Chereads / Fated Baby of The Alpha / Chapter 16 - Deja Vu

Chapter 16 - Deja Vu

Marion tak dapat menahan diri untuk tidak berkedip. Ia merasa apa yang dilihat di depan matanya ini sangat sayang untuk dilewatkan. Berkedip sebentar saja akan merusak momennya.

Momen menikmati kerupawanan makhluk di hadapannya.

"Bagaimana kabarmu? Apakah London membuatmu lupa pada sahabatmu sampai kau tak pernah memberi kabar setahun ini, huh?" tanya William, kemudian memberi isyarat pada Drake untuk duduk.

Pria itu memilih untuk merebahkan bokongnya di samping Marion ketimbang William.

Drake menoleh sekilas pada Marion. Inginnya hanya sekilas, tetapi ketika manik biru itu bertemu dengan manik hazel milik Marion, waktu seolah berhenti untuk Drake.

Seketika, baik pria itu maupun Marion mengalami hal semacam deja vu. Seolah mereka pernah bertemu sebelumnya.

"Hai ... apakah kita pernah bertemu? Aku seperti mengenalmu," ucap Drake tiba-tiba, yang tentu saja membuat Marion makin membeku.

Kekakuan tak hanya dirasakan oleh Marion melainkan juga William yang sejak tadi memerhatikan interaksi antara sahabat dan asistennya itu. Tentu saja dengan tatapan tak suka.

"Apakah kalian saling mengenal?" tanya William yang seolah dapat membaca tingkah dua makhluk yang duduk di seberang mejanya.

Marion masih terpaku, tak mampu menjawab pertanyaan William karena ia kini mungkin berada di dimensi lain, atau tengah masuk dalam pengaruh sihir pesona Drake Wilmer yang rupawan.

Drake menoleh pada William. "Dia ... seorang pure blood?" tanyanya, dengan istilah yang lebih mudah dipahami oleh William, tetapi tak akan diketahui maknanya oleh Marion. Terlebih gadis itu sekarang masih mematung menatap pria menawan di hadapannya.

"Apakah ia mangsamu selanjutnya?" tanya Drake lagi, separuh bercanda.

Kali ini, Marion mengerjap, tersadar dari sihir sesaat yang sempat menghanyutkannya. Ia sekarang sudah sepenuhnya sadar, menoleh pada William dan Drake bergantian?

"A-apakah aku boleh pergi sekarang, Tuan Reynz?" tanya Marion. Baginya akan lebih baik jika ia kembali saja ke ruangannya ketimbang mendengarkan percakapan antar dua sahabat yang mungkin akan terganggu dengan kehadirannya.

"Baiklah ... kau bisa kembali ke ruanganmu dan beristirahat. Aku akan memanggil jika nanti membutuhkanmu."

Marion mengangguk kemudian bangkit dan meninggalkan ruangan William. Ia kembali ke ruangannya dan meminta Leah untuk masuk karena ada banyak hal yang tiba-tiba ingin ia ketahui mengenai William. Juga pria bernama Drake itu.

Leah masuk dengan langkah mantap, seolah tak ada yang ia takutkan di dunia ini. Terlebih jika itu hanya sekelas Marion, yang dipilih random oleh William.

Apakah William tidak salah memilih orang untuk menjadi 'asisten pribadinya'?

Oke, Marion sudah katakan, bahwa ia akan menyematkan tanda kutip pada kata asisten pribadi itu karena ia masih belum tahu tujuan William memperkerjakannya. Apakah seperti apa yang tertulis di kontrak, ataukah justru lebih buruk?

Ia bahkan tak bisa lagi berpikiran jernih dan positif.

"Kau memanggilku, Marion?" tanya Leah, seiring langkahnya yang makin dekat ke meja Marion.

Marion sangat suka ketika Leah memanggilnya dengan nama depan saja. Terdengar akrab dan Marion merasakan perjuangan yang sama antara dirinya dan Leah. Membuatnya merasa tidak seorang diri di dunia yang diciptakan William untuknya ini.

"Ya, Leah ... aku hanya ingin mendapat informasi mengenai tuan Reynz. Mengingat pekerjaanku yang ... kau tahu, aku merasa ini terlalu aneh," ucap Marion tanpa ia sembunyikan sedikit pun. Ia percaya bahwa Leah akan menjaga apa pun yang ia ucapkan.

Sementara gadis itu justru tampak mengulum senyum. "Ada apa dengan pekerjaanmu, Marion? Apakah aneh bagimu? Tanyakan saja apa pun, aku akan menjawabnya."

Marion tampak berpikir sejenak, kemudian mulai mengingat kejadian beberapa hari lalu. Tentang hutan, aroma pohon pinus dan sekawanan anjing atau hewan apa pun itu. Namun, untuk mengatakannya ia tampak enggan.

Haruskah ia berterus terang pada Leah mengenai itu?

