Setelah selesai membantu ibunya mengantar pesanan dan berjualan, Rara ingin melanjutkan seperti biasa berjalan menyusuri pinggiran kota untuk melepas rasa penatnya.
"Ra, selesai ini kamu bantu Ibu belanja ya?"
"Yah, Bu. Aku kan pingin keluar jalan-jalan seperti biasa." Rara memasang wajah cemberut.
"Apa sih yang kamu cari? Dapat apa-apa saja tidak. Mau sampai kapan kamu kayak gini, Ra? Mending kalau jalan-jalan dapat calon menantu untuk Ibu. Ini yang ada malah wajah semakin kusam kena matahari."
"Ya kan tidak tahu, Bu. Siapa tahu nanti ada pria tampan yang meminang aku."
"Mimpi kamu! Mana ada pria tampan suka sama kamu. Yang ada noh, pria gendut, hitam, jelek kayak kamu." Ibu terkekeh mengejek Rara. Rara bukannya marah malah tertawa terpingkal karena ucapan ibunya.
"Haha, Bu Ibu. Ucapan itu doa loh. Masa Ibu tega doain anaknya kayak begitu. Doain yang benar-benar kek, biar merubah keturunan." Ledeknya kembali.
"Emang gue pikirin!" Ucap ibu singkat.
"Ya sudah ah, aku pergi dulu ya, Bu. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam! Huh dasar anak tidak tahu diri. Di suruh bantu belanja malah pergi begitu saja."
Namun Rara tidak peduli dan berlalu begitu saja. Sepanjang perjalanan Rara melihat berbagai kehidupan. Tidak jauh dari pandangannya, Rara melihat sekelompok gadis sedang berkerumun. Di antara mereka ada yang berpakaian seksi, ada yang putih, ada yang begitu terlihat cantik. Dan semua terlihat langsing. Seketika Rara minder membandingkan tubuhnya yang gendut. Sebenarnya Rara tidaklah jelek, justru dia sangat manis dengan lesung Pipit juga mata yang sayu. Hanya saja dia kelebihan berat badan. Sifat yang malas untuk berolahraga, dan akan terasa kurang jika malam sebelum tidur tidak makan malam atau makan snack. Kebiasaan itu berlangsung dari kecil hingga sekarang.
Seketika lamunannya terhenti karena tanpa dia sadari hampir saja menabrak kayu spanduk di jalan. Dan hal itu di ketahui gadis yang bergerombol di lihat Rara tadi. Mereka bersamaan mentertawakan Rara. Rara hanya menunduk sedih. Dan dia pun terus berjalan tanpa menghiraukan gelak tawa ejekan tersebut. Tidak lama kemudian, Rara melihat lagi seorang wanita dan pria paruh baya sedang membujuk anaknya. Kedengarannya, anak tersebut meminta mainan di sebuah mall. Lalu kedua orangtuanya pun menuruti keinginan anaknya dan mengantar ke tempat yang di maksud.
"Kenapa sih, hidup aku begini banget. Kenapa aku tidak seperti yang lain. Mereka semua terlihat bahagia dengan hidupnya. Sedangkan aku, hidup Cuma penuh mimpi namun tidak satu pun terwujud. Kapan ya aku bisa seperti mereka?" Rara mengeluh karena takdirnya. Tidak jauh dari tempatnya, Rara melihat kembali seorang kakek-kakek memegang tongkat berjalan dengan susah payah. Lalu ada lagi seorang gadis remaja yang ngamen dengan sebuah gitarnya. Masih banyak lagi kejadian yang dia lihat kali ini.
"Ya Allah, maafkan aku sudah mengeluh. Ternyata, masih banyak orang yang kurang beruntung daripada aku." Rara menyesali kata-kata yang tadi dia keluarkan.
"Kak, tolong aku, Kak. Tolong!" Tiba-tiba anak kecil menarik kuat tangan gempal Rara. Rara terkejut tanpa sempat bertanya dengan anak itu. Rara di bawa ke sebuah tempat di mana anak itu tinggal. Tempat yang kumuh dan banyak tumpukan sampah berserakan dimana-mana. Rara hanya heran dan sempat bingung apa maksud anak itu.
