"Apa-apaan itu?"
Satu kalimat penuh tanya yang diucapkan Marnie sejak sepuluh menit yang lalu – mungkin, karena tidak ada jam di sana – masih juga belum dijawab oleh Riku. Lelaki berseragam coklat khas pasukan masa penjajahan itu bahkan tidak menoleh padanya.
Marnie yang kini sudah kembali pada tubuhnya sendiri, dengan piyama motif bunga matahari dan jaket tipis warna hijau. Dia sangat senang karena tidak lagi basah oleh hujan langit merah yang luntur. Tapi, semua itu rasanya bukan apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang baru saja terjadi padanya.
"Hei, mau sampai kapan kau mengabaikanku?"
Yang diprotes masih belum mau memberikan perhatiannya.
Riku bersandar pada dinding lorong rumah sakit, ah, maksudnya labirin. Labirin Dunia, begitu si tentara Jepang ini menyebutnya. Raut wajahnya menunjukkan kebingungan. Kedua mata gelap itu terkunci pada pergelangan tangan kirinya. Tepat di mana sebuah deretan tiga angka nol terukir di kulitnya.
"Eh?" Marnie mendekat, hingga bahunya bersentuhan dengan si tentara Jepang. "Kok ada angka satunya, sekarang?"
Saat itulah Riku seolah sadar ada orang lain di sampingnya. Dia mengerjapkan kedua mata. Kerutan di antara kedua alisnya semakin menambah kesan bahwa dia pun kebingungan dengan perubahan situasi ini.
Tapi, bukan itu yang pertama kali disuarakannya.
"Kau masih di sini?"
Seolah dia ingin menutupi sesuatu.
"Kenapa? Tidak suka?" Marnie membalik respons Riku padanya tadi di atas reruntuhan jalan tol.
"Kau harus kembali ke duniamu."
"Setuju. Aku harus menemukan ruang operasi ibuku," kalimat Marnie ini mengandung sebuah kesedihan yang cukup kentara. Meski begitu, Riku tidak mempermasalahkan hal itu. Sesuatu yang membuat Marnie lega untuk sesaat.
"Bukan dunia yang itu," sergah Riku setelahnya. "Maksudku dunia hukumanmu. Kau harus masuk kembali ke pintumu di labirin ini."
"Kenapa bahas itu lagi, sih?"
Rku menyilangkan tangannya di depan dada. Tatapan jengkel di wajahnya yang tampan bagi orang yang selera memandang aktor Jepang. Sebagai catatan, Marnie bukan penggemar film atau drama Jepang. Jadi, ketampanan Riku di sini berefek nihil. Dia bukan selera Marnie.
"Kau yakin ingin terus di sini?"
"Tentu saja tidak. Berapa kali harus ku ulang? Aku ingin kembali ke duniaku, di mana aku masih hidup, dan ibuku sedang di operasi di rumah sakit. Aku harus kembali ke sana."
"Caranya?" Riku menaikkan alis, menantang. "Mau kembali ke sana sebagai hantu gentayangan?"
Marnie mundur satu langkah. Memisahkan jarak mereka yang tidak disadari kalau terlalu dekat. "Maksudmu, hantu gentayangan itu ada? Mereka orang-orang yang kabur dari Labirin Dunia ini?"
"Anggap saja begitu."
"Tapi itu kan kalau sudah mati." Marnie tetap bersikeras. "Aku belum mati."
Riku memijat keningnya dengan tangan kiri. Kembali menampilkan tato yang tadi berupa '000' namun sekarang telah menjadi '001' dengan tidak sengaja. "Tidak ada manusia hidup yang bisa datang kemari."
"Tahu dari mana?"
"Karena itu tidak mungkin terjadi. Tidak pernah ada hal semacam itu."
"Hei, kau tidak tahu pepatah, 'selalu ada yang pertama' seumur hidupmu?"
Tentara Jepang itu mendecih. "Kalau memang iya kau manusia hidup pertama yang bisa masuk ke Labirin Dunia, apa buktinya?"
Jika Riku mengira Marnie tidak akan bisa menjawab pertanyaan ini, maka dia salah besar.
Dengan senyum congkak, perempuan berpiyama motif matahari itu mengangkat jarinya. "Satu, aku yakin aku belum mati."
Tapi langsung disahut dengan, "Mungkin kau terlalu idiot untuk membedakan hidup dan mati."
Marnie membuka mulutnya untuk menyanggah, tetapi diurungka. Hal itu hanya akan memperpanjang debat mereka tanpa menyelesaikan masalah. Dia mengangkat satu jari lagi. "Dua, aku bisa keluar dari duniaku, dan masuk ke pintu dunia orang lain."
Yang kembali disahut Riku dengan, "Kau harus kembali ke pintu duniamu."
Tidak ingin menyahut. Marnie melanjutkan argumennya. "Tiga, Iskan tahu aku bisa membantunya, padahal dia tidak pernah menganggapmu ada. Sekalinya dia melihatmu, dia melupakanmu."
Riku terdiam mendengarnya.
"Bukankah itu cukup untuk membuatmu sadar bahwa aku ini sebenarnya masih hidup?"
"Bukti itu tidak terlalu relevan." Rupanya Riku sungguh keras kepala.
