Chereads / Jiyuu: Labirin Seribu Dunia / Chapter 10 - Si Kucing Hitam

Chapter 10 - Si Kucing Hitam

Setelah dunia yang sedang diserang invasi alien itu ter-reset, Marnie mendapati dirinya terduduk di dalam suatu ruangan yang penuh dengan benda-benda aneh dan berhawa mistis. Empat pria dengan pakaian serba hitam khas seragam pencak silat bersila di depannya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Nyai?" Salah satu di antara keempat pria itu memulai. Bertindak sebagai juru bicara, atau mungkin memang ketua, dari kelompok kecil yang nantinya akan pergi mencari Ardhi Dewangga untuk ditumbalkan.

"Sudah tiga hari tiga malam pesawat aneh itu melayang di atas negeri ini, Nyai. Tidak ada yang bisa mendekat. Para tetua desa berkata, bahwa ini adalah awal dari bencana akhir yang sudah diramalkan ribuan tahun lalu."

Dengan pengetahuannya yang terbatas akan dunia ini, Marnie mengangguk mantap. Mempraktikkan akting kelas teri dari hasil pengamatannya menonton sinetron bersama sang ibu. "Cari orang yang bernama Ardhi Dewangga. Bawa dia ke sini."

"Ardhi Dewangga?" Mereka nampak bingung. "Dia siapa, Nyai?"

Entah apa yang mendasari Marnie mengatakannya, tetapi kalimat itu lancar terdengar. "Penyelamat dunia ini."

Keempat pria berpakaian khas pendekar pencak silat itu pergi dari ruangan Marnie. Dia semakin yakin bahwa mereka adalah anak buahnya sendiri. Melihat betapa menurutnya mereka pada setiap perkataan Marnie. Tidak peduli jika kalimat terakhirnya pun ambigu dan sangat tidak membantu.

Setelah kepergian mereka, Marnie langsung bangkit dari alas duduknya dan berjalan mondar mandir di dalam ruangan penuh benda klenik itu. "Aduh, kenapa dunia ini harus ter-reset segala sih? Jadi harus mencari mereka berdua lagi, kan."

Dia berharap Riku muncul di belakangnya. Menanggapi omongannya seperti tadi. Tapi nihil, tidak ada siapa-siapa di sana.

Hanya ada dirinya dan berbagai macam batu warna-warni dalam segala ukuran. Mulai dari yang sekecil kuku kelingkingnya, hingga yang sebesar bola basket. Ada juga botol bening. Objek di dalamnya beragam. Cairan hijau dan ungu. Pasir. Tanah coklat dan kemerahan. Akar pohon.

Dia berharap apa yang dilihatnya barusan memang akar pohon. Bukan jenglot yang dikoleksi oleh dukun yang tubuhnya sedang ditumpangi Marnie ini.

Kalau boleh memilih, lebih baik dia memakai sepatu high heel dan berdandan cantik sebagai wanita karir ketimbang menjadi dukun yang nantinya akan menumbalkan seseorang untuk melawan invasi alien.

"Ardhi Dewangga," dia berbicara dengan diri sendiri, "Jangan-jangan kau ini pasien rumah sakit jiwa semasa hidupmu?"

Entah apa yang terjadi. Tak ada hujan. Tak ada angin. Marnie tiba-tiba melihat seorang anak, mungkin remaja seusia siswa SMP, sedang memancing di pinggir sungai. Dia bahkan hampir bisa merasakan hawa sejuk dari angin yang bertiup pelan. Seolah menyentuh kulitnya dengan halus.

Bayangan itu langsung menghilang begitu Marnie berkedip.

"Eh, apaan tadi?"

"Meoong!"

Marnie menoleh ke kiri dan mendapati seekor kucing hitam duduk manis di atas bantalan merah.

"Meong."

Kucing itu menggerakkan ekornya. Mereka berdua mengunci kontak mata. Sepasang manik coklat berhadapan dengan warna kuning yang menyala seperti senter.

'Kau melamun?'

Ada suara parau yang masuk ke kepalanya. Ini bukan sesuatu yang didengar dengan kedua telinganya. Tidak. Suara itu masuk ke dalam kepalanya. Seperti ada orang lain yang menyelinap ke dalam kepalanya.

'Kubilang itu Ardhi Dewangga. Kenapa kau melamun terus?'

"Eh?!" Barulah Marnie menyadari sesuatu. Jari telunjuknya mengarah ke hidung si kucing hitam. "Kau bisa bicara?!"

"Meeooong." Itu yang didengar telinga Marnie.

'Kau kenapa, sih? Kena guna-guna lagi?' Itu yang masuk ke kepala Marnie.

"Astaga… aku benar-benar jadi gila sekarang," ucapnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

Perempuan yang berubah menjadi dukun di dunia ini pun mengambil napas dalam-dalam, menahannya, dan menghitung sampai dua puluh. Barulah ia hembuskan dan kembali memandang si kucing hitam.

"Meong," kucing itu memandang balik, 'Apa?'

