamati pemandangan ibukota.
Saat ini, tepatnya pulang sekolah dan masih mengenakan seragam, ia berniat mengunjungi rumah Alther. Alias calon tunangannya. Sedari kemarin Cherry belum bertemu dengan cowok itu. Jadi kunjungannya ini inisiatif sendiri.
Dughh!
Suara seperti ledakan tiba-tiba muncul, mobil terpaksa diberhentikan oleh Pak Uus sampai terdengar decitan rem. Sontak Cherry terhentak ke depan, tercengang setengah mati.
"Aduh, gawat!" seru Pak Uus di jok kemudi.
"A-ada apa, Pak?!" Cherry bertanya panik.
"Bannya ngabeledug, Non. Mobil ini nggak bisa jalan lagi, sepertinya harus dibawa ke bengkel dulu," terang Pak Uus.
"Hah? Maksudnya bocor?!"
"Iya, Non. Saya juga belum sempat bawa ban serep, jadi harus ke bengkel ini mah. Mungkin Non Cherry bisa pesen ojol aja ke rumah Tuan Alther. Biar cepet, sebentar lagi juga sampe, kan?"
"Ah, nggak papa, kok. Pak Uus bawa aja mobil ini ke bengkel. Saya mau jalan kaki." Setelah mengatakan itu, Cherry membuka pintu mobil.
"Lho, Non? Kenapa jalan kaki?!"
Cherry tersenyum. "Nggak papa, Pak. Sana bawa mobil ke bengkel."
"O-oke, deh, Non. Hati-hati."
Berpamitan sebentar, barulah langkah Cherry mulai maju menyusuri jalanan lenggang. Sedang Pak Uus stand by di mobil mengawasi. Untung saja daerah ini termasuk wilayah dekat rumah mewah Alther. Jadi Cherry tidak perlu pesan ojol atau apalah.
Di sekitar sana cukup sepi, sisi jalan ditumbuhi pepohonan rindang serta beberapa warung kecil. Cherry belum membayangkan bagaimana kawasan di sini, ternyata lumayan nyaman dibandingkan hanya membaca lewat novelnya.
Entah seberapa besar rumah Alther yang digadang-gadang megah penuh berlian itu. Wajar saja, keluarga miliuner.
Di tengah-tengah perjalanan, gerombolan pria brewok berpakaian compang-camping mirip preman, menghadang Cherry. Gadis itu kontan mematung, menatap lima preman bertato itu yang menghampiri dengan perangai seram.
"Oh, jadi ini anak orang terkaya itu?"
"Kayaknya iya, sih. Mukanya mirip Pak Harsa. Yang punya perusahaan batu bara itu, ye?"
"Hai, adek manis. Main sama abang-abang, yuk? Mau jajan seblak gak?"
"Mana mau anak holkay makan seblak. Alergi tuh lidahnya nanti."
Perlahan, kaki Cherry melangkah mundur. Dengan tubuh gemetar takut. Padahal di novelnya tidak adegan ia digoda om-om preman begini. Seharusnya tidak ada figuran yang dapat mendekati Cherry selancang itu.
"K-kalian siapa?! Jangan dekat-dekat sama saya!" bentak Cherry, cemas. Tangannya meremas rok.
"Kenapa, dek? Jangan galak-galak. Om nggak bakal macam-macam, kok. Nanti cantiknya ilang, lho kalo garang begitu."
"P-pergi! Atau saya lapor polisi!" Kini Cherry berani mengancam, walaupun hanya sebatas gertakan.
Salah satu preman langsung berlari mendekat, mengunci pergerakan Cherry membuat gadis itu meronta-ronta. Tangannya dipelintir ke belakang oleh si preman berotot itu.
"Hahaha. Makanya jangan macam-macam, dek. Om juga niatnya baik. Hayuk ikut om."
Siapapun, tolong selamatkan tokoh utama ini!
***
"Yeyy! Esklim stobeli! Makacih, Kak Alez!"
Farez tersenyum gemas, lalu berjongkok di depan Yaya saat memberikan ice cream rasa strawberry. Adik perempuannya itu terlihat melompat-lompat kegirangan, melahap nikmat ice cream favoritnya.
Tangan besar Farez terangkat, mengacak-acak gemas rambut Yaya yang sebahu.
"Gimana? Enak? Sekarang jangan nakal lagi, harus jadi anak baik! Kak Arez gak mau punya adik bandel," katanya menasihati.
Kepala Yaya mengangguk, bocah sepuluh tahun itu mengulas cengiran lebar. Wajahnya yang setengah membusuk dan menghitam akibat bekas luka bakar, tampak berkerut-kerut.
