Marion mondar-mandir di ruangan pribadinya. Masih berusaha menelaah apa yang baru saja terjadi dalam hidupnya. Kini kehidupannya seperti jungkir balik. Ia yang hanya pegawai biasa di perusahaan fashion itu kini bisa dibilang sudah naik jabatan.
Katakan saja demikian. Namun, hal yang seharusnya membuat Marion bangga, justru membuatnya tak bersemangat.
"Naik jabatan apanya? Kalau aku hanya berurusan dengan William Reynz seorang, dan tidak diperbolehkan untuk menjalin komunikasi dengan pegawai lain untuk waktu yang tidak bisa ditentukan, itu sama saja dengan penyiksaan. Dan jangan lupa, ada banyak aturan dan pasal di bawah pasal. Luar biasa!" gerutunya seorang diri.
Ia masih mondar-mandir, gelisah, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Jika ia kabur dari tempat itu, tentu saja tak bisa. Hidupnya selama ini bergantung dari pekerjaan yang ia lakoni beberapa tahun terakhir. Ia hanya tak menyangka kalau pekerjaannya kali ini terkesan konyol dan tak masuk akal.
Selain itu, jangan lupakan pengawal William yang tampak garang. Sepertinya, ke mana pun ia pergi, mereka akan dengan mudah menemukannya. Tak hanya karena kemampuan fisik dan kecerdasan, melainkan juga kemampuan William secara finansial yang membuat segalanya mudah bagi pria itu.
Marion tak bisa alihkan pikirannya dari surat kontrak itu. Apa sebenarnya tujuan dirinya diperkerjakan sebagai asisten pribadi? Dan apa tugas asisten pribadi? Apakah harus melayani William dalam tanda kutip, untuk hal-hal yang tabu atau ....
Sungguh pikiran-pikiran liar ini membuat Marion frustasi. Ia mengacak-acak rambut panjangnya, tak pedulikan sudah seperti apa tampangnya sekarang. Apalagi jika nanti William melihat penampilannya yang sudah mirip gadis tidak waras, mungkin saja ia akan bebas dari tugas tak masuk akal ini.
Seperti apa yang ada dalam harapan Marion, William merangsek masuk ke ruangannya melalui connecting door dan langsung menuju ke meja gadis itu.
Gadis itu terjingkat saat melihat kedatangan bosnya yang tiba-tiba.
"God! Tuan Reynz, tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu? Kau membuatku—"
"Apakah kau lupa siapa aku, hingga berani memerintahku untuk mengetuk pintu, Marion?"
Oh ... ia mulai berubah memanggil Marion dengan nama depannya. Apakah itu berarti pria ini mulai akan bersikap normal dan tidak ketus lagi pada gadis itu?
"M-maaf, Pak. Apa yang bisa kubantu?" tanya Marion, mengalah. Karena ia sendiri tidak berminat untuk ribut dengan atasannya itu.
"Ahem ... uhm ... aku ingin ...."
Sungguh, William ingin sekali mengumpat dan meloloskan sumpah serapah atas kegagapannya kali ini. Hey! Dia adalah William Reynz seorang pemimpin sekaligus pemilik perusahaan fashion ternama—salah satu dari beberapa yang ternama, juga merupakan pimpinan yang tangguh dari kelompok terkuat. Menjadi gagap hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
Beruntung, tak ada anggota pack-nya di ruangan ini.
Marion menanti bosnya mengutarakan padanya apa yang ia butuhkan, tetapi menunggu sekian lama dan William tak juga membuka pembicaraan mengenai tujuan kedatangannya, membuat Marion terpaksa harus buka suara lagi.
"Pak? Apakah mungkin Anda mau kopi?" tanya Marion lagi, berbasa-basi sekaligus memancing William agar ia segera mengatakan keinginannya. Ia sudah cukup sabar menunggu, dan bukankah seharusnya ini sudah jam makan siang? Ia ada janji dengan Shana untuk makan siang berdua, jika ia tidak memberi kabar, gadis itu pasti akan marah padanya.
"Uhm ... tidak, bukan itu. Aku kemari ingin menanyakan ... perihal kontrak tadi. Ya, itu yang ingin kutanyakan."
Benarkah?
"Ah ... itu? Maaf, Pak. Aku belum menanda tangani apa pun. Lagi pula, bukankah tadi Anda bilang aku harus menyerahkannya sendiri ketika sudah kutanda tangani? Mengapa Anda repot mengambilnya kemari?"
Sudahlah ... Marion berani jamin, ini hanya alasan William untuk memberi tugas lain padanya. Entah apa. Bukankah ia asisten pribadi? Dan ... apa tadi kerja asisten pribadi? Melayani. Ya, tentu saja. Apakah itu maksudnya juga melayani dalam hal makanan, pakaian, dan ....
"Marion!? Kau tidak mendengarkanku?" Suara bariton itu terdengar mengejutkan bagi Marion yang angannya sempat melayang entah ke mana.
