"Uhuk uhuk!" Ini bukan sebuah kepura-puraan. William jelas tak pandai berakting. Ia lebih baik lari ke dalam hutan dan bersembunyi dibanding harus berpura-pura dan membohongi gadis cerdas di hadapannya.
"Pak, anda tidak apa-apa? Maafkan aku jika bicara sembarangan. Anda sungguh membuatku bingung dengan alasan tak masuk akal itu, kau tahu?" gerutu Marion sembari membersihkan pakaian dan meja William yang penuh dengan tumpahan wine dan ceceran makanan yang tak sengaja disemburkan oleh William karena tersedak.
"Sudah, biarkan saja Marion, biar nanti petugas kebersihan yang membersihkannya. Kau kembalilah ke tempat semula. Setelah ini mereka akan datang."
"T-tapi, Pak ... anda bahkan belum memanggil siapa pun." Bersamaan dengan ucapan Marion, masuklah seorang petugas kebersihan dan dengan cekatan membersihkan kekacauan yang ditimbulkan oleh pria itu.
Sementara Marion hanya mengikuti gerak-gerik petugas kebersihan dengan ekor matanya. Ia lalu tak tahan untuk tidak bertanya pada atasannya itu, bagaimana cara petugas itu bisa tahu bahwa William telah membuat kekacauan di ruangannya.
"I-ini ... bagaimana bisa wanita itu tahu kalau—"
"Tak perlu pikirkan itu, marion, kembalilah duduk dan temani aku berbincang sampai makanan ini habis." Tentu saja William tidak mengatakan sebenarnya. Semua pegawai yang ada di gedung ini adalah anggota kelompoknya.
Marion yang masih disergap kebingungan pada akhirnya ikut saja apa yang diminta oleh William. Ia kembali ke tempatnya, duduk di hadapan pria yang menikmati santapan yang sempat terhenti. "Silakan duduk kembali. Sampai di mana perbincangan kita tadi?"
William kembali memotong lembaran daging di atas piringnya. Sesekali ia menoleh ke arah Marion yang masih tampak bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Apakah William memiliki kekuatan telepati?
"Marion? Apakah kau tidak mendengarkanku sejak tadi?" tanya Wiliiam, yang sukses membuat Marion terenyak, kemudian berusaha mengingat pembahasan yang menjadi topik pembicaraan mereka sebelumnya.
"Uhm ... maaf, Pak. Tadi kita membahas masalah kontrak yang mungkin menjadi sarana anda untuk mencari jodoh, apakah saya benar?" Marion bertanya seraya memastikan perubahan air muka bosnya.
"Tidak. Uhm ... maksudku, iya. Uh ... terserah saja bagaimana kau menyebutnya," jawabnya, pasrah. Percuma saja ia mencoba menjelaskan semuanya, Marion mungkin tak akan mengerti. Dan andai pun ia mengerti, mungkin saat ini ia sudah lari tunggang langgang karena ketakutan.
William sedang dalam misi untuk mengakrabkan diri dengan asistennya itu, maka sebisa mungkin ia akan berubah menjadi manusia biasa yang ramah dan bersahabat. Bukan lagi William yang ketus, angkuh, dan dingin.
Setidaknya untuk sementara saja. Selanjutnya, bergantung bagaimana kecocokan keduanya.
"Jadi ...."
Mereka tak sadari, kecanggungan yang akhirnya membuat keduanya berbicara bersamaan.
"Kau duluan saja, sejak tadi aku sudah bicara. Sekarang giliranmu," ujar William mempersilakan Marion untuk bicara. Ia ingin tahu apa yang akan ditanyakan gadis itu terhadapnya, apa yang ingin diketahui gadis itu tentang dirinya.
Marion ingin mengumpat rasanya. Bahkan dalam hati pun ia tak henti menyuarakan sumpah serapah terhadap dirinya sendiri, juga merutuki situasi saat ini. Ini sudah mirip seperti ajang pencarian jodoh baginya. Bukan lagi seperti bos dan asisten. Dan ia tak suka kondisi seperti ini.
"Jadi ... seperti yang anda katakan sebelumnya, bahwa aku seharusnya mengenal anda dengan baik, apakah aku boleh bertanya sesuatu yang pribadi?" marion pada akhirnya memberanikan diri untuk memulai sesuatu yang sedikit lebih dalam di kehidupan bosnya. Ia hanya iseng saja, tetapi andaikan William mengatakan 'ya', maka Marion akan memanfaatkan itu untuk dirinya.
