William terbangun dari tidurnya secara tiba-tiba. Ada rasa panas terbakar menyelubunginya. Tak hanya itu, tubuhnya pun mengeluarkan suhu yang panas.
Apakah ia sedang mengalami demam? Atau penyakit cemburu?
Ah! Mustahil ia cemburu. Sudah jelas bahwa ia tak menyimpan rasa yang berarti terhadap Marion. Meski ia tak menyukai rencana Drake untuk mendekati gadis itu, tetapi, ayolah ... mana mungkin perasaan itu bisa dikatakan cemburu?
William bangkit dari ranjangnya. Berjalan sempoyongan seperti reaksi pasca menenggak puluhan botol minuman beralkohol. Tak ada satu jenis pun alkohol yang bisa membuatnya mabuk, tetapi ini ... seperti inikah rasanya mabuk?
Baru melangkah beberapa jauh dari ranjang, tubuhnya limbung dan tak dapat dielakkan, ia jatuh tersuruk dan membentur lantai marmer di bawah kakinya.
Ia mengerang kesakitan. Sungguh kesialan bertubi. Haruskah ia membolos bekerja hari ini? Apa kata orang jika tahu bahwa dirinya sakit tanpa alasan. Terlebih ia tak pernah sakit seperti ini selama hidupnya. Mungkin benar, dan ia hanya perlu mengakui bahwa dirinya memang sedang cemburu.
Sudahlah ....
William mengambil ponselnya, kemudian menekan beberapa nomor di sana, tak ada jawaban selama beberapa menit sebelum akhirnya suara Leah yang menyapa di sana.
"Leah, tolong sampaikan pada Marion kalau hari ini aku tidak bisa masuk bekerja. Berikan padanya berkas yang kuletakkan di atas meja, dan minta ia untuk menyelesaikan hari ini juga," ucapnya parau.
William tak suka berbasa-basi. Terlebih menyampaikan bahwa dirinya sedang sakit. Tidak, tidak. Itu hanya akan menjadi aib baginya.
Ia ingat perkataan mendiang ayahnya dulu, bahwa seorang alfa tak boleh memperlihatkan sisi lemahnya. Apakah sakit adalah salah satu tanda kelemahan?
"Baik, Pak. Apakah Anda membutuhkan hal lain?" tanya Leah, memastikan kembali. Namun, William tak membutuhkan apa pun. Mungkin hanya kehadiran Marion lebih dari cukup baginya untuk saat ini.
Hentikan!
Otaknya mulai tak waras sejak bertemu dengan gadis itu. Ia menjadi lemah, atau mungkin benar, ia agak kurang sehat ... secara psikis.
Karena sejak semalam ia diganggu kehadiran Marion dalam mimpinya. Seolah gadis itu datang dan menemaninya hingga kondisinya kembali pulih.
'Kasihan sekali kau, William! Begitu berharapkah kau pada gadis itu hingga memimpikan hal indah yang mirip seperti dalam kisah roman picisan?' batin William, merutuki dirinya sendiri yang ia rasa mulai mengalami degradasi karakter.
Bukankah ia seorang alfa, pemimpin dari pack terkuat di Eastonville? Mana mungkin ia mengalami kemunduran karakter?
Tidak mungkin.
William kemudian bangkit perlahan. Kembali melangkah untuk meneguk segelas air. Mungkin saja akan bisa mendinginkan suhu tubuhnya.
Oh, iya! Dadanya juga masih terasa berdenyut. Padahal Ange sudah memberikan pereda nyeri. Apakah Ange juga tengah mengalami penurunan kualitas kekuatannya, hingga ramuan yang ia berikan tak memberi efek apa pun pada William?
Pada akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk berbaring sembari menempelkan handuk basah pada keningnya.
Ingin rasanya memejamkan mata, karena tak hanya tubuh dan dadanya yang nyeri dan memanas, tetapi juga matanya. Ada apa dengannya kali ini? Jika benar ia tengah jatuh cinta, apakah jatuh cinta begini menyiksa hingga membuat orang menjadi demam dan tidak waras?
Ia tak mampu terpejam. Bayang-bayang Marion terus saja bermain nakal dalam memorinya. Terlebih sesekali bayangan indah itu justru dinodai oleh kelebat bayangan Drake.