"Siap, Kak Alez!"
"Yaudah, ayo pulang. Mama katanya udah masak nasi goreng kesukaan Yaya," ajak Farez, menggenggam tangan mungil Yaya untuk dituntun.
"TOLONG! TOLONG SAYA! SIAPAPUN TOLONG SAYAAA!!!"
Ketika berdiri lagi siap berjalan, pendengaran Farez menangkap sebuah jeritan wanita yang meraung-raung dari arah belakang. Refleks laki-laki berkacamata itu terdiam, berbalik badan dengan mata memicing.
Reaksinya berubah terkejut, melotot. Kemudian melepas genggamannya pada sang Adik, Yaya, dan berlari sekencang-kencangnya menuju sumber suara.
Meninggalkan bocah mungil itu sendirian.
Dengan sekali gerakan, ia meninju wajah salah seorang preman tengik itu yang mengungkung tubuh gadis SMA. Tentu preman tersebut ambruk, Farez menarik lengan Cherry selagi ada kesempatan.
Lebih anehnya lagi, kenapa gadis pujaan hati Farez itu berada di sini?
"Kamu gak papa?" tanya Farez khawatir, masih erat mencengkeram Cherry.
"I-iya ... makasih."
"Sekarang kamu mundur, biar aku yang tangani mereka," bisik Farez lalu melepas kacamata bulatnya. Ia sodorkan terhadap Cherry. "Aku titip ini."
"O-oke." Cherry yang masih shock berat, hanya membalas anggukan sembari mundur beberapa langkah. Dengan raut gundah.
Setidaknya sudah aman, tapi rasanya Cherry pernah melihat laki-laki yang menolongnya itu. Apa laki-laki tersebut adalah figuran di dunia novel ini?
"Ck, ada pahlawan kesiangan datang," celetuk preman lain.
"Sikat aja, cok. Hajar sampe mampus!"
"Ganggu banget nih bocil. Padahal gue mau seneng-seneng dulu sama si Neng manies."
Farez maju tanpa gentar, menggulung kain lengannya ke atas sampai siku. Wajahnya yang tidak pakai kacamata bulat, seketika diselimuti aura gelap dihiasi seringai licik. Tatapan intimidasi mulai bermain-main hingga Cherry dibuat cengo.
"Bacot. Sini maju lo semua!" tantang Farez, menyugar rambutnya agar sengaja acak-acakan.
"Nantangin nih bocil."
"Banyak omong lo, setan!" Farez menggertak lagi.
Bugh!
Dugh!
Bugh!
Bak pertandingan tinju, Cherry bisa menyaksikan dengan mata telanjang bahwa Farez sangat beringas. Laki-laki itu melayangkan tinju, tendangan, tehnik bela diri yang sepertinya sudah dipelajari bertahun-tahun.
Apa benar ini mencerminkan cowok cupu? Cherry tak percaya. Sungguh.
Tiga menit berselang, seluruh para preman kalah telak dan berakhir terbaring di atas aspal. Kulit mereka penuh bercak darah segar juga lebam-lebam keunguan. Sementara pelakunya, Farez, berdiri kokoh pasang kuda-kuda.
"K-kamu .... " lirih Cherry, Farez sontak tersadar dan menengok.
"Maaf! Kayaknya aku terlalu kasar. Kamu beneran nggak papa?" Logat bicara Farez berganti halus, nadanya tidak sekeras tadi.
Cherry mengerjapkan mata. "Ng-nggak papa. Kamu sendiri?"
Farez mendekat dengan malu-malu. "Aku nggak papa." Telapak tangannya menengadah ke arah Cherry. "Kacamata aku mana?"
"O-oh, ini!" Saking speechless bercampur gugup, Cherry menyerahkan balik kacamata bulat itu. Ia memindai penampilan Farez sejenak, laki-laki di depannya mengenakan seragam yang sama.
"Nama kamu siapa?" sambung Cherry.
"A-aku?" Begitu selesai memakai kacamatanya lagi, Farez disodori pertanyaan. Ia kikuk. "F-fa-farez!"
"Farez?"
Mengangguk, Farez menjulurkan lengan. "Farezka Geovano. 11 IPS 1."
