Entah bagaimana caranya, Noya si kucing hitam memandu jalan seolah dia sudah tahu di mana Ardhi Dewangga berada.
Marnie tidak banyak bertanya mengenai perkampungan yang dilewati mereka. Rumah khas pedesaan Jawa, tidak terlalu mewah, namun juga tidak sepenuhnya terbuat dari kayu dan bambu. Tidak ada kendaraan modern, hanya gerobak dorong dan satu, dua kereta kuda.
Sebagai seorang dukun, Marnie maklum kalau jarak antara rumah dan perkampungan itu cukup jauh. Siapa juga yang mau dekat-dekat dengan orang yang mempunyai ilmu supranatural dan kemampuan untuk menumbalkan seseorang.
Jadi, gadis yang kini memakai kebaya merah itu tidak heran jika orang-orang kampung menunduk begitu dia lewat di depan mereka. Tidak ada yang menyapa. Bahkan, membicarakannya dari belakang pun tidak.
Yang ada malah sebaliknya. Dua pasang suami istri mendekat, menyerahkan sesuatu yang dibungkus kain kepada Marnie.
"Untuk bekal perjalanan, Nyai." Begitu kata mereka, masih menunduk, antara sopan dan takut. Setelah di buka, ternyata isinya nasi dan lauk yang dibungkus daun pisang. Ada juga makanan ringan, sekantong kecil air minum, dan uang koin.
'Ah, jangan-jangan aku bisa membaca pikiran?' Marnie sedikit berharap, karena itu akan jadi sesuatu yang sangat keren di benaknya. Sayang, setelah beberapa waktu berada di dunia ini, satu-satunya yang bisa bertelepati dengannya hanyalah kucing hitam yang melenggak lihai itu.
Mereka lantas menuju stasiun kereta.
Berjalan melalui kebun dan persawahan hingga kedua kaki Marnie pegal, akhirnya mereka sampai di stasiun. Sesuai dugaan, yang dimaksud Noya dengan stasiun kereta tidak jauh dari bayangan Marnie mengenai kereta zaman penjajahan Belanda. Bangunan terbuka, disangga tiang besar, dinding kayu, dan lantai tanah yang ditutupi susunan batu kecil.
Dengan gerbong kayu, jendela terbuka berjajar rapi, dan lokomotif yang menyemburkan uap panas, kereta itu nampak gagah.
Untung tadi ada warga desa yang memberinya uang, jadi dia bisa membayar tiket kereta. Mungkin itu biasa terjadi, karena Noya tidak mengatakan apapun soal bekal seperti itu. Hanya cincin dan gelang, katanya. Logika seekor kucing.
Meski begitu, mereka memang tidak kekurangan.
Menaiki kereta, Marnie mendapati tempat duduk sudah penuh semuanya. Bahkan, beberapa saat kemudian, gerombolan pria datang memasuki gerbongnya. Barang bawaan dan hewan peliharaan – seperti ayam dan kambing – semakin membuat tempat itu sesak.
Sangat tidak nyaman, apalagi dengan terik mentari yang tak ayalnya bersinar terang. Panas tanpa ampun.
Setelah mendapat perlakuan yang bisa dibilang spesial dari keempat pria berseragam pencak silat dan warga kampung tadi, Marnie merasa bahwa sekarang dia sama derajatnya dengan semua penumpang yang berjejal di sini. Tidak ada perlakuan khusus untuknya di sini.
'Cepat gendong aku,' begitu kata si kucing hitam yang hampir terinjak penumpang.
Dia mendekap Noya dan semakin menempelkan dirinya pada dinding gerbong untuk menghindari sikutan pria di sampingnya. Seketika itu juga, penumpang di sekelilingnya menoleh dan membukakan jalan untuknya menuju ujung gerbong. Di sana, seorang penumpang berdiri dan menawarkan tempat duduk.
Marnie mengernyit mengamati kejadian itu, tapi kakinya memang sudah pegal dan dia tidak mungkin menyia-nyiakan tempat duduk itu, bukan?
Noya mengeong lagi, 'Aku hebat, kan?'
Perempuan yang kini menjadi dukun berkebaya merah itu menatap heran. Sedetik kemudian dia sadar. Ingin sekali merutuk kucing hitam di dekapannya kalau menggunakan kekuatan supranatural untuk mendapat tempat duduk itu tidak baik.
Tapi dia juga sadar, kelompok pencak silat itu bilang kalau dia adalah dukun yang akan menumbalkan seorang lelaki demi memanggil sesepuh sakti untuk mengalahkan alien yang akan menginvasi.
