Chereads / Gadis Bisu: Jerat CEO BDSM / Chapter 21 - SUARA PERTAMA

Chapter 21 - SUARA PERTAMA

Ben Eddic seperti terkena petir di pagi hari. Matanya sedikit terbelalak mendengar kebenaran bahwa Te Ressa pernah mengalami kecelakaan di usia yang masih muda. Ben Eddic tertegun bahkan ia tidak menyangka bahwa orang yang mengguncang pendiriannya itu sudah melewati banyak masa-masa sulit sejak dari lahir.

Ingatkan Ben Eddic untuk bernapas kali ini. Bahkan ia sempat tidak bernapas beberapa detik setelah mendengar penuturan Bryan. Ben Eddic tidak bergeming dan tak ada yang bisa mewakili perasaannya. Otaknya seakan beku untuk membayangkan bahwa ada orang yang lebih menderita dibandingkan dirinya.

Entah ke berapa kali Ben Eddic menghela napasnya. Ben Eddic mengigit bibir bawahnya karena jujur ia takut untuk mendengar lebih jauh lagi.

"T-tuan? Anda baik-baik saja?"

"Eh? Ahh- i-iya aku baik-baik saja Bryan," ucap Ben Eddic yang kemudian mengambil cangkirnya dan meminumnya. "Sekarang katakan padaku, apa saja yang tidak boleh dilakukan Te Ressa? Atau ketakutan apa yang sering melandanya?" sambung Ben Eddic lagi.

"Tapi sebelumnya saya mohon pada Anda, Tuan. Jangan sakiti anak itu. Anak itu sudah cukup banyak menderita, Tuan. Saya tidak bisa membantu banyak mengenai Te Ressa. Saya hanya bisa berharap Tuan Ben Eddic memperlakukannya dengan baik. Dia anak yang baik dan periang. Tapi karena ia terlalu lama menderita, dia jarang menunjukkan pada orang-orang," ucap Bryan lirih dengan penuh permohonan.

"Aku akan memperlakukannya dengan baik. Kau tenang saja. Sekejam apa pun aku di kantor atau di mana pun, aku tidak akan menyakiti anak seperti Te Ressa."

"Aku akan memperlakukannya dengan baik karena aku sadar itu yang harus aku lakukan untuknya." batin Ben Eddic melanjutkan ucapannya dalam hati.

"Saya perlu mengingatkan pada Anda, Tuan, kalau Te Ressa memiliki trauma akan darah dan kekerasan. Te Ressa melihat darah ibunya sendiri ketika ibunya terbunuh di rumahnya, dan kekerasan yang ia dapat adalah kekerasan yang datang dari ayahnya sendiri karena ia sering dipukuli dan ditendang. Te Ressa juga tidak mendengarkan suara yang sangat sangat keras Tuan. Itu akan membuat kepalanya pusing dan mengeluarkan darah dari telinganya ....

.... Te Ressa juga takut akan ketinggian. Karena ia pernah terjebak di dalam lift dan lift itu pernah rusak dan hampir membunuhnya karena ia berada di dalam lift di gedung tertinggi ketika ia jalan bersama ibunya. Dan jangan biarkan Te Ressa berenang karena ia tidak bisa berenang, Tuan."

Oke, kembali ingatkan Ben Eddic untuk bernapas. Semua yang ketakutan Te Ressa yang baru saja disebutkan semua ada pada dirinya. Ben Eddic adalah sosok yang sering melakukan kekerasan entah itu dalam bercinta atau kekerasan fisik seperti yang pernah ia lakukan pada A Qilla.

Te Ressa dipertemukan dengan dirinya yang menyukai kekerasan, sedangkan Te Ressa tidak bisa melihat kekerasan sedikit pun. Ben Eddic mengepalkan tangan berusaha menjaga ekspresi wajahnya. Namun, tak bisa dibohongi jika napas Ben Eddic telah menderu saat ini.

Setelah percakapan yang cukup lama. Akhirnya Ben Eddic memutuskan untuk ke kantor melihat dokumen pentingnya di kantor. Dan berpisah dengan Bryan.