"Dek, sebenarnya ada apa ini?" Tanya Rara sedikit panik takut terjadi apa-apa. Tidak lama kemudian, Rara melihat seorang ibu-ibu terbaring lemah. Kini Rara mengerti maksud anak itu, dia hanya ingin Rara membantu ibunya untuk mendapatkan perawatan. Tapi Rara juga bingung tidak memiliki uang banyak saat itu.
"Ibu kamu demam, Dek? Sudah di berikan obat belum?"
"Belum, Kak. Dari kemarin aku juga belum makan. Aku tidak punya uang untuk belikan Ibu obat. Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana."
"Baiklah, maafkan kakak tadi sudah sempat berpikiran buruk sama kamu. Dan maaf juga, Kakak tidak bisa bantu banyak. Kakak Cuma punya uang segini. Kamu langsung belikan obat untuk Ibu ya?" Rara mengeluarkan selembar uang dari sakunya sebesar Rp 50.000 dan memberikan kepada anak itu. Anak itu pun dengan senang langsung berlari menuju sebuah warung kecil tidak jauh dari tempatnya setelah menerima uang dari Rara. Tak lama kemudian, anak itu datang dengan membawa obat demam untuk ibunya. Rara pun senang melihat wajah anak itu dengan riang. Setelah selesai memberikan obat dengan ibunya, Rara pun bermaksud untuk ingin pulang. Namun anak itu menahannya kembali.
"Tunggu, Kak."
"Iya, Dek. Ada apa?"
"Kakak tinggal di mana? Jauh tidak dari tempat ini?"
"Tidak kok, paling Cuma lewati beberapa gang dari sini. Kenapa?"
"Sebelumnya terima kasih ya, Kak. Sudah bersedia bantu kami. Dan kalau Kakak bersedia, tidak jauh dari sini ada sekolah kecil khusus untuk anak-anak miskin kayak aku. Dan kami butuh pengajar baru, Kakak mau ya?" Anak itu memelas meminta tolong dengan Rara.
"Em, oh iya. Nama kamu siapa?"
"Duh, sampai lupa sangking paniknya tadi. Nama aku Yona, Kak. Nama Kakak siapa?"
"Panggil saja Kakak Rara."
"Namanya cantik, kayak orangnya." Baru kali itu Rara mendengar pujian dari anak kecil.
'Ah bisa saja anak kecil ini, tapi bisa saja dia bohong. Tidak mungkin juga sih, justru anak kecil itu biasanya jujur.' Gumamnya dengan tersipu malu.
"Bisa saja kamu. Em, soal tadi insyaallah bisa. Tapi Kakak tidak janji ya."
"Please, Kak. Tolong dong!" Pinta anak itu memohon.
"Iya, Nak. Mereka butuh bimbingan, karena baru-baru ini mereka kehilangan guru satu-satunya. Jadi ajarkan lah mereka sebisa mungkin. Karena, mana ada orang yang suka rela mau bantu orang miskin kayak kami." Potong ibu anak itu ikut bicara.
"Tapi," ucap Rara.
"Ayolah, Kakak."
"Iya deh, Mulai besok Kakak datang ke sekolah kamu. Tapi setelah Kakak bantu ibunya Kakak jualan ya."
"Oke, Kak. Besok aku tunggu ya. Dan terima kasih untuk semuanya hari ini."
"Iya, Dek."
Rara merasa aneh dengan kejadian dia hari ini, begitu banyak pelajaran yang dia ambil. Ternyata, bahagia itu ketika kita mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Dan pelajaran yang bisa di ambil, bersyukur dengan keadaan diri sendiri ketika melihat ada yang lebih kekurangan dari pada kita. Karena, jika hanya melihat sepihak di atas kita, hanya akan membuat kita kurang mensyukuri takdir hidup.
Setelah puas berjalan ke sana kemari, Rara sudah merasa puas dan sedikit lelah. Kini dia harus pulang dan memikirkan hari esok untuk mengajar anak murid baru. Entah mimpi apa, seketika dia menjadi seorang guru. Rara setuju, karena memang dia dulu waktu sekolah adalah anak yang pintar dan selalu juara di kelasnya.