Kereta melaju lebih pelan, menandakan bahwa kendaraan bertenaga uap ini hendak berhenti di stasiun terdekat.
'Kita turun di sini,' Noya si kucing hitam berdiri di pangkuannya. Dia menguap lebar, menampilkan taringnya yang panjang sedangkan kedua mata kuningnya menutup, meregangkan tubuh.
Marnie menurut. Desakan manusia itu sekali lagi terbuka hanya untuknya dan Noya. Kejadian ini kemudian mengingatkan Marnie akan cerita tentang orang suci yang membelah lautan dengan satu ayunan tongkatnya.
'Coba aku juga punya tongkat sihir juga, pasti kelihatan lebih keren seperti Harry Potter misalnya.' Marnie mengamati kebaya merah dan kain batik yang melingkari tubuh bagian bawahnya. 'Sekarang malah lebih mirip dukun beranak. Tapi yah, setidaknya itu lebih baik ketimbang dukun santet.'
Stasiun ini kurang lebih terlihat sama. Hanya saja, lantainya sudah ditutupi ubin, memberinya kesan lebih modern jika dibandingkan dengan semua hal yang ada di dunia ini.
Orang-orang yang berlalu-lalang pun nampak lebih berada. Mungkin mereka memang lebih kaya dari semua orang di kampung yang tadi dilewati Marnie. Dengan kalung emas, dan selendang warna-warni.
Kalau dipikir-pikir lagi, mereka mirip dengan figuran-figuran yang dilihatnya di sinetron Raden Kian Santang, beberapa tahun lalu. Namun, satu hal yang lebih menarik perhatiannya ada di balik bangunan stasiun.
Sebuah pedang raksasa.
Menancap dari puncak gunung. Menjulang hingga ke angkasa. Jangankan bertanya sepanjang apa, gagangnya saja sudah setara dengan tinggi gunung itu sendiri.
Sebagian kecil bilah yang terlihat tidak menunjukkan ketajamannya. Itu sudah usang. Gelap, mungkin karena karat. Warna hijau tumbuhan menggerayangi, seolah hendak mengakui bahwa senjata yang lebih tinggi dari gunung itu adalah miliknya.
"Kau lihat itu, Noya?" Marnie serasa sedang bermimpi. Namun, dia lantas ingat kalau ini memanglah sebuah dunia yang aneh. Ini kenyataan yang tidak masuk akal.
'Pedang Pakubumi?' Si kucing hitam itu mengeong dan memandang Marnie dengan tatapan datar. Seolah menyabda Marnie sebagai orang terbodoh sedunia. 'Bahkan, hal sesederhana itu saja kau lupa?'
Tidak ada yang sederhana dari semua ini.
Apalagi soal pedang raksasa yang menancap di atas gunung dan menjulang sampai – entahlah, mungkin hingga langit ke tujuh.
"Dari mana asal pedang Pakubumi itu?"
Noya melenggang pergi. Ekornya mengayun seperti mengejek Tidak menghiraukan pertanyaannya.
Rasanya kucing ajaib yang bisa bertelepati satu arah dengannya ini tidak akan memberikan informasi secara cuma-cuma. Kalau begitu, "Hey, Noya, jangan-jangan kau juga tidak tahu ya?"
Ekornya berhenti bergoyang meski sebentar. Tapi dia masih diam.
"Tuh, kan. Kamu memang tidak tahu. Makanya diam terus. Ternyata, kamu cuma kucing yang sok tahu saja."
Voila.
'Asal kamu tahu saja, ya, bukannya sombong, tapi kamu memang lagi bodoh. Salah sendiri kena guna-guna sampai tidak ingat apa-apa.'
Marnie tidak terlalu mempermasalahkan gerutuan Noya, karena dia melanjutkan. 'Pedang Pakubumi, dibuat oleh ahli pedang legendaris pada tahun pertama.'
"Hah? Tahun pertama?"
'Ish! Biar aku jelaskan dulu.'
Marnie mengangguk, mendengarkan penjelasan Noya yang masuk langsung ke dalam otaknya.
'Itu pedang sakti. Tidak semua orang bisa menyentuhnya. Hanya Raja Agung Aji Dewangga saja yang bisa menggunakannya.'
"Digunakan bagaimana juga? Pedangnya sebesar itu."
Noya menatap jengkel. 'Raja Agung Aji Dewangga itu seorang raksasa. Raja para raksasa, asal kau tahu saja. Dasar bodoh.'
Marnie menghela napas. "Kenapa tidak bilang dari tadi."
Nama raja itu sedikit mengusiknya.
"Lalu, apa hubungannya Ardhi Dewangga dengan Raja Agung Aji Dewangga?"
'Sudah jelas, kan? Ardhi Dewangga adalah keturunan raja para raksasa!'
Marnie mengagap. Fix, Ardhi Dewangga memang gila semasa hidupnya.
