Anya merasa senang dapat memberikan jawaban yang meyakinkan kepada Nyonya Roseanne. Ia pergi dari ruangan itu dengan perasaan lega dan tenang.
Setelah pertemuan itu, Xav meminta dirinya untuk datang ke kamar di lantai tiga. Tanpa berpikir panjang pun ia segera kesana dan membuka pintu kamar tanpa mengetuk terlebih dahulu. Betapa terkejutnya Anya saat melihat ternyata di dalam kamar ada Tuan Adolfo—calon ayah mertuanya.
Anak dan ayah itu kembali terlibat adu mulut. Kerah Xav sedang dicengkeram kuat oleh Adolfo, namun saat menyadari jika Anya kini berdiri di depan kamar, Adolfo segera lepaskan cengkeramannya.
"Kalau ayah berani mengatakan kebenaran itu pada nenek, aku juga akan mengatakan tentang bagaimana kelakuan ayah di rumah bordil itu." Xavier mengatakan ancaman itu dengan suara yang sangat tenang. Setenang air dengan kedalaman mematikan.
Urat leher Adolfo terlihat membesar, kentara sekali kalau sekarang ia sedang menahan kemarahan di dadanya. Tanpa mengatakan apapun lagi, pria itu pergi meninggalkan kamar putranya, dan tak pedulikan lagi gadis yang kini berdiri mematung melihat pemandangan tersebut.
"Masuklah!" suruh Xavier seraya duduk di pinggiran ranjang.
"Bagaimana hasil wawancara tadi?" tanyanya setengah bercanda.
Anya diam menatap mata berwarna tembaga itu, kilatan duka terlihat jelas meski bibir pria itu memaksakan sesungging senyum.
"Apa hal ini selalu terjadi padamu?" tanya Anya tanpa basa-basi.
"Hal apa yang kau maksudkan?"
"Pertengkaran, perdebatan yang terjadi antara kau dan ayahmu," jelasnya.
Xav memandang Anya sejenak, ia terdiam dan tak segera mengeluarkan jawaban.
Anya merasa bersalah melontarkan tanya itu pada Xav.
"Maaf, aku tak bermaksud mencampuri urusanmu. Anggap saja aku tak pernah menanyakan itu kepa—"
"Ayahku membenciku." Xavier tiba-tiba mengeluarkan sepatah kata yang membuat Anya memiringkan kepala dan menyipitkan mata. Menatap pada lelaki itu dengan perasaan bingung.
"Apa kau tahu rasanya hidup dengan orang yang membenci mu?" tanya Xav pada Anya.
"Aku rasa, aku tahu. Karena nenekku dan ayahku juga membenciku. Entahlah mereka tak pernah mengatakan hal itu secara terus terang padaku, tapi sikap mereka mengatakan kebencian itu dengan lantang."
Xav pun berdiri, lalu mendekati Anya. Ia tersenyum lalu berkata, "apakah memang kita ditakdirkan bersama?"
"Kau dibenci keluarga mu, dan aku dibenci oleh semua anggota keluarga ku. Itu bukan kebetulan kan?"
Gadis di depan Xav tak menyahut dengan sebuah lisan pun. Gadis itupun menyatukan alisnya, perlahan tangannya terulur dan menyentuh dahi Xavier.
"Aku rasa kau demam, apa kau punya termometer?"
Xav mengalihkan tangan Anya dari kepalanya.
"Sial!" rutuknya lalu berbalik dan kembali duduk di pinggiran ranjang.
"Akting mu tak cukup bagus, tuan muda. Kau tak bisa menipuku dengan kata-kata mesra dan picisan itu!" cibir Anya sambil berkacak pinggang.
"Aku sudah melakukan tugas pertama dengan baik, lalu apa bayaran yang akan kau berikan padaku?" tanya Anya tak mau membuang kesempatan untuk bernegosiasi.
"Ternyata kau mata duitan juga," kekeh Xav.
"Aku menyetujui tawaran mu untuk bisnis dan mendapatkan uang. Lalu apalagi yang kau harapkan dari ku?" balik Anya.
"Oh ya apa saja yang nenek ku tanyakan padamu?" Xav terlihat penasaran.
"Apa kau mau tahu semuanya? Atau yang penting saja?"
"Katakan yang penting saja, aku tak tertarik dengan kisah sedih yang kau ceritakan pada nenekku."
"Sebelum itu, ijinkan aku untuk melepas sepatu hak tinggi ini. Sakit sekali, aku tak biasa memakainya."
