Chereads / Jiyuu: Labirin Seribu Dunia / Chapter 9 - Invasi Planet Bumi

Chapter 9 - Invasi Planet Bumi

Marnie terhuyung, jatuh ke belakang.

Benda asing yang terbang di langit menyerang mereka. Dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

Alien datang untuk menginvasi planet Bumi.

Tidak pernah terlintas di kepalanya bahwa dia akan menjadi sakti nyata sebuah invasi alien ke planet Bumi. Ah, bahkan dia termasuk golongan kaum yang tidak percaya dengan eksistensi alien. Baginya, alien hanya makhluk ciptaan Hollywood atau hal konyol yang digaungkan oleh para penggemar teori konspirasi.

Tapi, ini?

Marnie masih menatap kosong pemandangan perang angkasa yang terjadi di depan kedua matanya sendiri. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?"

Tidak ada yang menjawabnya.

Riku menghilang.

Dia melihat sekeliling.

Berdiri di atas bukit, dia bisa melihat pemukiman di bawahnya. Rumah-rumah terbakar. Orang-orang berlarian. Tidak lama, mereka yang menghambur keluar terkena tembakan. Seperti laser yang melesat dari salah satu pesawat alien di atmosfer mereka.

Di belakang Marnie, sebuah bangunan masih kokoh berdiri. Seperti candi Hindu. Dia belum pernah mengunjungi candi Prambanan, tetapi dari gambar yang dilihatnya di televisi, bentuknya serupa.

Entah dia ada di dimana, tapi yang pasti, pemilik dunia ini sudah gila.

Ledakan yang menggelegar masih terjadi di langit sana. Tapi, ada suara yang lebih pelan, lebih dekat dengannya. Marnie menoleh ke samping dan mendapati empat orang berpakaian serba hitam, lengkap dengan kain batik yang diikatkan di pinggang, juga kepala – seperti pakaian pencak silat. Mereka berempat berhenti tepat di depannya. Membungkuk hormat.

"Maaf, Nyai, kami kehilangan jejaknya lagi." Salah satu pria dari tim pencak silat itu berucap.

Marnie memandang heran pada keempat anggota pencak silat itu. Menatap wajah mereka satu per satu. Dia mengangguk meski tidak mengerti sama sekali dengan apa yang mereka maksud. "Lagi?"

Mereka berempat nampak panik. Saling pandang, baru kemudian membungkuk sedikit sembari menambahkan, "Kami akan terus mencari Ardhi Dewangga, Nyai. Mohon maafkan kami karena belum bisa menangkapnya sekarang."

"Ardhi Dewangga siapa?"

Satu pertanyaan itu semakin menambah ekspresi bingung di wajah keempat anggota pencak silat itu. Sebuah ledakan membuming di angkasa bertindak sebagai efek suara yang melengkapi. Kalau ini sebuah sinetron yang biasa ditonton ibu-ibu kompleks, pasti kamera akan mengarah ke masing-masing wajah keempat pria pencak silat itu.

Ada ketegangan yang menyelinap di wajah mereka. "Ardhi Dewangga, Nyai."

Seolah itu menjelaskan segalanya.

"Itu nama orang yang akan kami tumbalkan demi keselamatan negeri ini, Nyai."

Marnie mengangguk pelan, meski sebenarnya masih belum mengerti. Mungkinkah Ardhi Dewangga adalah orang yang menghuni pintu Labirin Dunia ini?

Kemungkinan besar begitu. Riku belum memberitahunya. Tapi, Marnie pikir, jika dunia di balik pintu labirin menyesuaikan rasa bersalah setiap orang, maka orang tersebut adalah pusat dunia buatan ini sendiri.

Dia harus menemukannya.

Sebelum itu, "Kalian tahu di mana Riku sekarang?"

"Maaf, Nyai," salah satu dari anggota tim pencak silat bertanya, "Riku siapa?"

"Oh, uhm… Agen A-8989. Kalian tahu?"

Keempat pria berpakaian serba hitam itu menggelengkan kepala. Jadi, Marnie benar-benar sendiri sekarang. "Ya, sudah. Kita cari Ardhi Dewangga sekarang."