***
Untuk keberapa kalinya, Choco menegak ludah berat. Kebingungan sendiri sambil mengeratkan genggamannya pada tali tas selempangnya. Gadis itu berdiri kaku, terjebak dalam keputusan bodoh. Lihat, semua pasang mata menatap Choco rendahan seperti kuman. Mereka kumpulan anak berandalan yang menjadi supporter di arena balap motor ini. Dan Choco salah satu penonton gara-gara diajak Alther. Katanya, Alther akan bertanding malam ini. Balapan dengan rivalnya dari SMA Gradipta. Matthew Haddion Smith. Entah apa isi otak Alther mengajak Choco ke lingkungan bejat ini. Lebih baik kali ini Choco sabar sedikit, setia berdiri di area supporter dekat lintasan balap.
"Anak mana, tuh? Cupu begitu masa mainnya di arena," celetuk gadis terbalut dress sexy di belakang Choco.
"Parah, bukannya dia cewek yang dibawa Alther tadi, 'kan? Kayaknya murid SMA Greenhigh."
"Style-nya kolot banget, njir! Gak level sama kaum elit kek kita. Dasar level gembel. Haha."
"Mata gue sepet liat ni kuman. Hush hush! Sana pergi!"
Choco mendengkus samar, mulai bergerak tak ingin lama-lama mendengar cemoohan keempat circle gadis menor bak tante-tante girang itu. Ia berjalan ke kanan, lalu diam lagi di tempat yang lumayan kosong. Namun, kedamaiannya langsung runtuh saat geng DARK ZELOX datang mengurungnya. Ethan, Lucas, Regan, Zidan, bahkan Alther sekali pun yang sangar mengenakan jaket hitam memojokkan Choco.
"Lo ikut gue ke arena," ajak Alther, bernada mengancam.
Regan sontak mendorong badan Choco ke depan. "Cepet sana. Gak usah bengong kayak gitu."
"Hooh. Buruan pergi biar geng kita menang," timpal Zidan.
"Apa-apaan, sih?! Emangnya gue harus ngapain, hah?" Choco bertanya sewot. Sedikit risi saat didorong-dorong oleh Ethan dan Lucas.
"Jangan kebanyakan cingcong lo. Nurut apa susahnya sama perintah Tuan lo," balas Ethan ikut nyolot.
"Tapi gue harus ngapain, bego? Jadi kamcong?"
"Lo jadi partner gue," tekan Alther seketika. Tangan kekar dan beruratnya menarik lengan Choco erat. Sedang tangan satunya menjinjing sebuah helm hitam fullface.
"T-tunggu dulu!" cegah Choco. "Partner? Berarti gue ikut naik moge lo pas balap, dong?! Gak! Gak mau! Ogah kali gue dibawa kebut-kebutan. Mending gue pulang dah, nyesel gue dateng!"
"Eitss, mau ke mana?" Regan merentangkan kedua tangan mencegat, berusaha memblokir akses Choco.
"Lo udah culun sok-sokan nolak. Masih mending cantik kayak Queen Cherry, lah ini kayak terasi." Ethan dengan mulut cabenya itu turut menyahut.
"Minggir!" Telapak tangan Choco mengepal emosi.
Tetapi tak lama setelahnya Alther menarik kasar tubuh gadis tersebut saking tak sabaran. Waktu dimulainya balapan beberapa menit lagi. Otomatis laki-laki itu menyeret Choco ke tempat di mana motor sport hitamnya berada. Lintasan balap. Jujur, Choco sudah kewalahan menghadapi situasi ini. Ditambah lengannya kesakitan akibat dicengkeram terlalu kuat oleh si Tuan Muda itu. Padahal cewek-cewek cantik di luaran sana masih banyak yang bersedia mendampingi Alther sebagai partner balapan, tapi kenapa malah Choco si figuran yang terpilih? Cherry bahkan lebih layak.Aneh sekali.
"Woi, anak Greenhigh!" seru seorang cowok tengil di sisi Alther. Dia Matthew, lawan tandingnya. Duduk santai di motor bersama partner seksi.
Alther melirik malas. "Apa?"
"Partner lo payah banget. Mulung dari mana, huh? Tong sampah? Haha," ejek Matthew pongah.
Kemudian netra gelap Alther beralih pada Choco. Laki-laki itu berdecak. "Payah? Gue pikir dia cantik."
'C-cantik?' batin Choco.
"Justru sebaliknya," sambung Alther menatap sinis Matthew. Tak lupa seringai. "Lo mulung partner bekasan? Nyomot dari hotel atau Club? Payah."
Matthew menggeram. Hendak maju meninju wajah Alther tetapi ditahan langsung oleh partner gadisnya.
"Ck, liat aja lo nanti, Alther."
***
Brummm! Brummm! Brummm!
Ngenggg!
"Kyaaa! Semangat, Pangeran Alther!"
"Hidup DARK ZELOX! Hidup Alther!"
"Alther number one! Woohooo!"
