Drake melajukan mobilnya membelah malam, meninggalkan kediaman Marion dengan senyum yang tak pudar terulas di wajahnya. Ia bahagia karena bisa merasakan debar itu lagi. Debar yang lama telah menghilang sejak kepergian Eleanor, kekasihnya.
Anggap saja rasa cintanya dulu telah membutakannya, hingga berusaha untuk membangkitkan kembali kekasihnya yang telah meninggal. Namun, yang terjadi bukan kebahagiaan seperti yang ia khayalkan, melainkan justru sebuah kehancuran.
CIITT!!!
Drake menginjak pedal rem secara mendadak. Bayangan tentang Eleanor mendadak berkelebat dalam angannya. Napasnya memburu karena ia nyaris saja menjadi abu jika tidak berhati-hati. Akan tetapi, ada alasan lain yang membenarkan keputusannya menghentikan kendaraan.
Seekor lycan kini tengah berdiri pongah, menghadang tunggangan Drake yang bisa saja ringsek jika ia tidak memutuskan untuk berhenti.
Mungkin dirinya juga bisa saja mati.
Ia tahu siapa yang berada tak jauh dari mobilnya itu. Tatapan buas dengan mata merah yang mengilat, gigi geligi tajam dengan tetesan liur yang membuat Drake bergidik, tetapi di lain kesempatan akan dengan ringannya menjadikan itu semua sebagai bahan lelucon ketika dirinya bersama William.
Drake melongokkan kepala dari jendelanya, tak ada keinginan untuk keluar, ia sedang malas beramah-tamah dengan anjing jelmaan itu—ralat, serigala jelmaan.
"Hey, WILL! Menyingkir dari sana kawan! Aku mau pulang!" pekiknya, berusaha mengusir makhluk itu dari hadapannya. Namun, bukannya pergi, hewan itu justru menerjang dan bertengger di atas kap mesin mobil Drake.
"BRAKK!!!"
"SHIT! HEY! Kau tidak bisa diajak bicara baik-baik, huh? Apakah kau salah makan?" gerutu Drake, yang sekali lagi menyuarakan umpatan lain kala William tiba-tiba sudah berada di samping bangku kemudi.
"FUCK! Will, sialan, kau! Tak bisakah kau tidak muncul tiba-tiba seperti itu, teman? Ada apa denganmu? Kau belum makan?" tanya Drake, berbasa-basi, yang sesungguhnya menunjukkan perhatian terhadap kawannya itu.
"Dari mana kau?" tanya William dengan gaya menginterogasi tak menjawab pertanyaan Drake, William justru balik bertanya. "Kenapa kau dari arah sana?"
Baik William maupun Drake, kini tengah saling bertemu mata, dengan kilat yang berbeda seolah ingin membaca apa yang ada di benak masing-masing. Namun, tak ada apa pun yang mampu mereka baca dari pikiran satu dengan lainnya.
"Memangnya kenapa kalau aku dari arah sana, hm? Apakah kau mengenal jalan itu?" seringai Drake, tanpa niat untuk memancing keributan antara mereka. Namun, William justru mengartikannya berbeda. Drake sudah dapat mengiranya.
Lycan adalah makhluk yang agresif, impulsif, dan posesif. Bisa saja apa yang dilakukan William kali ini adalah untuk mempertahankan sesuatu yang ia anggap miliknya.
Apakah menurutnya, Marion adalah miliknya?
"Hey ... tenang, kawan. Apa yang membuatmu tampak gusar? Apakah karena asistenmu itu? Jangan katakan kalau kau menyukainya."
William membuang tatapan ke luar jendela. Haruskah ia mengakuinya? Ataukah ... menyembunyikannya dari Drake? Bukankah apa yang dilihat Ange sudah jelas? Kini bahkan Drake sudah berusaha mendekati Marion. Lantas bagaimana dengan nasibnya?
"Kau tahu, tak ada seorang wanita pun yang bisa membuat seorang Will Reynz jatuh cinta, jangan lupakan itu!" tegasnya, demi berdalih dari anggapan Drake yang mungkin saja benar. "Aku hanya bertanya, apakah tak boleh?"
Drake mengangkat alisnya, tanda bahwa ia tak terlalu yakin dengan jawaban yang meluncur dari lidah sahabatnya itu. "Baiklah, aku percaya. Berarti aku boleh mendekatinya, kan? Gadis itu terlalu menggoda untuk ditolak."
Mendengar pernyataan Drake, dada William mendadak terasa bergemuruh.
"Apa maksudmu!?" tanya William, sengit.
"Darahnya. Bahkan dari tempatku saat ini, masih terhidu aromanya. Jika kau mau, kita bisa membagi. Kau memakan dagingnya, aku darahnya. Bagaimana menurutmu?"