Siapa yang tak ingin tahu rahasia hidup seorang bilioner tampan seperti William? Siapa yang tak akan tertarik untuk tahu bahkan masuk lebih dalam? Bahkan Marion pun menginginkannya.
Mungkin benar kata Shana, jika William telah memutuskan dirinya yang menjadi asisten, mungkin William merasa cocok dengannya.
William menghentikan gerakan tangannya. "Hmm ... bergantung sedalam apa yang ingin kau gali."
"Tidak terlalu dalam, Pak, tenang saja. aku tahu di mana batasanku. Boleh aku mulai? Anggap saja ini seperti ... enaknya kita sebut apa?"
William tampak ikut berpikir.
"Bagaimana kalau aku anggap ini interview. Aku lebih suka hal yang kaku dan formal. Hal yang casual selalu membuatku merasa cemas."
Marion mengangguk sembari mencebik. "Aku bisa melihat itu dari tampilanmu. Kau tampak ... kuno. Maaf," sesalnya, karena terlalu jujur. Namun, William tampaknya sudah terbiasa dengan itu. Ia hanya mengedikkan bahu.
"Yaa ... terkadang aku kuno, tapi apakah penampilanku juga kuno?" tanya William, tak terima. Kali ini giliran Marion yang mengangkat bahu. Apakah ia terlalu jujur sekarang?
Mungkin.
"Hey! Aku pemilik perusahaan fashion terbesar di negeri ini. Mana mungkin aku kuno!? Sembarangan saja, kau!" rutuk William, yang justru membuat Marion tergelak. Gadis itu kemudian segera mengembalikan raut serius di wajahnya.
"Baiklah, kau tidak kuno, Pak. Hanya ... sedikit kaku. Aku hanya penasaran, apakah kekasih anda tidak mengajarkan cara bersikap romantis pada seorang wanita?"
Suasana hening sesaat setelah Marion melontarkan pertanyaan yang mungkin bersifat sensitif bagi William. Ia beberapa kali mendongak, memeriksa perubahan ekspresi bosnya, tetapi wajah rupawan pria itu hanya memulas raut tanpa ekspresi.
"M-Maaf, kalau kata-kataku menyinggung. Tadi kupikir kau membolehkanku—"
"Tidak. Tidak apa-apa." William mendengkus dalam tawa kecut menanggapi pertanyaan Marion yang MEMANG sedikit senditif baginya. "Aku hanya ... apakah aku tidak mengatakan padamu kalau aku belum memiliki kekasih? Lebih tepatnya TIDAK memiliki kekasih."
Oke. Ini menjadi lebih canggung dari yang sempat Marion bayangkan. Ia tak mengira kalau William dengan entengnya menyebutkan statusnya yang kini masih sendiri. Bukankah Marion seharusnya tahu? Karena beberapa jam tadi William sudah membahas mengenai ajang pencarian jodoh, bukan?
Bodohnya kau, Marion!
Oke ... lalu? Apa lagi yang ingin kau tanyakan, Marionette?
"Oh, maaf. Sejak kapan anda mulai sendiri? Maksudku, memutuskan untuk sendiri. Bukankah begitu? Karena dari jawaban anda tampaknya anda memang memutuskan untuk tidak menjalin hubungan dengan siapa pun. Muda, sukses, dan dengan fisik menawan ... kurasa mustahil kalau tidak ada wanita yang mengejar cinta anda. Bahkan untuk sekedar cinta semalam saja, mungkin mereka akan bersedia."
Lagi dan lagi ... Marion melontarkan pertanyaan pancingan yang sangat ceroboh. Apakah ia tak pernah bermain catur? Segala perkataan dan tindakannya kali ini seolah di luar kendali. Beberapa kali gadis itu merutuki dirinya sendiri dalam hati. Namun, kalimat yang sudah terlontar mungkin tak akan pernah bisa ia telan kembali, bukan?
Sementara William, tampaknya mulai tertarik dengan arah pembicaraan Marion. Ia meletakkan alat makannya, kemudian menyingkirkan dari hadapannya. Ia membenarkan posisi duduknya, agar lebih fokus pada gadis di hadapannya yang kini mulai tampak menarik di matanya.
"Apakah menurutmu begitu, Marion?"
Marion mengerjap mendengar pertanyaan dari William yang seolah tembakan mendadak baginya. Ini sungguh di luar perkiraannya. Ia tak membayangkan sama sekali kalau pertanyaannya pada akhirnya akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
"Andai kau tidak mengenalku sebagai atasanmu, andai kita tidak saling bertemu sebelumnya, apakah kau akan berpikir demikian? Apakah kau bersedia menghabiskan semalam denganku seperti yang baru saja kau katakan?"