"Matthew lo kalah aja lah, bangs*t!"
Suara deru motor beserta jeritan-jeritan histeris dari supporter, campur aduk meriuhkan suasana malam di kawasan arena balap tersebut. Para gerombolan remaja itu menonton seksama dua laki-laki yang saling adu kecepatan motor sportnya di lintasan.
Alther tentu tak dapat diremehkan. Dengan lihai, dia mengendalikan motornya sampai sosok Matthew tertinggal sekitar 5 meter di belakang. Seperti biasa, pasti Alther yang merajai arena ini.
Selagi konsentrasi melajukan motor, Choco yang gemetaran di jok belakang kontan meremas pinggang Alther.
"WOI, KAMPRET! KAGAK BISA PELAN-PELAN APA BAWA MOTORNYA?!" teriak Choco, takut bukan main.
"LO BEGO BENERAN, HUH? GUE LAGI BALAPAN!" Alther membalas teriakan.
"HABISNYA SIAPA SURUH MILIH GUE BUAT JADI PARTNER?! HARUSNYA LO TANYA-TANYA DULU KEK GUE SETUJU ATAU NGGAK! GUE TAKUT, WOI!"
"DIAM. INGAT PERJANJIAN KITA! LO ITU PELAYAN YANG HARUS NURUTIN KEMAUAN GUE!"
"TAPI BUKAN BEGINI CARANYA!"
Teramat muak, Alther tiba-tiba menaikkan kecepatan gas motor hitamnya. Membuat Choco terhenyak nyaris terjatuh.
"ALTHER! GILA LO, YA! PELANIN GAK?! JANGAN UGAL-UGALAN!"
"IBUUU, TOLONGIN CHOCO! LAHAULA WALA KUATA!"
"AAAA!"
Di balik helm, mimik muka Alther benar-benar jengkel. Gendang telinga berdenging ditusuk pekikan nyaring Choco. Kalau saja sekarang bukan di arena, dipastikan bahwa Choco pulang berlabel almarhum.
Sebenarnya Alther juga tidak ada niatan menjadikan Choco sebagai partner balapan. Karena suatu alasan, dia terpaksa tersiksa seperti ini.
Di detik-detik garis finish sudah terlihat, Alther secepatnya menaikkan speed motor hingga ban depannya tampak melindas garis kemenangan itu.
"HOREEE! DARK ZELOX MENANG! ALTHER JUARA!"
"WOOHOOO! CONGRATS TO DARK ZELOX!"
"TERHURA BANGET!!!"
Begitu Alther pertama mencapai finish dan motornya menepi, dia disambut antusias oleh seluruh anggota Dark Zelox juga supporter dari SMA Greenhigh. Sebagian merangkul dan bertos ria bersama Alther, setelah laki-laki itu turun dari motor. Sementara Matthew, Ketua geng RAVELION sok superior itu terpaksa menelan kekecewaan. Kalah telak untuk kedua kalinya di tangan Alther dalam arena. Matthew menendang badan motornya kesal.
"Hueekkk! Huekk!"
Choco berlari keluar dari tempat luas itu, muntah-muntah di trotoar jalan. Ia pusing tak karuan, meremas perutnya yang bergejolak ingin mengeluarkan semua isinya. Dasar Alther sialan. Andai tadi tidak dibawa kebut-kebutan, mana mungkin Choco mual-mual seperti ngidam. Dari dulu ia memang tidak kuat diajak balap. Menantang maut sekali.
"Hah ... akhirnya agak plong," gumam Choco lega, mengusap mulut pakai tisu. Ia bersandar lesu di batang pohon mangga pinggir jalan. "Gue sumpahin si Alther dapet karma! Kecebur empang atau apa kek! Psikopat banget tuh cowok! Bikin anak orang hampir mati." Lalu memandang satu-persatu kendaraan yang ramai melintas di aspal jalanan depannya.
"Choco?!"
"F-farez?!" kaget Choco meloncat.
Entah ini keajaiban atau kebetulan, sosok Farez si cowok berkacamata bulat dengan rambut mangkoknya, mendadak muncul di dekatnya. Seraya menenteng keresek hitam.
"Lho, ngapain lo lewat sini?!" tanya Choco beranjak.
"S-soal itu ... aku ada urusan." Farez menjawab canggung, dia mengusap tengkuknya. "Kamu sendiri kenapa duduk-duduk di pinggir jalan?"
"Oh, cuma 'kesalahan kecil'. Hehe." Choco terkekeh hambar. "Lo mau pulang?"
Farez mengangguk. "Iya. Mau pulang bareng?"
Bersambung