"Nyai ikut mencari?"

"Iya."

Bukannya langsung beranjak, mereka malah nampak sungkan. "Tapi, Nyai, mana mungkin kami membiarkan Nyai ikut dalam pencarian ini?"

"Kenapa tidak?"

"Nyai harus berlindung di sini. Ini tempat teraman sekarang. Serangan makhluk asing itu tidak akan bisa menembus benteng pertahanan ini. Di luar sana, saya tidak yakin kami akan cukup kuat untuk melindungi Nyai."

Marnie mengerutkan keningnya, matanya memandang susunan batu yang mirip candi Prambanan itu. Kalau dipikir-pikir, memang aneh rasanya. Semua yang ada di bawah sana sudah terbakar dan porak poranda. Pesawat alien yang menyerang bumi itu pasti akan menghancurkan semuanya dalam hitungan hari. Atau mungkin malah beberapa jam lagi.

Anehnya, tidak ada kerusakan apapun di bukit ini. Bukan hanya pepohonan dan bunga yang masih asri, rumput di pijakannya pun masih hijau segar.

Tapi dia tidak melihat benteng pelindung di manapun. Mungkinkah yang dimaksud mereka itu benteng tak kasat mata? Seperti pelindung ghaib?

'Kenapa dunia ini aneh sekali, sih? Alien melawan kekuatan gaib? Gila.'

"Mohon maaf jika kami lancang," komplotan pencak silat itu lagi-lagi mengucap. "Tapi, Nyai adalah satu-satunya harapan kami untuk keselamatan negeri ini. Hanya Nyai seorang yang cukup kuat untuk memanggil sesepuh yang akan melawan makhluk asing itu. Mohon tetap tunggu di sini. Kami akan membawa tumbalnya sebelum matahari terbenam."

Dan mereka pergi meninggalkan Marnie sendirian.

Memutuskan untuk menunggu, Marnie berjalan menuju candi. Dia duduk pada anak tangga yang mengarah ke pintu candi. Rasanya sesak. Barulah Marnie sadar kalau dia memakai pakaian kuno – lebih kuno dari yang dipakai Riku.

Kain batik yang melingkar hingga mata kaki, diikat dengan kain lain berwarna hitam. Baju kebaya warna merah. Rambutnya tidak lagi acak-acakan, namun tergelung rapi. Karena sekali lagi, Marnie berada di sebuah dunia dalam tubuh yang bukan miliknya.

"Aku jadi dukun?" Ucapnya pasrah pada diri sendiri.

"Asal bukan dukun beranak." Seseorang tiba-tiba menyahut dari arah belakang.

"Riku!"

"Untung kau tidak pergi ikut mereka."

"Kupikir, orang yang mereka cari kemungkinan besarnya adalah pemilik dunia ini. Jadi, tinggal menunggu mereka balik ke sini saja." Marnie menelisik penampilan lelaki itu. "Kenapa kau tidak berubah?"

"Memang tidak. Kau saja yang aneh."

Marnie memutar bola matanya. Tapi dia senang karena tidak sendiri lagi.

"Ikut aku."

"Kemana? Orang-orang dari grup pencak silat itu menyuruhku untuk tetap di sini karena aman."

"Aku sudah menemukan orangnya."

"Ardhi Dewangga?"

Riku mengangguk. Dia berbalik dan melangkah menuju belakang candi. Marnie mengekor dan harus menghentikan langkahnya seketika.

"Astaga, Riku! Kenapa kau harus mengikatnya ke pohon?"

Tentara Jepang itu mendecih. "Biar tidak kabur."

"Tapi kenapa mulutnya harus disumpal juga?"

"Cerewet."

Entah yang dimaksud dengan cerewet oleh Riku itu Marnie sendiri atau Ardhi yang mulutnya disumpal daun, dia tidak tahu.

Perempuan berkebaya merah itu kemudian berlari menuju lelaki yang tidak sadarkan diri. Dengan susah payah, Marnie mencoba melepaskan tali tambang yang mengikat Ardhi dengan pohon beringin di belakang candi Prambanan KW.

