Chereads / Fated Baby of The Alpha / Chapter 11 - The Jerk CEO and a Privilege Girl

Chapter 11 - The Jerk CEO and a Privilege Girl

Marion sungguh menyesal telah bersedia menemui William, karena hampir satu jam berlalu dan tak ada satu pun kalimat yang diucapkan oleh pria itu.

Tentu saja, William tak ingin mengucapkan apa pun. Ia ingin membaca sendiri jalan pikiran gadis itu, tetapi sayangnya ia tak mampu menerawang apa yang tengah dipikirkan oleh Marion. Ini kali pertama terjadi, biasanya ia pasti sudah bisa menebak apa saja yang dipikirkan oleh orang yang berada di dekatnya.

Ini sungguh aneh.

"Apa sebenarnya yang ingin Anda bicarakan, Tuan Reynz, katakan saja. Kau tidak ingin waktumu terbuang percuma, bukan?" todong Marion, yang mulai tak sabar dengan kebungkaman William saat ini.

Bukannya bicara, pria itu justru menyodorkan surat kontrak yang sama, yang Marion menduga pastilah berisi poin yang sama sekali tidak ia revisi.

"Apa ini?" Pertanyaan bodoh begitu saja meluncur dari lidah Marion, padahal ia sudah tahu apa saja yang tertulis di atas kertas-kertas itu.

"Surat kontrak tempo hari, tentu saja."

Marion berdecap kesal. "Tuan Reynz, apa sebenarnya tujuan Anda? Bukankah kau bisa dengan mudah mendapatkan penggantiku? Kenapa harus aku?"

William tampak tak ingin menurunkan egonya yang jelas terbaca oleh Marion. Ia justru makin meninggi, dengan tujuan agar Marion merasa terintimidasi. Sayangnya, apa yang dilakukan William hanyalah usaha yang sia-sia.

"Kau ingin tahu jawabannya?"

Marion mengangguk.

"Satu, aku telah memilihmu. Dua, aku tidak suka penolakan. Tiga, meski kau tidak menanda tangani surat itu, kau sudah terdata sebagai asistenku, maka kembalilah bekerja!"

Mendengar penjelasan William yang terdengar memaksa, Marion bangkit dari tempatnya. Menatap tajam pada pria yang kini ikuti apa yang ia lakukan. Ia berdiri dan berhadapan dengan gadis itu.

"Jika memang kontrak ini tidak dibutuhkan, lantas mengapa kau datang dan membawa ke hadapanku? Pergilah! Aku sudah katakan kalau aku tidak akan kembali."

Mendengar jawaban yang terlontar dari mulut si gadis keras kepala itu, William hanya menghela napas, menahan rasa kesal yang mulai menyergap hatinya. Ia sudah kehilangan akal untuk membawa Marion kembali bekerja.

Entah apakah caranya yang salah, atau memang gadis itu yang kepala batu, sehingga tak lagi pedulikan permohonan William.

Meski memang, apa yang dikatakan William sama sekali tidak terdengar seperti sebuah permohonan melainkan dengan sengaja menunjukkan kuasanya agar bisa memeras rasa hormat Marion. Namun, seharusnya Marion tidak bersikap demikian terhadapnya, bukan?

Gadis itu sungguh berani.

Ange benar, gadis ini berbeda dari wanita kebanyakan yang pernah ia kenal, yang akan menggeliat dan menempel padanya seperti seekor ulat di dedaunan, berharap William akan merobek pakaian mereka dan membuat mereka meneriakkan kenikmatan yang ia berikan.

Marion sama sekali tidak seperti itu. Justru William-lah yang seolah ingin terus menempel pada Marion karena aroma gadis itu terlalu menggoda baginya.

"Baiklah ... aku minta maaf jika kau jadi salah paham atas ini semua. Tapi kumohon, Marion, kembalilah bekerja. Kau tidak akan tahu seperti apa pekerjaan ini jika belum menjalaninya, kan?" Kali ini, barulah terdengar sebuah permohonan yang diucapkan oleh William. Entah apakah dengan kerelaan atau tidak.

Namun, sepertinya itu sudah cukup berhasil membuat Marion berpikir.

"Marion ...."

Marion merasa bimbang dengan kondisinya saat ini. Apa yang ditawarkan oleh William—mengenai pekerjaan, tawaran gaji, fasilitas dan lainnya, jelas menggiurkan. Dan jika benar bahwa pekerjaan itu tidak seburuk apa yang ia pikirkan, maka bukankah akan rugi baginya jika ia melepaskannya?

Bukankah jelas, ada pasal yang menyebutkan bahwa tidak boleh ada kontak fisik kecuali atas kerelaan bersama?

Namun, bagaimana dengan pasal dan poin lain?

Bagaimana dengan poin yang mengesankan bahwa dirinya akan seperti wanita simpanan William?

Bagaimana?

Apakah Marion siap dengan itu semua?

Marion menggeleng keras. Ia bahkan tak berani membayangkan William akan sebejat itu. Sungguh, tampilan pria yang sepuluh tahun lebih tua darinya itu memang layak jika disebut don juan. Apa lagi jika tahu bagaimana gayanya di pesta yang ia adakan setiap tanggal 14 atau 15—ia dan sahabat-sahabatnya akan berkumpul, minum, memilih gadis mana pun yang mereka kehendaki, lalu meniduri mereka dengan cara yang mereka inginkan—membuat bulu kuduk Marion meremang.