Ia lelah hanya berguling ke kanan dan kiri tanpa bisa terpejam. Berkali-kali batinnya berkata bahwa hati dan tubuhnya penat dan ingin sebentar saja melepaskan segala bebannya. Memejamkan mata sebentar tak akan membuatnya mati, bukan?
***
"Marion, ini tugas dari tuan Reynz untukmu. Dan ia meminta agar kau menyelesaikannya hari ini juga," ucap Leah, saat Marion baru tiba di kantor.
Marion yang disodori tumpukan berkas, hanya mengernyit heran.
"Di mana dia? Tumben sekali ia tidak datang sendiri padaku," gumamnya. Namun, cukup jelas terdengar dari tempat Leah berdiri.
"Sepertinya ia sedang sakit. Aku mendengar suaranya sedikit serak dan ... terbata." Leah melirik ke arah Marion, menanti reaksi gadis yang ternyata hanya menggumam dengan bibir membentuk huruf o panjang. "Marion, kulihat kau datang bersama tuan Wilmer. Apakah kalian sedang ...."
Leah tak mampu menahan rasa penasaran yang sejak kemarin menggelitik hatinya. Ia tak mungkin tidak memerhatikan sahabat dari bosnya yang terus saja mengarahkan pandangannya pada Marion.
Leah tahu benar siapa Drake. Bahkan mengikuti bagaimana sepak terjang sang pemain wanita itu. Apakah Marion yang akan menjadi korban selanjutnya?
"Oh, ya ... aku memang berangkat bersama Drake, tapi kami tidak punya hubungan apa pun. Hanya kebetulan rumah kami searah," jawab Marion, tanpa ragu. Memang benar, kan? Marion bahkan tidak merasakan debaran khusus ketika berada di dekat Drake. Hanya rasanya wajar jika Marion merasa kekaguman yang sesekali mampir dalam batinnya.
Siapa pun yang melihat Drake, tak mungkin tidak ternganga penuh rasa kagum. Atau setidaknya tak mampu alihkan pandangan dari paras dan tampilan yang memanjakan mata siapa pun yang melihatnya.
Mungkin itu pula yang dirasakan oleh Marion. Tidak lebih.
"Tuan Reynz dan tuan Wilmer bersahabat sejak lama. Mereka bahkan sering disebut dinamic duo karena tak terpisahkan. Hingga suatu ketika tuan Wilmer memutuskan untuk pindah ke London dan membangun bisnisnya di sana," terang Leah, tanpa diminta.
Marion hanya mengangguk paham menyimak apa yang diceritakan oleh asistennya itu yang seolah merupakan pembuka dari 'menu utama' yang sebentar lagi akan ia sajikan.
"Dan jika tuan Reynz tahu kalau kau dan tuan Wilmer menjadi dekat ... aku tak tahu apa yang akan dilakukan oleh bosmu itu, Marion." Leah mengatupkan bibir, seolah apa yang harus ia katakan sudah ia ungkapkan seluruhnya. Tinggal bagaimana Marion menanggapi cerita itu.
Apakah gadis itu akan gentar dengan ultimatum yang baru saja diuraikan oleh Leah sebagai penutup cerita karangannya, lalu mulai ambil langkah teratur untuk menjauhi Drake? Ataukah akan tetap maju meski perlahan. Toh dirinya dan William tak memiliki hubungan lain selain hanya bos dan asisten.
"Terima kasih atas keteranganmu, Leah, kau boleh kembali bekerja."
Leah mengangguk patuh, kemudian memutar langkah keluar dari ruangan Marion.
Bohong jika Marion mengatakan bahwa dirinya tak terusik dengan cerita yang baru saja dituturkan oleh Leah. Mengenai Drake dan William serta sedekat apa keduanya. Apakah akan menjadi bencana besar jika ia memilih salah satu di antaranya untuk menjadi kekasih?
Apa? Tidak, tidak!
Pikiran macam apa itu? Mana mungkin Drake atau William memilih gadis biasa seperti dirinya? Bahkan jika dibanding Leah, Marion mungkin masih kalah menawan. Leah sangat cantik dan seksi.
Entah mengapa William tak memilih Leah menjadi asistennya, yang mungkin ... akan lebih serasi dengan pria sekelas William.
Namun, tunggu! Kegelisahan Marion bukan hanya karena kisah tentang William dan Drake, melainkan hal lain. William. Mengapa ia tidak masuk kerja? Apakah benar seperti kata Leah bahwa pria itu sedang tidak sehat? Haruskah Marion datang dan menjenguknya?