"Kalau begitu, bawa aku ke atasanmu dan tanyakan apa pendapatnya. Aku yakin, atasanmu akan setuju denganku."
Dan saat itulah Riku benar-benar tertawa. Suaranya tidak terlalu kencang. Sedikit meninggi. Terdengar aneh di telinga Marnie. Misal situasi ini tidak begitu serius bagi Marnie, maka dia akan ikut tertawa dengannya. Saking lucunya suara tawa Riku yang probabilitas penularannya sungguh tinggi.
"Atasanku?" Riku mengulang dengan caranya yang merendahkan. Sisa-sisa tawa itu kemudian mereda. Hilang. Digantikan dengan nada dingin dari kalimatnya. "Seorang pendosa sepertimu, mau bertemu dengan Semesta?"
"Semesta?"
"Mungkin kau menyebutnya dengan nama 'Tuhan' tapi hanya ada Semesta di sini. Dan kau," telunjuknya mengarah pada Marnie, "Tidak pantas bertemu dengan Semesta."
Itu masuk akal.
Untungnya, Marnie belum kehabisan ide.
"Lalu, bagaimana dengan agen-agen yang lain? Ada banyak, bukan? Ayo temui dan dengar bagaimana pendapat mereka. Salah satu di antara kalian pasti tahu kalau aku belum mati."
"Kau yakin mau menemui mereka?"
"Iya. Kenapa?"
"Kuberitahu sesuatu." Riku memulai, tidak menunjukkan bahwa dia sedang bermain-main. "Ada tiga aturan yang harus dipatuhi oleh semua agen Labirin Dunia. Satu, semua agen harus membebaskan seribu jiwa bersalah dari Labirin Dunia. Dua, semua agen tidak boleh mengeluarkan jiwa bersalah dari Labirin Dunia. Tiga, semua agen harus menangkap kembali jiwa yang kabur dari Labirin Dunia."
Marnie mendengarnya dengan seksama. Otaknya langsung berpikir cepat, di mana dia harus memposisikan diri dalam tiga aturan yang baru saja diumumkan Riku. "Jadi–"
"Kau akan langsung dijebloskan ke pintu duniamu lagi jika ada agen Labirin yang tahu," Riku menyimpulkan.
Meneguk ludah dengan susah payah, kedua mata Marnie membelalak lebar hingga seperti mau copot. Dia tidak tahu apa ketiga aturan yang diberitahukan oleh Riku tersebut benar atau tidak. Tapi, "Apa aku bisa mempercayaimu?"
"Kalau kau pintar, kau tidak akan menemui agen lain dan bertanya mengenai status kematianmu." Riku tersenyum sinis. "Aku bukan satu-satunya orang yang tidak keberatan mengayunkan pedang untuk bersenang-senang."
Ancaman itu terdengar nyata. Bagai fakta yang tidak bisa dipungkiri. Bahkan setelah Marnie terdiam dan berusaha keras mencari celah sekali pun, dia tidak bisa membantah.
Menebas leher orang bukanlah hal berat bagi Riku. Dari seragam pasukan zaman penjajahan yang dikenakannya, sudah jelas Riu bukan tentara yang takut melukai orang lain. Katana yang selalu dibawanya pun masih terasah tajam, bisa dilihat dari pantulan cahaya ketika dia menghunusnya.
Dia benar. Menemui agen lain untuk bertanya apakah dia memang sudah mati terasa terlalu beresiko. Tapi, kenapa dia harus mempercayai Riku?
"Lalu kenapa kau tidak mengeluarkan pedangmu sekarang? Kenapa tidak memenggal kepalaku dan membuangku ke pintu dunia itu jika memang tiga aturan tadi benar adanya?" Dia tetap berpikir kritis. "Bagiku, kau terlihat seperti seseorang yang membutuhkan bantuanku."
Hening sesaat. Lalu Riku mengunci pandang dengannya. Intens, hanya itu yang terpikir di kepala Marnie. Dia menolak untuk mengalihkan pandangannya terlebih dulu. Saat itulah si tentara Jepang yang sebelumnya memburu Marnie dengan katana tajam mendecih tidak suka.
"Ah," Marnie sedikit mendongak untuk menatapnya, "Kau membutuhkan bantuanku."
Marnie tahu ini dengan pasti.
"Kau membutuhkanku untuk membantumu membebaskan jiwa bersalah dari dunianya."
Riku tidak memberinya banyak waktu untuk bersenang dan berlagak seolah mempunyai keuntungan lebih. "Ingat, tidak ada agen yang boleh mengeluarkan jiwa bersalah dari Labirin Dunia. Tidak ada."
"Kecuali kau?"
"Apa kita sepakat?"
"Bagaimana kalau kau juga berbohong mengenai itu?"
"Hei," Riku kembali menyentil dahinya sebelum Marnie sempat menghindar, "Hanya aku pilihan yang kau punya."
Marnie mengusap dahinya dengan jengkel. "Baiklah. Kau akan membantuku keluar dari labirin ini."
Riku menyeringai, "Dan kau akan membantuku membebaskan seribu jiwa dari labirin ini."
"Eh, tunggu! Seribu? Kau pikir aku keturunan jin yang mau membangun seribu candi untuk pangeran bucin dalam semalam?"
"Lalu berapa?"
"Satu."
Dahi Marnie kembali menjadi korban sentilan jari Riku.