Belum sempat berhasil, lelaki yang terikat itu membuka mata tanpa peringatan. "Mmmh Hnng!"

Marnie memegangi dadanya karena kaget, hampir saja terjengkang. "Sebentar."

Begitu dedaunan yang disumpalkan Riku ke mulut Ardhi berhasil ditarik, lelaki itu langsung meracau. "Apa-apaan ini?! Kalian siapa? Lepaskan kau sekarang juga!"

"Lepaskan ikatannya," ulang Marnie pada si tentara Jepang. Jarinya sudah menyerah melawan tali tambang yang disimpulkan dengan amat erat itu. Mustahil melepasnya tanpa alat. "Itu, pakai pedangmu. Cepat."

Bukannya menurut, Riku malah mendorong Marnie ke samping, hingga dia benar-benar terjungkal ke tanah rumput.

"Hei!" untung dia tidak menggelundung hingga dasar bukit. "Kenapa kau kasar sekali, sih?"

Tapi Riku tidak menggubrisnya. Perhatiannya hanya ditujukan pada Ardhi seorang. Mirip seperti sipir penjara yang menginterogasi tahanannya karena ketahuan menyelundupkan narkoba. "Aku akan memberimu dua pilihan."

"Aku tidak sudi mendengar omonganmu. Lepaskan aku sekarang juga!"

Bhug!

Kepalan tangan Riku dengan telak menghantam mulutnya.

"Argh! Apa-apaan kau?!"

Riku mengangkat tangannya lagi, dan lelaki itu langsung menutup mulutnya yang berdarah. Seketika diam.

"Dengar baik-baik. Kau hanya punya dua pilihan."

Nada bicara Riku persis ketika dia menjabarkan tiga aturan agen Labirin Dunia kepada Marnie sebelumnya. Bahkan, caranya mengangkat jari pun juga sama.

"Jika kau mengatakan apa kesalahan dan penyesalanmu, aku akan melepaskan ikatan ini. Atau, kau boleh diam, dan di sini selamanya."

"Oh, kumohon lepaskan ikatanku. Aku tidak mau di sini terus. Mereka akan datang dan menumbalkanku lagi. Aku tidak mau itu! Kumohon, jangan biarkan mereka menemukanku di sini!"

"Kalau begitu, katakan yang sebenarnya sekarang juga."

Sayang, sebelum Ardhi bisa menjawabnya, sebuah ledakan maha dahsyat menghancurkan segalanya.

Pesawat alien yang jumlahnya ratusan dan berkali lipat lebih besar itu sukses dalam misinya untuk menghancurkan planet Bumi.

Mereka semua musnah.

Dunia sudah tidak ada lagi.

Dan seperti semua yang terjadi di dalam Labirin Dunia ini, kehancuran itu hanya bertahan dalam hitungan detik.

Reset.

Karena setelah itu, Marnie mendapati dirinya terduduk di dalam suatu ruangan yang penuh dengan benda-benda aneh dan berhawa mistis. Empat pria dengan pakaian serba hitam khas seragam pencak silat bersila di depannya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nyai?" Salah satu di antara keempat pria itu memulai. Bertindak sebagai juru bicara, atau mungkin memang ketua, dari kelompok kecil yang nantinya akan pergi mencari Ardhi Dewangga untuk ditumbalkan.

"Sudah tiga hari tiga malam pesawat aneh itu melayang di atas negeri ini, Nyai. Tidak ada yang bisa mendekat. Para tetua desa berkata, bahwa ini adalah awal dari bencana akhir yang sudah diramalkan ribuan tahun lalu."

Dengan pengetahuannya yang terbatas akan dunia ini, Marnie mengangguk mantap. Mempraktikkan akting kelas teri dari hasil pengamatannya menonton sinetron bersama sang ibu. "Cari orang yang bernama Ardhi Dewangga. Bawa dia ke sini."

"Ardhi Dewangga?" Mereka nampak bingung. "Dia siapa, Nyai?"

Entah apa yang mendasari Marnie mengatakannya, tetapi kalimat itu lancar terdengar. "Penyelamat dunia ini."