Chereads / Cinta 80 Kilo / Chapter 2 - Ternyata Hanya Mimpi

Chapter 2 - Ternyata Hanya Mimpi

Hari yang di tunggu-tunggu Rara sudah tiba. Di mana dia yang tidak biasa berdandan layaknya seorang putri. Dengan polesan pipi memerah, dan bibir merona. Gaun terlihat sempit di tubuhnya pun dia pakai karena hanya memiliki satu-satunya baju yang di berikan ibu. Senyum bahagia merekah membayangkan betapa bahagia dirinya akan bertemu sang pujaan hati. Sejak tadi hati selalu berdebar kencang entah pertanda apa itu.

Setelah selesai semua mempersiapkan diri, Rara segera menuju tempat di mana yang sudah di janjikan bersama Fariz tempo hari. Selang beberapa menit, penantiannya tak kunjung datang. Pria yang di harapkan tidak datang juga. Rara berusaha mengingat bahwa dia tidak salah tempat dan waktu untuk bertemu. Rara takut itu hanyalah sebuah permainan Fariz untuk memberikan pelajaran terhadapnya yang berharap berlebihan.

"Sudah hampir dua jam aku tunggu di sini. Tapi tidak ada kabar sama sekali dari dia. Bahkan pesan atau telepon masuk pun tidak ada. Ah! Mungkin aku saja yang terlalu berharap sama dia. Bodohnya aku!" Rara menepuk jidatnya sendiri hingga sampai bunyi.

Plak!!

"Duh!" Hingga membuat pandangan orang sekitar tertuju padanya. Namun Rara tidak peduli.

"Bisa saja kan dia Cuma bohongin aku? Mana mungkin pria setampan dia mau sama buntalan karung kayak aku ini. Sudahlah, mending pulang saja. Percuma nunggu di sini Cuma jadi makanan nyamuk." Rara berdiri berusaha meninggalkan tempat duduknya dengan wajah cemberut dan kesal.

Sembari melangkah kan kakinya, dia terus ngedumel dengan dirinya sendiri.

"Bodohnya kamu Rara, bodoh! Bodoh! Mimpi kamu terlalu tinggi."

"Tunggu! Kamu mau kemana?" Panggil seorang pria dengan suara lantangnya. Rara menoleh ke arah sumber suara tersebut.

"Kamu?" Rara mengucek matanya.

"Kamu mau kemana, Ra? Kan kita mau ketemu di sini. Kok aku di tinggal begitu saja?" Ya, pria itu Fariz. Dia datang dengan membawa senyuman. Bahkan kedua tangan terus sembunyi di balik tubuhnya yang berdada bidang itu membuat Rara terheran. Setelan jeans dan kemeja putih seakan menambah ketampanan Fariz.

"Sejak tadi aku sudah menunggu kamu, Riz. Kamu kemana saja? Aku sudah menunggu kamu hampir dua jam di sini!" Ucapnya dengan sedikit nada kesal.

"Maaf, aku tidak bermaksud buat kamu menunggu dan marah begini kok. Yang penting aku sudah ada untuk kamu di sini kan?"

"Iya iya," jawab Rara singkat. "Lalu kita mau ngapain?" Tanya Rara lagi mulai bosan. Tapi sebenarnya dalam hati dia sangat senang dengan kehadiran Fariz. Bahkan sejak kedatangan Fariz, Rara tidak melepaskan pandangannya pada Fariz.

"Ya kita di sini saja. Memangnya mau kemana lagi," jawabnya singkat.

"Lalu itu apa di belakang kamu?" Rara berusaha ingin tahu dan lihat apa yang di sembunyikan Fariz di belakang tubuhnya.

"Oh iya, aku hampir lupa. Ini buat kamu!" Fariz mengeluarkan dan memberikan setangkai bunga mawar untuk Rara.

"Bunga? Untuk aku?" Rara meyakinkan apa yang di berikan Fariz itu nyata untuk dirinya.

"Iya, benar. Kenapa? Kamu tidak mau? Ya sudah sini, aku berikan saja untuk orang lain."

"Jangan-jangan," Rara merebut kembali bunga yang di pegang Fariz ketika ingin di berikan kepada wanita lain yang tidak jauh berdiri di antara mereka.