"Uhm ... apakah kau bisa dipercaya? Maksudku begini, kau bisa saja menutupi semuanya, kan? Jika kau bertujuan untuk tidak menjawab jujur, maka aku tidak akan bertanya."

"Bergantung apa pertanyaanmu, Marion. Jika harus kujawab dan layak untuk dijawab, maka akan kulakukan."

Mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Leah yang jelas menggantung, membuat Marion tidak puas. Tentu saja, Leah bekerja untuk William, maka segalanya mengikuti perintah William. Sementara dirinya? Pada siapa ia bisa bergantung?

"Baiklah ... aku hanya penasaran, jika ada pegawai yang sangat handal sepertimu, terlebih kau sudah cukup lama bekerja pada tuan Reynz, benar? Mengapa pria itu memperkerjakanku sebagai asistennya? Bukankah ia lebih baik mengambilmu saja?"

Marion tentu saja tak mampu menahan rasa ingin tahunya. Terlebih dengan segala keterbatasannya, dibanding Leah yang memiliki pengetahuan melebihi ekspektasi Marion, bisakah gadis itu menyaingi Leah dalam hal kemampuan?

Gadis itu tersenyum. "Bolehkah aku duduk? Sepertinya cerita ini akan panjang."

"Oh, maaf. Aku lupa mempersilakanmu. Duduklah, Leah, anggap tempatmu sendiri."

Gadis itu menyamankan diri di hadapan Marion, gadis biasa yang mungkin memang tidak lebih istimewa darinya. Namun, William telah memilih, maka ia tak bisa berbuat apa pun, karena dirinya sendiri memiliki tugas yang cukup jelas. Menjadi asisten Marion yang otomatis bertugas menjaganya juga. Karena apa yang diperintahkan padanya tiba-tiba berubah sejak beberapa hari lalu.

"Tuan Reynz sejak awal memang memperkerjakanku bukan untuk menjadi asistennya, Marion. Kau pernah mendengar sesuatu mengenai kasta?"

Marion tampak berpikir. "Tentu saja. Aku sering mendengar hal itu. Bukankah aturan itu berlaku di India, benar, kan? Tapi apa hubungannya denganmu?"

"Karena kastaku adalah sebagai pelayan. Sederhananya begitu. Dan kau ... bagaimana pun telah dipilih oleh tuan Reynz untuk dirinya, maka jika dilihat dari sudut pandang kasta tadi, kau memiliki tempat di atasku. Apakah dari sini sudah cukup jelas bagimu? Atau ...."

"Tidak, tidak. Ini cukup jelas, meski banyak hal yang tidak kumengerti."

"Kau bisa tanyakan padaku jika memang kau membutuhkan yang lain. Tapi, Marion ... ada hal yang mungkin tak kau pahami dan tidak dijelaskan secara gamblang di sini. Sungguh ini bukan karena kami ingin menipumu. Kau akan memahaminya secara perlahan. Jika memang kau adalah yang terpilih, kau akan tahu nantinya."

Leah mengulas senyum hangat, membuat rasa ragu yang semula menyelinap dalam benak Marion, kini pupus sudah. Senyum itu, bahkan lebih tulus dari apa yang pernah ia lihat sebelumnya.

"Sesungguhnya masih banyak hal, Leah ... tetapi entah mengapa aku kesulitan untuk memulainya. Apakah kau tidak keberatan jika kita berbincang lagi lain waktu?" tanya Marion, memastikan bahwa apa yang ia dan Leah lakukan sejak tadi tidak akan membebani pekerjaan dan menyita waktu gadis itu.

Leah menggeleng. "Tentu saja Marion. Itu memang tugasku, memberi pemahaman dan pengertian padamu mengenai semua ini. Tapi, mungkin tidak akan gamblang, atau jika kau berharap aku memberi banyak informasi, kau tak akan dapatkan itu. Aku akan sampaikan secara perlahan. Apakah itu tak akan masalah bagimu?"

Marion menjawab pertanyaan Leah dengan anggukan, sebagai bentuk kesadarannya bahwa memang informasi apa pun yang ingin ia dengar tak akan pernah mungkin ia dapatkan secara instan.

Ia bahkan baru beberapa hari bekerja sebagai asisten William Reynz. Dan ... pria menawan itu, siapa dia?

Marion seolah tak asing dengan tampilannya. Wajahnya, bahkan gerak tubuhnya, seolah ia pernah menyaksikan itu berkali-kali. Apakah lagi-lagi ia sedang berkhayal? Sama seperti kejadian di hutan—yang sesungguhnya bukan khayalan—yang hingga kini mengganggu pikirannya?

Drake Wilmer ... bahkan menyebut namanya seolah menerbitkan rasa lain yang tak bisa ia jelaskan. Sama seperti ketika pertama kali ia bertemu William.

Tidak ... ini sungguh jauh berbeda dibanding saat dengan William. Apa yang terjadi dengan dirinya? Apakah ia masih normal dan baik-baik saja?