"Mulai saat ini kau harus membiasakan diri," oceh pria itu.
Anya tak pedulikan ocehan Xav, ia segera melepaskan sepatu berwarna serupa kulitnya itu dari kaki mungilnya. Ia sudah sangat kesakitan sejak tadi.
Ia kemudian duduk di sebuah kursi kayu yang berada di depan meja belajar Xavier.
"Nenek mu bertanya padaku tentang pesta pernikahan impianku," bisik Anya lirih.
"Lalu, kau jawab apa?"
"Aku jawab kalau aku tak suka pesta, jadi aku meminta pesta sederhana saja."
"Gadis pintar," Xav mengacak rambut Anya dengan gemas.
"Jangan menyentuh ku!" Anya mengibaskan tangan Xav.
"Lalu apalagi?" tanya Xav lagi, kali ini pria itu mendekatkan wajahnya ke Anya. Hingga aroma parfum yang menguar dari tubuhnya dapat terhidu oleh indera penciuman Anya.
"Tidak ada, hanya itu saja," tandas Anya berbohong. Ia tak mau menceritakan bagian akhir tadi, ia tak mau Xav salah sangka. Bagi Anya bagian akhir tadi tak perlu diceritakan kepada siapapun.
"Baiklah, kalau begitu, katakan padaku, apa yang kau mau. Maksudku berapa bayaran yang kau mau?"
Anya mengedipkan matanya beberapa kali. Ini kali pertama baginya melihat mata berwarna tembaga milik Xavier sedekat ini.
"Antarkan aku ke rumah nenekku," kata Anya tanpa mengalihkan pandangannya dari iris amber milik Xavier.
"Baiklah, kita akan melakukan perjalanan itu, berdua saja."
"Apa? Berdua? Kau tidak sedang merencanakan sesuatu padaku 'kan?" Anya memekik, lalu mundur beberapa senti.
"Tentu saja tidak gadis bodoh, sudah aku mau istirahat. Sekarang kembalilah ke kamarmu," pungkas Xav lalu merebahkan diri dengan santainya.
Anya memberengut, lalu berdiri dan berbalik pergi. Ia berjalan menuju pintu kamar hendak membukanya.
"Kamarmu sekarang ada di lantai dua, bukan di kamar pembantu lagi. Ingat itu!" teriak Xav, Anya menoleh sesaat kepada pria yang kini telah memejamkan matanya tersebut. Tanpa menjawab apapun, gadis itu pergi tinggalkan kamar Xavier.
***
Anya turun ke lantai dua. Seperti yang sudah Xavier katakan, salah satu kamar di lantai dua kini menjadi miliknya. Tentu saja dengan senang hati ia menempatinya, kapan lagi ia dapat tidur di kamar super nyaman dan tak perlu pusing memikirkan biaya sewa?
Kaki Anya baru saja melangkah di lantai dua saat ia bersitatap dengan Angel, Em, dan Shelina. Ketiga gadis yang masih mengenakan seragam pelayan itu menatap dirinya dengan wajah setengah menunduk.
"K—kami baru saja membersihkan kamar anda, Nona. T—tuan muda menyuruh kami," ucap Em dengan suara terbata.
"Terima kasih." Anya menjawab dengan suara lugas, lalu segera membuka pintu kamarnya.
"T—tunggu dulu, Nona ... " Suara Shelina mencegah Anya teruskan langkah. Gadis itupun berbalik, dan menatap gadis berambut pirang yang tadi pagi mencaci maki dirinya itu.
Shelina tak tahu menahu jika Anya yang akan menjadi calon istri bagi Xavier. Tadi pagi, saat sang nyonya besar menyuruh dia untuk memanggil Xavier, ia justru ganti menyuruh Anya. Tak hanya menyuruh dengan kasar, tapi Shelina juga mengancam Anya. Ia mengira Anya telah sembarang masuk ke kamar di lantai dua, dan menuduh Anya mencuri gaun milik keluarga Dmitry. Hampir saja Shelina mendorong Anya jatuh ke tangga bawah jika saja Xavier tak segera datang dan menghentikan perbuatan gadis licik itu.
Anya tersenyum sinis, lalu membungkuk dan mengintip wajah Shelina yang kini terus menunduk. Tak sedikitpun berani tegakkan lehernya, dan menatap langsung kepada Anya.
"Ada apa, Shelina? Apa kau ingin mengatakan sesuatu?"
"M—maafkan a—aku Nona ... "