"Oh, Tuhan! M-maaf, Pak. Aku melamun sesaat. Apa yang Anda tanyakan?" tanya Marion, berusaha mengusir berbagai pikiran di kepalanya tentang William.
Tentang postur tubuh dan paras rupawan bak dewa Yunani, yang selalu sukses membuat Marion kesusahan menelan salivanya sendiri, bahkan untuk sekedar menghirup oksigen untuk mengisi rongga dadanya.
Tentang peristiwa pertemuan mereka yang mengundang tanya di rongga kepala Marion, serta kelanjutan dari kejadian itu. Mungkinkan pria ini yang telah meniduri dan beruntung mendapatkan keperawanannya?
Tidak! Semoga saja tidak!
"Aku bukan bertanya, melainkan memberi perintah agar kau bersiap sekarang juga."
Marion ternganga. "K-kita mau ke mana, Pak?"
"Kau akan menemaniku makan siang. Bersiaplah sekarang, aku tunggu kau di ruanganku."
Marion mengerjap seiring dengan menghilangnya pria bertubuh tegap itu di balik pintu kaca penghubung ruangan mereka. Jadi maksudnya, janji antara Marion dan Shana sudah bisa dipastikan gagal? Atau ... bolehkah jika ia mengajak Shana untuk ikut bergabung bersama dirinya dan William?
Marion tak bisa membiarkan pria itu bersikap seenaknya. Ia mengejar langkah William dan masuk ke ruangannya.
"Kau sudah siap? Cepat sekali."
"Tidak. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu. Anda tidak bilang padaku bahwa menemani Anda makan siang juga merupakan tugas seorang asisten, kan? Dan ... aku ada janji dengan temanku untuk makan siang bersama, jika aku ikut dengan Anda, itu artinya—"
William menoleh dan melemparkan tatapan dingin pada Marion. Sungguh berbeda dengan William yang beberapa menit lalu masuk ke ruangannya. Apakah ia memiliki kepribadian ganda?
"Apakah aku bertanya pendapatmu? Atau ... apakah aku memberimu opsi?"
Marion menggeleng.
"Jadi kau mengerti, kan, apa yang harus kau lakukan? Jika kau sudah siap sekarang, kita berangkat."
Marion mengangguk patuh, tetapi masih dengan wajah bingung. Ia tak menyangka begitu rumitnya bekerja pada pria ini. Pria angkuh yang terlalu menawan hingga bisa menghipnotis dirinya dengan segala pesona yang mungkin tidak disadari oleh pria itu.
Juga tak disadari oleh Marion bahwa dirinya kini tengah terhipnotis, tenggelam, hanyut ... atau kalimat lain yang cocok untuk mendeskripsikan apa yang terjadi sekarang antara Marion dan William.
Sadarkah pria itu kalau dirinya terlalu menawan dan memesona?
Namun, patuhnya Marion kali ini bukan lantaran terpesona atas apa yang dimiliki pria itu, melainkan karena ia sendiri bingung mengapa dirinya begitu sial harus masuk dalam lingkaran William Reynz yang membuatnya tak bisa berkutik. Dan setelah ini, lalu apa lagi?
Masih adakah hal aneh yang disimpan oleh pria itu, yang pada akhirnya harus ia ketahui dan ia kenali?
Marion mengekor langkah William keluar dari ruangannya, melihat Leah yang duduk di mejanya, lantas bangun dan membungkuk kala William dan Marion melewatinya. Tak hanya Leah, melainkan para bodyguard dan pegawai lain.
Tampaknya semua pegawai di lantai ini mengenal William. Namun, mengapa divisi tempatnya bekerja tak ada yang pernah membicarakan pria ini, selain hal-hal aneh yang bahkan belum terbukti di mata Marion?
***
Marion hanya pasrah dan duduk layaknya anak manis saat hanya berdua di dalam mobil bersama William. Beberapa kali mencuri pandang ke arah pria di sampingnya, Marion berusaha bersikap biasa saja. Padahal kini jantungnya berdetak tak karuan.
Nyaris mencelus, keluar dari kerongkongannya.
Terlebih saat mobil yang dikemudikan oleh William bergerak ke arah jalan yang dikelilingi hutan di samping kanan dan kiri.
"K-kita mau ke mana, Pak?" tanya Marion, kali ini tak mampu menahan kegugupannya. Sementara William masih memusatkan perhatian pada jalanan di hadapannya. Lengang dan membuat bulu kuduk Marion bergidik sesaat.
"Tuan Reynz! Kita mau ke mana?"
Ini entah ke berapa kali Marion bertanya, dan tak ada satu pun jawaban keluar dari mulut pria itu. Hal itu tentu saja membuat Marion semakin meremang.
"T-tuan Reynz ...." Kali ini Marion sungguh merasa takut. Apa yang dibicarakan oleh beberapa pegawai mengenai asisten pribadi yang menghilang secara misterius, dan apa yang tengah ia hadapi saat ini, sungguh sangat berkaitan.
Apakah William akan menghabisinya? Memakannya? Atau sebagai tumbal untuk persembahan demi mempertahankan ketampanannya?