Pikiran Ben Eddic masih terngiang akan kisah Te Ressa dari Bryan beberapa jam yang lalu. Bahkan ia masih bisa membayangkan betapa sulit dan menderitanya Te Ressa. Ben Eddic bahkan tidak ingat jika dirinya masih dalam posisi menyetir mobil, dan hampir menabrak pejalan kaki. Ben Eddic menepi dan menjernihkan otaknya.

"Argh! Shit!" Ben Eddic duduk bersandar dan meremas kendali setir mobilnya.

"Pertanyaanku saat ini, apakah Te Ressa bisa bertahan lama denganku? Seperti ada magnet yang selalu menarikku untuk mendekati Te Ressa. Tapi aku harus bagaimana dengan sifat-sifatku yang nyatanya aku orang yang dia takuti."

Ben Eddic menempelkan keningnya pada kendali setirnya dan berkali-kali membenturkan keningnya pada kendali setir. Seketika ia teringat akan perkataan ibunya sebelum ia pergi meninggalkan rumah.

"Jika kau mencintai seseorang, kau pasti tahu bagaimana cara untuk mendekatinya. Jika dia menjauh, kau pasti punya cara untuk membuatnya kembali."

Ben Eddic mengangkat kepalanya dan menghela napasnya ketika mengingat perkataan ibunya itu. Ben Eddic segera menginjak pedal gas dan segera menuju kantornya.

***

Pukul 18.00

Ben Eddic pulang lebih awal, bahkan Jo Nathan pun belum menginjakkan kakinya lagi di rumah. Para asisten rumah tangga lainnya termasuk Gi Selle bingung dan kaget dengan kepulangan tuan muda yang terlampau cepat dari biasanya. Bahkan langkah-langkah kaki Ben Eddic lebih cepat dari biasanya, seperti ada seseorang yang sangat ia buru-buru temui. Dan ketika ia sampai di lantai 3, ia baru saja melihat Mo Nica keluar dari kamarnya dengan sebuah nampan.

Mo Nica membungkuk hormat pada Ben Eddic, sebelum akhirnya Ben Eddic masuk ke dalam kamarnya. Ben Eddic tersenyum sumringah dan benar-benar tersenyum ketika melihat sosok gadis manis sedang asik melipat-lipat kertas origami di atas kasur.

Te Ressa bahkan tidak menyadari jika Ben Eddic tengah memperhatikannya dari pintu.

Ben Eddic baru saja teringat akan hadiah yang sangat ingin ia berikan pada Te Ressa. Ia ingat ia menaruhnya di mana. Langkahnya melebar menuju sebuah laci nakas di dekat tempat tidurnya, mengambil Hearing Aids itu dan kemudian mendekati Te Ressa di atas kasur. Ben Eddic duduk di tepi kasur dan mengacak rambut Te Ressa untuk mendapatkan perhatiannya.

Dan benar saja, Te Ressa mengangkat kepalanya. Memasang senyum ke arah pria itu.

Ben Eddic tak dapat menyembunyikan senyumnya kali ini. Ia tak bisa untuk tak senyum membalas senyuman Te Ressa.

Ben Eddic menunjukkan layar ponselnya menampilkan note yang bertuliskan ....

[Kau sudah makan?]

Te Ressa tersenyum dan mengangguk.

[Sudah minum obatmu?]

Tulis Ben Eddic dan hanya mendapatkan anggukan.

[Ah, aku punya hadiah untukmu,Te Ressa. Kau pasti menyukainya.]

Tulis Ben Eddic pada note ponselnya. Te Ressa mengangguk, kemudian mengambil ponsel Ben Eddic, dan mengetik pada note tersebut.

[Aku juga punya hadiah untuk Tuan Ben Eddic.]

Ben Eddic tersenyum lebar setelah membaca note itu.

[Kalau begitu kau dulu yang memberikan hadiah untukku. Aku ingin tahu apa itu.]

