Chereads / Jiyuu: Labirin Seribu Dunia / Chapter 6 - Penyesalan

Chapter 6 - Penyesalan

Marnie memekik ketika beton jalan tol yang dipijaknya retak dan seolah longsor ke dalam jurang.

Dia terjatuh bersamaan dengan semua kendaraan mogok yang tadi mengelilinginya. Semuanya gelap. Matanya menutup, takut dan sulit dibuka setelah air merah darah dari langit yang luntur itu membanjirinya.

Tubuhnya sakit. Tulangnya mungkin patah. Pastinya ada beberapa retak di rusuk dan kakinya – yang sudah kehilangan sepatu hak tinggi itu di antara tanah longsor dan mobil ringsek.

Mual yang tadi disebabkan karena melihat darah, kini berkali lipat hebatnya. Rasanya Marnie tidak membutuhkan dokter untuk memberitahu bahwa dia mengalami gegar otak.

Terbaring di reruntuhan, perempuan yang berperawakan seperti wanita karir itu bersyukur karena tidak tertimbun. Hanya diucap di dalam hati, tentu saja. Selain sibuk meringis kesakitan, dia juga tidak mau membuka mulut dan membiarkan hujan semerah darah yang masih mengguyur itu untuk terminum.

"Marnie!"

Dia mendengar seseorang memanggil. Suara lelaki. Mungkin Riku. Sumbernya dari sebelah kanan. Dia harus melihat.

Niatnya mengangkat tangan kanan untuk mengusap hujan merah yang melumuri kedua matanya. Namun hanya ada rasa sakit yang muncul tak terduga. Saat itulah dia sadar bahwa tangan kanannya tertindih oleh tubuhnya sendiri.

"Marnie, kau dimana?" Riku berteriak untuk yang kedua kalinya. Terdengar lebih kencang, namun Marnie masih tidak tahu berapa jarak di antara mereka berdua.

Dengan sekuat tenaga, perempuan yang terjebak dalam tubuh seorang wanita karir itu berusaha memiringkan badan agar tangan kanannya tidak tertindih lagi. Sekarang, dia harus menopang tubuhnya dengan satu tangan kiri. Bangkit terduduk, Marnie segera mengusap wajahnya. Menyingkirkan air darah dan membuka matanya perlahan.

Sekelilingnya hancur lebur.

Bukan hanya beton jalan tol, tetapi juga semua kendaraan yang tidak bergerak selamanya. Bahkan, langit merah di atas mereka juga terkena imbas. Kehilangan warna merahnya dan hanya menampilkan betapa indahnya biru cerah itu. Harga yang harus dibayar dengan segala runtuhnya bumi di bawah kaki.

"Marnie!" Riku lagi-lagi berteriak.

"Di sini!" Marnie menyahut dengan suara yang lebih pelan. Rasanya sakit saat dia mengambil napas. Melihat bahwa tangan kanannya bengkok, tidak heran kalau rasanya memang sakit tidak karuan. Marnie mengangkat lengan kirinya dan melambai sebisa mungkin.

Dadanya memang sakit, dan gerakan itu semakin memperparahnya. Untung, dia melihat sosok lelaki dengan seragam coklat khas pasukan masa penjajahan.

"Riku!"

Yang dipanggil mendengar. Dengan langkah gesit seperti seorang atlet, Riku sedikit berlari menuju reruntuhan di mana perempuan berwujud wanita karir itu terduduk pasrah. "Tunggu sebentar, dan lukamu akan sembuh."

Marnie mengangguk pelan. Mungkin teorinya sama dengan apa yang terjadi pada luka tusuk yang diderita Riku. "Iskan bagaimana?"

"Iskan?"

"Pemuda pemilik dunia ini yang baru saja mengaku sebagai pembunuh. Apa dia baik-baik saja?"

"Entah. Aku langsung mencarimu."

"Kenapa?"

Riku terdiam sejenak sebelum menjawab sedikit ketus, "Kau tidak suka?"

Marnie memilih untuk tidak menanggapinya. Jawaban Riku seolah terdengar dipaksa. Lagipula, tubuhnya serasa masuk mesin giling daging, dimuntahkan di atas bukit, dan menggelundung hingga dasar selokan. Untuk mengalihkan perhatian dari derita fisiknya, kedua matanya memeriksa lelaki berseragam tentara kuno itu.

Dengan hujan yang semerah darah, sulit untuk mengetahui apakah Riku juga mengalami luka luar. Yang pasti, dia bisa berjalan dengan gesit untuk mencapai lokasinya. Itu menandakan bahwa Agen A-8989 ini lebih beruntung dari Marnie.

Detik demi detik berlalu. Sama seperti sebelumnya, tidak ada satu orang pun yang keluar dari kendaraannya.

Melihat seorang pria tambun yang tegeletak tidak jauh darinya, Marnie bertanya. "Orang-orang itu, mereka siapa?"

"Bukan siapa-siapa."

Dia mengernyit. Bingung akan jawaban Riku. "Maksudnya, mereka bukan jiwa bersalah yang katamu dihukum di dunia ini?"

"Anggap saja mereka figuran."

"Kau tahu apa itu figuran?"

Riku memandangnya datar. "Kau pikir aku bodoh?"