Seolah dunia ada dalam genggaman pria itu.

Namun, itu semua adalah apa yang ia dengar dari mulut ke mulut.

Hal itu yang terkadang membuat Marion muak. Meski memang tak ada yang secara langsung melihat William, entah karena pria itu yang tak ingin menunjukkan diri atau memang mereka saja yang tak terlalu update mengenai bosnya itu, tetapi berita yang mereka dengar nyatanya berhasil mempengaruhi perspektif Marion tentang pria itu.

"Lagi pula, kau berhutang maaf padaku, kan? Kau sudah muntah di pakaianku saat itu."

Ucapan William sukses membuka kembali ingatan Marion tentang kejadian yang sekaligus membawa memorinya pada malam panas antara dirinya dan seorang pria yang tidak ia kenal, hingga saat ini.

Lagi ... ingatan itu.

"Uhm ... itu ... maafkan aku, Pak. Anda tahu sendiri saat itu aku sedang mabuk berat, kan? Dan aku sudah minta maaf, bukan?"

Memang, bahkan Marion sudah memberikan banyak hal sebagai bentuk permohonan maafnya. Namun, masalahnya kali ini William tak ingin melepaskan Marion begitu saja.

Lebih tepatnya tak bisa.

Ada banyak hal yang tak hanya menghampiri ingatan Marion, tetapi juga William beberapa hari sejak Marion menghilang dari kantor.

Mengenai alasan ia menerima Marion tanpa seleksi, karena memang sejak awal ia sudah tahu bahwa gadis itu yang terpilih sebagai kandidat untuk posisi yang ia tawarkan.

William bisa melihat apa yang akan terjadi, meski ternyata ia gagal membaca isi kepala gadis itu.

Mengenai malam panas mereka yang sesungguhnya tak bisa ia lupakan.

Mengenai betapa menggodanya aroma tubuh Marion serta pengaruhnya bagi William yang hingga kini tak bisa hilang. Meski ia tak ingin akui itu di hadapan Marion tetapi ia tak bisa menyangkal hatinya.

Mengenai banyak hal lainnya.

Bahkan andaikan mereka tidak bersitegang seperti sekarang, William berani jamin kalau dirinya pasti akan menerkam Marion dan menyalurkan hasratnya pada gadis itu. Saat ini juga.

Hal itu adalah godaan luar biasa baginya. Dan menahan diri untuk tidak menyentuh gadis itu membutuhkan usaha yang sama luar biasa.

"Aku sudah memaafkanmu, tetapi bukan berarti kau boleh bebas begitu saja. Aku bukan lelaki yang mudah melepaskan masalah seolah tak pernah terjadi," imbuh William di sela angannya dan Marion yang menanti kalimat lain darinya.

"Kau kejam!"

"Terserah. Kau tinggal pilih, kembali bekerja, atau aku akan terus mengusik kehidupanmu hingga kau tak akan pernah merasa tenang."

Marion menatap William dengan tatapan nyalang. Ia tak menyangka pria di hadapannya ini sebengis dan sekejam ini terhadapnya.

"Apakah kau juga melakukan hal ini pada wanita lain?" tanya gadis itu. William tak langsung menjawab, melainkan mengambil beberapa langkah mendekat pada Marion.

"Tidakkah aku mengatakan bahwa aku tipe pemilih? Tidak semua wanita bisa mendapatkan tempatmu, atau mendapat perlakuan sepertimu." Pria itu menjeda kalimatnya, menatap iris hazel milik Marion. "Anggap saja ini merupakan privilege yang hanya kuberikan padamu. Kembalilah bekerja. Kutunggu kau besok."

Pria itu tak lagi menunggu Marion mengiyakan atau bahkan menyanggah permintaannya. Ia memutar tubuh, lalu meninggalkan Marion dengan kecamuk yang menggaruk-garuk hatinya.

Segala umpatan dan sumpah serapah ia lontarkan dan loloskan dari lidahnya demi memuaskan rasa kesal yang sudah menghantuinya sejak awal pertemuannya dengan pria itu.

Namun, tak hanya William yang merasakan dorongan aneh dalam dirinya, Marion pun merasakan hal yang sama tiap kali berada di dekat William. Tak ada seorang pun yang pernah memberinya sensasi perasaan seperti yang ia rasakan saat ini.

Marion berusaha mengusir apa pun pikiran yang muncul. Ini bukan saat yang tepat untuk menganggap rasa itu sebagai sebuah ketertarikan, karena nyatanya ia masih menyimpan kemarahan terhadap pria itu dan juga rasa muak, hingga rasanya enggan bertemu. Namun, mungkin harus, meski dengan segala keterpaksaan.

Anggap saja ini demi pengobatan ayahnya.

Marion menatap punggung William yang bergerak menjauh. Meski ia telah hilang dari pandangan Marion, aura keangkuhan dan dominasi pria itu seolah tertinggal dan mengelilingi Marion saat ini, membuatnya merasakan debaran aneh yang membuatnya tak nyaman.

F*ck you, Jerk CEO!