Bukan menjawab pertanyaan yang dilontarkan Drake, William justru menerjang pria itu hingga keduanya terpental ke luar mobil masuk ke dalam hutan.
William mengimpit Drake di batang sebuah pohon besar, menekan batang tenggorok pria itu dengan lengannya. Nyaris saja William mencabik pria—yang kini telah berubah menjadi wujud lain—itu dengan siungnya yang tajam. Namun, Drake sama sekali tak gentar. Ia justru terkekeh geli, berusaha menjauhkan wajah dari embusan napas lycan di hadapannya yang menguarkan bau anyir.
"Kau habis makan apa, kawan? Napasmu bau sekali."
"Jangan mengalihkan topik, kelelawar!" hardiknya. "Kau sudah mengibarkan bendera perang dan kini kau berusaha lari seperti pengecut, huh?!"
Drake mengangkat kedua tangannya ke udara. "Tenang dulu, Will. Kembalilah jadi wujud aslimu. Kita bicara baik-baik. Sungguh, aku tak tahan dengan bau mulutmu."
William melepaskan tubuh Drake dengan kasar hingga terhempas di tanah. Ia bangkit dan tak berniat untuk lari, melainkan justru menepuk pundak lycan raksasa di sampingnya, membuat makhluk itu kembali menjadi William yang asli.
"Nah, seperti ini lebih baik," ujar Drake. "Kau tak perlu marah, Will. Bukankah kau tidak tertarik dengan gadis itu? Aku hanya mendekatinya saja, tidak berniat menjadikannya mangsaku. Kecuali kalau kau mau mempertimbangkan penawaranku yang tadi."
"Jangan bercanda, Drake! Kau tahu sendiri kalau dia adalah pure blood. Dia manusia. Kau tak boleh mendekatinya hanya untuk bersenang-senang, karena kau bisa saja membunuhnya," ucap William, memperingatkan sahabatnya yang tak pernah bisa bersikap serius.
William sangat mengenal gaya hidup Drake. Pria itu seorang pemain wanita yang mendekati hampir semua perempuan yang menarik perhatiannya. Tak peduli apakah itu sesama bangsanya, manusia, bahkan bangsa lycan.
Salah satu anggota kelompok William pernah jadi korban. Hanya untuk menghangatkannya di malam hari, lalu ia pergi begitu saja saat pagi menjelang, seolah tak pernah terjadi apa pun.
"Mengapa kau bisa yakin kalau aku akan membunuhnya, Will? Apakah kau pernah berniat melakukan itu, hm?"
Mendengar pertanyaan Drake, sontak membuat William terintimidasi. Namun, haruskah ia jujur mengatakan bahwa ia memang hampir menghabisi gadis itu?
"Kau pernah berniat untuk memangsanya, benar begitu?" desak Drake.
"Nyaris, tetapi nyatanya tidak, kan?" jawab William, membela diri. "Kau tak bisa menyamakan niatku dengan apa yang ada di dalam kepalamu."
Mendengar pengakuan William, Drake kembali tergelak. Kali ini lebih keras. "Jadi benar, ia pernah menjadi mangsamu?"
"Calon mangsa," koreksinya, menyanggah tudingan Drake terhadapnya. "Nyatanya ia masih bernyawa, kau lihat sendiri."
"Sekaligus masih segar dan cantik, aku tahu. Karena itu, kau ingin mendekatinya juga? Apakah kau memiliki tujuan yang sama denganku? Atau—"
"Itu bukan urusanmu, Drake. Aku hanya memperingatkanmu sekali, jangan berani melakukan hal buruk padanya! Bahkan meski itu hanya dalam kepalamu sekali pun, aku akan pastikan menghancurkannya hingga lumat!" tegas William, tepat di telinga Drake, memastikan pria itu mendengar ultimatumnya dengan baik.
"Tenang, kawan. Ini tidak seperti yang kau duga. Sungguh. Justru ... aku ingin mengabarkan padamu, bahwa perasaanku ini bukan sesuatu yang hanya main-main seperti sebelumnya."
Mendengar pernyataan Drake, iris William melebar seketika.
"Ya, aku tahu kau tak akan percaya. Aku merasakan dorongan yang kuat sebelum datang kemari, seolah ada yang menarikku untuk datang dan langsung menuju ke kantormu. Aku pun sempat tak percaya, tetapi inilah yang sebenarnya."
Drake menjeda kalimatnya, lalu melanjutkan, "Marion ... mungkin saja ia adalah Eleanor. Aku yakin itu. Dia adalah Eleanor yang terlahir kembali."