"Hei, kau memakai seragam pasukan masa penjajahan. Antara kau suka cosplay atau memang berasal dari masa itu., tapi aku lebih yakin kalau kau itu tentara Jepang yang mati dibunuh oleh pasukan pribumi. Jangan salahkan aku kalau heran kau tahu apa itu figuran."

Lelaki itu terkekeh. Terhibur dengan penemuannya. "Aku

"Jadi," Marnie melanjutkan, "Mereka bukan orang?"

"Bukan."

"Setan neraka sepertimu?"

Dahinya lagi-lagi disentil oleh si tentara Jepang itu. "Tidak ada setan di sini."

"Terus adanya di mana?"

Saat itulah, ada orang lain yang mendekat. Langkahnya pincang. Wajahnya terluka. Terlihat sangat jelas, karena wajahnya robek tepat di tengah. Hampir membuat hidungnya hilang sekaligus. Mungkin beberapa rusuknya juga retak, seperti Marnie. Namun dia tidak bisa memastikan.

"Bantu aku menemukan ibuku," ucap Iskan dengan susah payah.

Marnie mengamatinya lebih lanjut. "Tunggu sebentar biar lukamu sembuh," katanya menirukan Riku tadi.

"Heh." Namun si tentara Jepang itu malah meledek. "Dia hanya akan sembuh kalau dunia ini ter-reset lagi."

Ada yang aneh. "Terus kenapa aku bisa sembuh," dia menggerakkan tangan kanannya yang sudah terlihat normal dan hanya pegal sedikit, "Tanpa menunggu dunia ini ter-reset?"

Riku menaikkan bahunya. Nampak tidak terlalu peduli. "Karena kau penyusup."

Jawaban itu malah semakin membingungkannya.

Marnie mencoba untuk berdiri, dibantu dengan berpegangan pada mobil ringsek dan reruntuhan beton dari jalan tol. Hujan semerah darah dari langit yang luntur juga tinggal gerimis tipis, membuat semuanya nampak serba merah dan pink.

"Ayo cari ibumu," angguknya pada Iskan setelah dirasa semua sakit itu menghilang tak berbekas.

Dengan Marnie dan Iskan yang berjalan berdampingan – karena perempuan itu menuntun pemuda yang masih terluka dan pincang – Riku mengekor di belakang mereka.

Rasanya seperti mustahil, menemukan mobil Iskan dan ibunya yang tadi ditinggal di jok belakang. Namun, jika tidak begitu, semua ini tidak akan ada akhirnya.

Entah dengan keajaiban dari mana, mereka menemukan mobil Iskan. Jendela depannya pecah dan plat mobilnya hilang. Pelek depannya juga hancur. Tapi beruntung, bagian belakang mobil itu nampak baik-baik saja. Seolah ada suatu hal selubung yang melindunginya agar ibu Iskan tetap hidup.

Yah, hidup bukan dalam artian sebenarnya – jika selain mereka bertiga, semua yang ada di sini adalah figuran tidak nyata.

"Ibu!"

Iskan berlari sebisanya. Hampir saja jatuh, jika bukan karena tangan Marnie yang cekatan membantunya.

"Tolong aku membuka pintunya," pintanya tidak sabar.

Marnie melakukannya dengan cepat. Dia sedikit menyingkir agar Iskan bisa masuk ke dalam mobil. Duduk di samping ibunya yang masih batuk tak karuan.

Ini hal yang sama dengan sebelumnya. Kedua bahu itu terguncang hebat. Tangannya menutup mulut, dan dari sela-sela jari, keluar cairan kental sewarna langit tadi.

"Ibu!" Iskan memeluk ibunya. Air mata mengalir, menyatu dengan basah air hujan tadi. Dia menangis pilu.

Marnie sedikit memalingkan wajahnya, berniat memberi sedikit privasi pada ibu dan anak yang dipisahkan maut. Yah, meski maut itu memang diundang sendiri oleh si anak.

Perempuan yang menumpang pada tubuh wanita karir itu menoleh pada Riku yang berdiri dengan tangan kiri di atas pedangnya. Kali ini posenya tidak mengancam, jadi Marnie langsung bertanya. "Dia sudah menemukan ibunya, tapi kenapa kita masih di sini?"

"Kau lupa, apa yang dia sesali tadi?"

Hening sejenak.

Mengalihkan pandangan dan kembali menatap pemuda yang masih memeluk ibunya itu, Marnie sedikit mendekat. Samar-samar, didengarnya kata yang ternyata sedari tadi dibisikkan oleh Iskan pada ibunya yang tak henti batuk berdarah.

"–bencimu. Sungguh membencimu. Jika kita masih hidup, maka aku akan membunuhmu lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi. Aku tidak akan membuatmu meminum racun. Tapi aku akan membuatmu sakit untuk bertahun-tahun. Hanya aku seorang yang kau punya, Ibu. Dan aku akan membuatmu menderita. Sungguh menderita, hingga kau berharap tidak pernah melahirkanku."

Marnie bergidik ngeri mendengar semua itu.

"Aku sungguh membencimu, Ibu."

Kali ini, dunia benar-benar hancur tak bersisa dan semuanya menjadi gelap.