Tulis Ben Eddic. Te Ressa terlihat semangat kali ini walaupun ia masih merasakan tubuhnya masih sakit. Te Ressa mengambil sebuah vas dan memberikan pada Ben Eddic.

[Ini Origami flowers, aku membuatnya sendiri. Terima kasih karena sudah merawat saya, Tuan.]

Te Ressa memberikan vas bunga origami itu dan menunjukkan note pas Ben Eddic. Ben Eddic tersenyum dan menerima vas bunga itu. Ben Eddic mengangguk dan mengusap kepala Te Ressa. Entah mengapa Te Ressa merona saat Ben Eddic mengusap kepalanya.

Kemudian Ben Eddic pun mengeluarkan hadiah untuk Te Ressa, dua buah Hearing Aids Behind the ears.

Mulut Te Ressa terbuka terlihat tak menyangka apa yang ia lihat. Selama ini tidak pernah ada yang mau membelikannya hearing aids. Te Ressa menunjuk dirinya sendiri pertanda apakah ini untukku?

Ben Eddic mengangguk dan kemudian Ben Eddic memasangkan hearing aids itu pada kedua telinga Te Ressa. Tolong ingatkan Te Ressa untuk bernapas karena saat ini wajah Ben Eddic begitu dekat dengan wajahnya. Te Ressa bahkan terus-terusan melihat ke arah lain agar tidak menatap langsung mata Ben Eddic.

Setelah Selesai, Ben Eddic menatap Te Ressa begitu dekat dan tersenyum.

"Oke baiklah. Te Ressa kau bisa mendengar suaraku?" tanya Ben Eddic yang kemudian menepuk pelan kepala Te Ressa.

Te Ressa menatap Ben Eddic yang saat ini menatapnya begitu dekat. Telinganya masih beradaptasi dengan alat bantu pendengar. Te Ressa mulai dapat mendengar walapun masih terdengar samar-samar di telinganya.

"Hey Te Ressa, kau bisa mendengarku?"

Ben Eddic menundukkan kepalanya. Karena ia baru saja teringat sesuatu. Teringat akan perkataan Ed Rian.

Alat bantu ini tak bisa langsung berfungsi, butuh waktu agar Te Ressa dapat mendengar suara. Karena telinganya butuh beradaptasi dengan alat bantu itu dengan sistem pendengarannya yang sudah tak berfungsi lagi.

Ben Eddic hanya menghela napas. Ia tahu ia tampan dan kaya tapi terkadang ia bodoh juga.

"T-t-tu-an .... B-ben-ne ... dic." Te Ressa tergagap ketika ia mulai berbicara. Ingat! mulai berbicara.

Ben Eddic sontak mengangkat kepalanya dan matanya terbelalak. Ia mendengar suara Te Ressa. TE RESSA BERSUARA!

Ben Eddic semakin duduk mendekat dan menatap Te Ressa lekat-lekat. "Te Ressa? Te Ressa? Kau bisa mendengarkanku? Kau mendengar suaraku?"

Te Ressa mengangguk ragu. "I-i-iya-a T-t-tu-an."

Ben Eddic sontak merengkuh Te Ressa. Ben Eddic sangat bahagia. Akhirnya ia mendengar suara gadis manis yang mengguncang keimanannya. Jangan lupa, Te Ressa saat ini tengah merona dalam rengkuhan Ben Eddic.

"Te Ressa-ah .... Te Ressa," ucap Ben Eddic yang perlahan melepaskan rengkuhannya dan memegang kedua bahu Te Ressa.

"I-iya, Tu-an."

"Jangan panggil aku Tuan, kalau kita sedang berdua panggil saja Ben Eddicie, atau Kak Ben Eddic."

"Atau panggil my love atau honey juga boleh," batin Ben Eddic.

"E-eung?" Te Ressa mengangguk dan tersenyum tipis. "I-iya, K-ka ... B-b-ben-ne ... dic!"

Ben Eddic tersenyum tipis dan kemudian mengusap kepala Te Ressa lagi. "Sekarang bisa aku minta tolong?"

"A-apa i-itu, K ... Ka?"