Kedua mata Marnie mengamati lorong rumah sakit yang kosong itu. Dengan pencahayaan terang dari lampu neon di atas mereka, Marnie bisa melihat semua pintu yang berjajar di kanan dan kiri. Tidak ada yang terbuka. Semuanya tertutup rapat. Polos, tanpa tulisan penanda nama atau nomor.
"Jadi, sebenarnya ini tempat apa?"
Pertanyaan Marnie kali ini mendapat sebuah jawaban dari si tentara Jepang yang lebih banyak diam. Tapi, sekalinya tidak diam, dia meresahkan. Apalagi kalau sudah menghunus katana dan mengancam mau menebas lehernya. "Anggap saja ini alam bagi orang-orang yang sudah mati."
Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini.
Riku nampak lebih mudah dibujuk untuk menjawab tanya Marnie dengan jelas setelah perjanjian absurd mereka. Makanya, perempuan berpiyama motif bunga matahari dan jaket hijau itu memanfaatkan hal ini untuk menginterogasi sipir penjara Labirin Dunia.
"Semua orang mati pergi ke sini?"
"Hanya orang yang bersalah."
Dia mengerutkan kening dan menatap lelaki yang berdiri di sampingnya. Dia harus mendongak dari kursi yang terjejer di sisi salah satu pintu dalam lorong."Pembunuh?"
"Pasti."
"Koruptor?"
"Ada banyak di sini."
"Orang yang suka memfitnah rekan kerjanya?"
"Bisa jadi."
"Orang yang selingkuh dengan adik kelasnya?"
"Kau sedang curhat?" Riku terkekeh geli melihat Marnie yang berapi-api.
"Apa orang seperti itu bisa berakhir di labirin ini?"
"Tentu. Kalau mereka merasa bersalah."
Marnie bergumam tidak jelas. "Kalau psikopat?"
"Hm?"
"Psikopat." Marnie mengulang. Seolah jalan pikirnya adalah suatu pengetahuan umum dan Riku akan langsung paham tanpa dijelaskan."Mereka tidak mempunyai empati. Membunuh banyak orang tanpa rasa penyesalan sedikit pun."
Si tentara Jepang itu masih terdiam.
Mungkin dia belum pernah menemui psikopat di sini. Mungkin dia tidak tahu kalau ada psikopat di sini. Karena Marnie ingat. Psikopat biasanya menyembunyikan dirinya dari masyarakat sosial dengan lihai.
"Seperti Iskan," tambahnya lagi. "Dia tidak merasa bersalah setelah meracuni ibunya. Dia hanya menyesal karena belum mengatakan kebenciannya pada ibunya, kan? Dia seperti psikopat. Mungkin memang psikopat."
"Entahlah. Mungkin memang ada psikopat di sini," Riku berkata setelah keheningan yang cukup lama.
"Setidaknya dia terperangkap di sini sebelum kita membebaskannya."
"Hmm…"
"Eh, aku tidak melihat jam di sini."
"Tidak ada jam."
"Terus?"
"Apa?"
Marnie mengamati wajah lelaki dengan seragam pasukan masa penjajahan itu. Nampak polos, seolah tidak ada masalah dengan nihilnya keberadaan sebuah alat yang menandakan berapa lama waktu telah berjalan. "Kenapa tidak ada jam?"
"Tidak penting." Jawaban Riku memancingnya untuk bertanya lagi. Tapi, si tentara Jepang itu ternyata menjelaskan lebih lanjut. "Waktu berjalan lebih cepat di sini ketimbang dunia orang hidup. Menurutmu, kau sudah berapa lama ada di sini?"
Mengetukkan jari ke dagunya, Marnie berpikir keras. Dia tidak tahu. Tidak ada jam. Tidak ada penanda siang dan malam. Yang ada hanya lorong rumah sakit, dan pintu di mana Marnie dipaksa untuk melihat lagi betapa besarnya kobaran api yang melahap rumahnya.
Untuk ratusan – atau mungkin ribuan – kali.
"Satu minggu?"
Riku mendengus. "Mungkin terasa begitu bagimu. Kau ingat apa kata Iskan soal rahasianya?"
Marnie mengernyit. "Kalau dia adalah orang yang meracuni ibunya? Dia bilang sudah menjaga rahasia itu selama ratusan tahun."
Si tentara Jepang menaikkan satu alisnya. Gestur memancing agar Marnie menarik kesimpulan sendiri.
"Tapi dunianya tidak terlihat seperti dari ratusan tahun yang lalu. Itu terlihat seperti masa sekarang."
"Waktu berjalan lebih cepat di sini. Mungkin dia baru mati beberapa tahun yang lalu, atau malah belum ada seminggu sejak kematiannya."
"Kau bercanda."
"Bukan aku yang mengatur alur waktu. Jangan protes."
Marnie memonyongkan bibir seperti anak kecil. Kedua manik coklatnya kemudian beralih untuk mengamati pakaian Riku.