"Terima kasih ya," senyum Rara sambil mencium aroma bunga di tangannya. Rara semakin tersipu malu dengan perilaku Fariz yang romantis. Bahkan dia terus menunggu akan hal lain yang akan di ungkapkan atau yang akan di lakukan Fariz lagi. Benar saja, Fariz lalu duduk berlutut di depan Rara. Kini tepat di depan Rara yang sedang berdiri. Entah apa yang akan di lakukan Fariz, Rara hanya mengira-ngira Fariz akan melakukan hal romantis yang selanjutnya.

"Kamu mau ngapain? Tidak enak di lihat orang."

"Ra, sejak kemarin waktu baru pertama kita kenal," Fariz mulai menggantungkan ucapannya.

"He'em," Rara hanya berdehem sembari menanti ucapan Fariz selanjutnya.

'Secepat inikah?' gumam Rara menerka.

"Aku suka kamu, Ra. Kamu mau tidak jadi pacar aku?" Ucapan Fariz kali ini membuat jantung Rara semakin berdegup kencang.

"Ah kamu, bercandanya kelewatan."

"Aku lagi tidak bercanda, Rara. Aku benar-benar ingin jadi pacar kamu. Aku ingin menjalin hubungan dengan kamu lebih serius."

"Tapi aku, kamu tahu sendiri kan?"

"Ra, aku terima kamu apa adanya. Aku tidak peduli kamu seperti apa. Aku tulus, Ra. Kamu mau ya?"

"Syirooott!!" Suara sumbang terdengar jelas memanggil Syira. Seketika membuat Rara terbangun dari tidurnya.

"Ah! Ternyata Cuma mimpi." Ucap Rara lirih sembari mengucek matanya. Melirik jam dinding sudah menunjukkan angka delapan pagi. Seperti biasa, jika Rara kesiangan maka ibunya akan berteriak membangunkan Rara dengan panggilan masa kecilnya.

"Syira, cepat bangun. Gadis jam segini belum bangun. Mau jadi apa kamu? Ayo cepat bantu Ibu jualan." Ibunya datang ke kamar dengan membawa air satu ember untuk menyiram Rara jika belum bangun. "Duh, Ibu. Ganggu aku mimpi ketemu pria tampan deh. Kan jadi gagal semua kisahnya. Dan satu lagi, nama aku Syira. Di panggil Rara. Bukan syirot!"

"Lah, bodo amat! Kamu itu ya, pantas saja bangun selalu kesiangan. Mimpi saja terus, ngaca sama diri kamu itu. Bagaimana tidak orang banyak yang tidak suka." Ibu memang suka bercanda dengan Rara, tapi terkadang juga berkata untuk menyadarkan Rara.

"Tuh kan, Ibu. Mulai deh rendahkan aku. Begini-begini juga anak Ibu satu-satunya kan?"

"Ya sudah jangan banyak bicara, mandi sana. Terus bantu Ibu antar pesanan."

"Loh, kata Ibu tadi kita mau jualan?"

"Iya, nanti kamu antar pesanan sama Ibu Mira yang biasa pesan kue kita itu. Setelah itu baru bantu Ibu jualan di tempat biasa ya!"

"Oh ya sudah, aku mandi dulu ya."

"Buruan!"

"Iya, Ibuku yang bawel."

Rara mengangkat tubuhnya untuk bangun dan melangkah kan kakinya ke kamar mandi.

Rara hidup hanya berdua saja dengan ibunya sejak kecil. Ayah Rara sudah meninggal sejak lama karena sakit parah. Kehidupan sehari-hari mereka hanya berjualan kue di lapak biasa mereka berjualan. Dengan penghasilan yang pas-pasan untuk biaya hidup dan membayar kontrakan, Rara tetap mensyukuri hidupnya walau terkadang kekurangan. Meski terkadang sebagian orang mencemooh dan anak-anak yang berani mengejek tubuhnya yang gempal. Rara terbilang anak yang manis, hanya saja dia tidak bisa merawat tubuhnya. Sehingga kian hari kian mengembang.

Keseharian Rara selain membantu ibunya berjualan kue, dia juga terus berkhayal tentang pria tampan, menjadi orang kaya, dan banyak orang yang menyukai dengan kecantikan paras yang di milikinya. Dia berharap suatu hari nanti akan menemukan cinta sejati yang nerima dia apa adanya.