"Kamu siluman kucing setengah manusia, apa manusia setengah kucing?" Begitu tanya Marnie yang sudah tidak mau memikirkan kegilaan ini lagi. Fix, Ardhi Dewangga memang gila, jadi dia tidak akan sepenuhnya menggunakan akal sehat untuk menghadapi keadaan di sini.

'Sudah kubilang, jangan lama-lama semedi di hutan. Begini jadinya, kan? Kamu pasti kena guna-guna lagi malam Jumat lalu, kan? Makanya kalau pergi, ajak aku. Kenapa kau sangat keras kepala sekali sih?'

"Iya," dijawab sekenanya, biar cepat beres urusannya.

'Ingat namaku?'

Jangankan ingat, tahu saja tidak. Meski begitu, ada sesuatu yang seolah berbisik di dalam kepalanya. "Noya?"

'Setidaknya kau masih ingat namaku.'

"Kalau aku tidak ingat?"

Kucing hitam itu memandangnya. Tidak ada yang berubah dari mata kuning yang terang itu, namun Marnie merasakan tekanan yang datangnya dari arah si kucing hitam. 'Maka aku harus menguburmu hidup-hidup selama tiga malam dan kita tidak punya waktu untuk itu.'

Marnie bergidik ngeri, mengamati kucing hitam yang meregangkan tubuhnya dan mengitari bantalan merah itu. "Kau mau kemana?"

'Aku tidak yakin keempat pendekar desa itu bisa menemukan Ardhi Dewangga dengan segera. Kita juga harus bergerak sekarang.'

"Kau mengenal Ardhi Dewangga?" Marnie cukup terkejut mendengarnya.

Dalam bayangan di kepalanya, Noya si kucing hitam itu terlihat seperti orang yang sudah muak karena lawan bicaranya terlalu bodoh. Oh. Kucing hitam itu mengejeknya, begitu maksudnya, kan?

'Bahkan kau lupa mengenai anak dalam ramalan itu, hah?' Kucing hitam itu mendengus layaknya manusia yang kesal. 'Kau selalu menulis semuanya di buku usang itu. Baca saja di perjalanan.'

Marnie menemukan buku usang yang dimaksud Noya. Dia memasukkannya ke dalam sebuah tas selempang yang dirajut dengan benang warna krem dan hijau pupus. Dia tidak tahu berapa jarak yang akan mereka tempuh untuk menemukan Ardhi Dewangga. Entah apa saja yang harus dibawanya.

'Tidak perlu bawa yang aneh-aneh. Cincin akik dan gelang yang kau pakai saja sudah cukup.'

Marnie tidak sempat bertanya atau sekadar memikirkan kenapa hanya dua benda itu saja yang diperlukan jika mereka hendak mencari keberadaan 'anak dalam ramalan' itu. Noya si kucing hitam sudah melenggang keluar dari rumah milik dukun yang raganya dipinjam oleh Marnie.

Kalau dipikir-pikir lagi, dia seperti menggunakan avatar – alien tinggi yang berwarna biru dan memiliki ekor itu.

Berbicara soal alien, Marnie menengok ke atas dan menemukan sebuah pesawat aneh yang ukurannya mungkin sebesar kompleks yang ditinggalinya. Sekitar empat puluh rumah jumlahnya. Bentuknya – demi Tuhan – seperti setrika terbang.

Dia menggigit bibir bawahnya. Berusaha sekeras mungkin menahan tawa. Sungguh tidak ingin menyinggung siapa pun. Tapi kenapa bentuknya harus seperti setrika terbang?

Kenapa tidak seperti piring terbang pada umumnya? Atau mangkok terbang. Itu lebih mudah dicerna, karena memang ada fenomena semacam itu yang pernah dilihatnya – di acara dokumenter yang diputar tengah malam, atau juga di warung makan yang pemiliknya suka melempar-lempar perabotan biar lebih ramai.

Dan ini, oh, Marnie sungguh ingin tertawa.

"Hik–"

'Jangan tertawa. Itu adalah pesawat yang akan menghancurkan dunia ini, seperti dalam ramalan.' Noya si kucing menoleh dan memandangnya tajam. Tapi ekor yang masih bergoyang ke kanan dan kiri itu hanya membuatnya terlihat lucu.

Marnie mengambil napas panjang dan menelan tawanya. Sebagai seekor kucing, apa yang dikatakannya memang benar.

Jika dunia milik seorang Ardhi Dewangga ini ter-reset kembali setelah alien menginvasi dan menghancurkan planet Bumi, maka bisa dipastikan kalau misinya dan Riku di sini adalah untuk menyelamatkan dunia ini.

Dengan kedua tangan memegang tali tas selempangnya, Marnie si dukun dan Noya si kucing hitam melangkah pergi untuk mencari Ardhi Dewangga – anak dalam ramalan yang kemungkinan besar adalah pasien rumah sakit jiwa semasa hidupnya.

Di atas mereka, pesawat dari luar angkasa mengambang dalam diam. Menunggu perintah untuk menyerang.