Marnie mengelus kepala kucing hitam itu dan mendekat untuk berbisik, "Iya, makasih."
Noya mendengkur senang. 'Setidaknya guna-guna yang mengambil ingatanmu itu membuatku nampak lebih hebat darimu.'
Tidak tahu kemana kereta itu menuju, Marnie hanya bisa memandangi hamparan sawah dan kebun tebu yang luas dan indah. Kalau bertanya sekarang, bisa-bisa dia dianggap dukun tak waras karena bicara dengan kucingnya.
Perjalanan itu sendiri terasa lama. Kini, gantian bokongnya yang pegal. Makanan yang diberikan warga kampung tadi juga sudah habis. Dia tidak pernah merasa lapar sebelum dunia Ardhi Dewangga ini ter-reset beberapa waktu lalu. Entah kapan terakhir kali Marnie makan.
Mungkin sejak malam kejadian itu – malam di mana rumahnya terbakar.
'Berhenti memikirkan kebakaran itu,' katanya pada diri sendiri. Bukan waktunya untuk terjebak dalam kesedihan dan pikiran negatif. Dia punya misi penting di sini agar bisa kembali ke dunia aslinya.
Marnie kemudian menunduk untuk melihat Noya. Kucing hitam itu tidak mengatakan apapun. Merasa diperhatikan, dia menoleh dan sedikit mengibaskan ekor berbulunya. 'Apa?'
Dia memastikan kalau Noya tidak bisa membaca pikirannya. Itu lebih baik.
Oh, Marnie baru ingat. Diambilnya buku usang dari tas rajut. Noya sempat memberitahu kalau dukun yang tubuhnya dihinggapi Marnie ini menulis semua hal di sini. Pasti enak kalau semua pertanyaan mengenai dunia Ardhi Dewangga ini tertulis di buku.
Marnie tidak buang-buang waktu untuk membacanya dari depan. Dia terlalu bersemangat dan langsung membuka beberapa halaman terakhir. Sama seperti ketika dia membaca novel yang teramat tebal, tapi tidak sabar untuk mengetahui akhirnya.
Benar saja, ada sebuah ramalan yang tertulis di sana.
–––
Seratus tiga puluh tiga malam.
Makhluk asing menyerang.
Bumi akan hancur oleh hujan cahaya.
Anak yang hilang harus kembali.
Berjuang atau berkorban.
Ardhi Dewangga adalah sang penyelamat dunia.
–––
Itu yang Marnie dapat mengenai anak dalam ramalan. Tidak menjawab pertanyaannya mengenai keberadaan Ardhi Dewangga. Tetapi itu cukup untuk membuktikan bahwa misinya di sini ini adalah menyelamatkan dunia bersama seorang Ardhi Dewangga.
Karena tidak ada lagi informasi mengenai pemilik dunia ini, Marnie asal membuka halaman sebelumnya. Mungkin ada sesuatu yang menarik di sana.
Kedua matanya membulat tidak percaya. "Ini huruf apa sih?"
Beberapa penumpang yang kegerahan menoleh, tapi mereka kemudian mengacuhkannya lagi. Tatapan kucing hitam yang duduk manis di pangkuannya itu mungkin terlihat menyeramkan bagi orang lain.
'Jangan ngomong sendiri,' celetuk Noya dalam pikirannya.
Marnie menggigit bibir bawahnya, sudah paham sekarang. Lalu, dia kembali beralih pada buku usang yang baru dibuka.
Angka dan simbol-simbol aneh hampir memenuhi halamannya. Garis yang menghubungkan satu titik ke titik lain. Dia tidak mengerti semua itu. Apalagi dengan rentetan garis kecil yang miring dan melengkung.
Berbeda dengan ramalan tadi yang ditulis dengan bahasa Indonesia – semua halaman di buku ini bagai kumpulan kode rahasia yang tidak dimengertinya. Jika tebakannya benar, maka buku ini ditulis menggunakan aksara Jawa.
Atau huruf Thailand.
Yah, keduanya agak mirip dan sama-sama tidak bisa dipahami Marnie.
'Repot-repot bawa buku, tapi isinya hampir tidak berguna,' Marnie menggerutu dalam hati sambil memasukkan buku usang itu kembali ke tas rajutnya.
Seketika itu juga, petir bergemuruh dari langit. Seolah hendak menyambar Marnie yang mengatai buku milik dukun ini.