"Seingatku Ardhi Dewangga tampak biasa saja. Dia tidak seperti raksasa yang bisa mengangkat pedang Pakubumi. Kau yakin, mereka orang yang sama?"
Noya mengeong, 'Tentu saja. Kalau bukan keturunannya, mana mungkin Ardhi Dewangga akan menyelamatkan dunia. Hanya dia satu-satunya yang bisa menggerakkan pedang itu.'
"Maksudnya, kita akan membuat Ardhi Dewangga untuk menggunakan pedang Pakubumi melawan alien?"
Kali ini Noya mengedip bingung. 'Alien?'
"Iya, alien. Yang menaiki pesawat setrika di atas desa itu. Kau menyebutnya apa?"
'Oh, itu. Makhluk asing.'
Marnie menghela napas, balik menggerutu, "Sama saja, bodoh."
Noya, dengan ganasnya, mencakar kaki Marnie yang tidak terbalut sandal. 'Jangan panggil aku bodoh.'
"Iya, iya. Tapi jangan main cakar sembarangan. Kau tidak mau kusebut kucing garong, kan?"
Kucing hitam itu mendesis.
Marnie memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka. "Kita kemana sekarang?"
Noya berbalik dan asal melangkah menuju arah gunung dengan pedang raksasa yang tertancap di pucuknya. 'Tentu saja ke sana.'
"Kau yakin Ardhi Dewangga tinggal di sana?"
'Tentu saja. Kau pasti lupa, tapi kau pernah mendapat penglihatan kalau Ardhi Dewangga tinggal di dekat sungai kaki gunung Nyamal.'
Marnie sepertinya tahu. Tapi, kenapa Ardhi Dewangga yang muncul dalam penglihatan sesaatnya itu nampak seperti anak SMP dan bukan seperti lelaki seusianya yang diikat Riku dibalik candi?
Ah iya, dia belum sempat bertanya pada Noya.
"Kau kenal orang yang bernama Ri – uhm, maksudku Agen A-8989?"
'Tidak tahu,' kucing hitam itu menjawab sekenanya.
Jadi, tidak ada satu orang pun yang mengenal agen Labirin Dunia seperti Riku. Bagus. Akan makin susah menemukan tentara Jepang itu di sini. Tapi, anehnya, Riku selalu muncul tiba-tiba di dekat pemilik dunia.
Bisa jadi, itu adalah keuntungannya sebagai agen Labirin Dunia. Mungkin, jika mereka memasuki dunia alternatif ini, mereka akan langsung muncul di dekat si pemilik pintu labirin. Berbeda dengannya yang harus menumpang raga orang asing secara acak.
Beberapa menit setelahnya, Marnie mulai merasa lelah.
"Kau yakin mau jalan kaki sampai gunung itu? Bisa-bisa bumi ini hancur duluan sebelum kita sampai di sana."
'Cerewet. Mana mungkin bumi hancur besok. Ingat, ramalan itu bilang kalau makhluk asing akan menyerang seratus tiga puluh tiga hari lagi, kan? Kalau dihitung sejak kendaraan mereka mengambang di atas desa, itu berarti masih ada seratus tiga puluh hari. Jadi, jangan melebih-lebihkan.'
"Intinya, kita benar-benar akan jalan sampai kaki gunung itu? Jangan bercanda!" Marnie tidak akan kuat.
Secara logika, harusnya ada delman yang ditarik kuda di sekitar sini. Tapi, tidak ada satupun yang dilihatnya. Hanya area persawahan di sisi kiri, dan hutan pohon jati di sisi kanan.
Noya tiba-tiba berhenti, hampir saja terkena samparan langkah kaki Marnie. Kucing hitam itu menoleh padanya. 'Aku akan menggendongmu, tapi kali ini saja, mengerti?'
Marnie menatapnya datar. Sungguh di luar nalar. Hendak menghina, jangankan menggendong, kucing itu hampir saja diinjaknya.
Tapi, semua itu langsung ditelan mentah-mentah. Sosok Noya si kucing hitam secara perlahan diselimuti asap. Gelap tapi tidak berbau seperti dalam kebakaran – rumahnya.
Ketika asap hitam itu menghilang tertiup angin, Noya si kucing hitam telah berubah menjadi burung raksasa, sekitar setengah meter lebih tinggi darinya. Paruhnya melengkung dan cakarnya tajam. Sebuah jambul mencuat di kepalanya.
"Kau bisa berubah jadi elang Jawa?"
'Ingat, hanya satu kali ini saja.'
"Iya, iya. Sekarang, menunduklah sedikit agar aku bisa naik ke punggungmu."
Noya si elang Jawa seolah tersenyum mengejek. 'Siapa bilang kau boleh naik ke punggungku?'
Hanya itulah yang Marnie dengar sebelum kedua kaki bercakar tajam itu mencengkram bahunya dan sayap lebar itu mengepak kuat.
Mereka berdua melesat di udara.