Hampir bisa dipastikan kalau Riku meninggal pada masa penjajahan Jepang. Itu berarti sekitar tujuh puluh delapan tahun yang lalu. Seperti umur negara Indonesia. Dengan percepatan waktu di Labirin Dunia ini, itu berarti sudah ratusan, atau mungkin ribuan tahun lamanya Riku berada di sini.
"Syukurlah kalau begitu," perempuan berpiyama itu menghela napas.
"Hm?"
"Aku bisa kembali ke dunia dan waktu di sana tidak akan berubah banyak. Aku mengkhawatirkan ibuku."
Karena dia berbeda sama sekali dengan Iskan. Marnie menyayangi ibunya. Itu sudah jelas.
"Apa bentuk labirin ini selalu sama dengan lorong rumah sakit?"
"Iya."
"Itu pasti membosankan. Hanya ada lorong rumah sakit dan pintu di sisinya. Bagaimana bisa kau tidak gila?"
"Karena itu aku mengunjungi dunia di balik pintu." Riku berdiri. "Ayo."
Marnie memasang wajah bingung. "Kemana?"
"Ke dunia lain. Ingat, kau harus membantuku membebaskan seribu jiwa bersalah dari labirin ini."
"Maksudmu satu."
Riku memandangnya datar. Tidak lucu. "Seribu."
"Sudah kubilang, seribu terlalu banyak."
Si tentara Jepang itu mendesah jengkel dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Sembilan ratus lima puluh."
"Lima ratus," dia menawar setengah harga.
"Delapan ratus."
"Empat ratus."
Riku nampak heran. "Empat ratus?"
"Tidak suka?" Marnie menantang. "Kalau begitu tiga ratus saja."
"Kenapa malah berkurang?"
"Karena kau meminta terlalu banyak. Dua ratus, setuju atau tidak?"
"Hei, kau bercanda?" Riku bersungut. "Tujuh ratus. Bantu aku membebaskan tujuh ratus jiwa."
"Seratus. Deal or no deal?"
Riku terdiam. Mulutnya menganga mendengar tawaran Marnie.
Bisa dipastikan, lelaki berpakaian kuno itu tidak memiliki kemampuan tawar menawar. Salahnya sendiri menantang Marnie yang sudah pandai menawar sejak dini, berkat didikan ibunya yang berjualan sayur di pasar pagi. Jadi, jangan tanyakan kemampuan terpendam Marnie untuk menawar harga. Bahkan, penjual pakaian daster paling ngetop di pasar pun bisa bertekuk lutut jika berhadapan dengan Marnie.
"Oh, tidak mau juga?" Marnie memancing. "Ya sudah. Bagaimana kalau lima pu–"
"Seratus! Bebaskan seratus jiwa untukku, dan aku akan segera mengeluarkanmu dari sini! Deal!" ucap Riku cepat-cepat.
Marnie geli melihat Riku yang gelagapan. Sebelumnya, Riku seorang yang bertingkah seperti penguasa. Tidak heran, mengingat dia adalah agen Labirin Dunia, dan Marnie adalah korban yang tersesat di sini. Jadi, menyaksikannya salah tingkah membuat perempuan berpiyama itu tertawa.
Rasanya puas sekali.
"Deal."
Riku menghela napas lega.
"Kita pergi sekarang?"
Dia mengangguk sambil berjalan menuju salah satu pintu tertutup tidak jauh dari tempat Marnie duduk. "Lagipula, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan di sini."
Benar katanya.
Marnie mengikutinya. Mereka berhenti di depan pintu, yang terlihat seperti pintu ruang inap rumah sakit, hanya saja tidak ada nama atau nomor penanda. Tapi Marnie sudah tahu kebenarannya sekarang.
Dengan suara 'clek' yang menemani, Riku membuka pintu dan mereka masuk ke dalam ruangan gelap itu. Marnie berdiri tepat di sampingnya, sedikit was was kalau ada laba-laba raksasa yang tiba-tiba muncul dari kegelapan.
Setelah menyadari kalau langit di dunia Iskan berwarna merah dan air hujannya seperti darah, dia jadi sedikit paranoid. Jangan-jangan kali ini langitnya berubah menjadi jutaan laba-laba yang bisa jatuh kapan saja.
Beruntung, begitu kegelapan perlahan menjadi terang, dia tidak menemukan laba-laba seperti yang ditakutinya. Malah, langit itu menampilkan kembang api. Suara ledakannya meriah, tepat sebelum kembang api yang disulut ke atas itu bertransformasi seperti bunga raksasa yang indah.
Tapi…
Itu bukan kembang api.
Ledakan kembali terjadi. Dan Marnie yakin kalau itu benar-benar bukan kembang api.
Jauh lebih buruk.
Itu adalah ledakan yang berasal dari tembakan sepuluh pesawat tempur.
"Apa yang terjadi di sini?"
Sepuluh pesawat tempur yang melawan ratusan benda terbang asing yang memenuhi langit di atasnya.
Alien.