"T-tuan Ben Eddic, ini teh dan makan malammu," ucap Te Ressa yang masih memegangi nampan makan Ben Eddic.
"SUDAH KUBILANG AKU TIDAK MAU MAKAN!" Ben Eddic berteriak seraya berbalik badan dan mengangkat tangannya menangkis nampan makan yang Te Ressa bawakan untuknya. Makanan itu tumpah mengenai apron Te Ressa sedangkan teh panas itu mengenai wajah Te Ressa.
"AA!" teriak Te Ressa mundur beberapa langkah merasakan panasnya teh yang mengenai wajahnya. Te Ressa sejenak menutup matanya. Semua makanan bahkan piring dan gelas pun berantakan di lantai.
Ben Eddic baru tersadar, ketika yang membawakan makanan dan teh itu adalah Te Ressa.
Bodoh. Ben Eddic bodoh. Ia masih merasa geram dan marah akibat seharian ini. Entah dengan Jo Nathan atau dengan kejadian di kantornya.
Ben Eddic pun segera mendekati Te Ressa dan melihat keadaanya. "Te Ressa? Te Ressa? Kau tidak apa-apa? Maaf aku tidak bermaksud untuk marah padamu," ucap Ben Eddic yang kini terlihat panik. Ben Eddic menurunkan kedua tangan Te Ressa dari wajahnya, dan mengusap-usap wajahnya.
"Maaf Te Ressa, maafkan aku," ucap Ben Eddic yang masih mengusap wajah Te Ressa. Ben Eddic pun segera mengambil handuk dengan air dingin dan kemudian mendekati Te Ressa dan mendinginkan wajahnya. "Maafkan aku Te Ressa, aku salah. Maafkan aku," ujarnya berkali-kali.
Te Ressa bahkan menunduk dan tak bergeming dari tempat ia berdiri. Te Ressa takut pada Ben Eddic. Ben Eddic lupa kalau Te Ressa tak bisa mendengar suara yang terlalu keras. Ia akan shock dan seakan membayangkan bahwa dirinya sedang berada di masa lalu di mana ia sering dipukuli oleh ayahnya.
"Te Ressa?" Ben Eddic mengangkat dagu Te Ressa. Dan Ben Eddic mulai teringat akan perkataan Pamannya. Te Ressa memang takut pada Ben Eddic setelah Ben Eddic berteriak padanya dengan nada penuh emosi. Namun, di sana netra indah itu sudah berkaca-kaca.
Ben Eddic melepaskan apron yang Te Ressa pakai dan membawa Te Ressa untuk duduk di atas pangkuan Ben Eddic. Sembari menempel-nempelkan handuk dingin itu di bagian wajah dan leher Te Ressa yang terkena air panas dari teh chamomile yang tadi dibawakan Te Ressa.
"Heii Te Ressa, jangan menangis. Maafkan aku. Aku tidak tahu kalau kau yang membawakan makananku. Maafkan aku. Maaf jika aku sudah pulang selarut ini. Aku mengingkarinya." Ia berusaha untuk mengambil hati gadis manisnya itu.
Namun kini Ben Eddic dapat merasakan air mata Te Ressa mengenai tangannya. Ben Eddic merasa sangat bersalah kali ini. Pikirannya kalut karena semua kejadian yang menimpanya hari ini. Bahkan ia memarahi dan berteriak pada Te Ressa yang tidak bersalah.
Ben Eddic segera merengkuh dan mendekap tubuh Te Ressa ke dalam rengkuhannya.
"Jangan menangis, Te Ressa. Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk meneriakimu," ucap Ben Eddic yang berusaha menenangkan Te Ressa dengan mengusap kepala Te Ressa dan bahkan Ben Eddic mengecup pucuk kepala Te Ressa.
"A-aku takut denganmu, K-ka. K-kau mengerikan," ucap Te Ressa di sela-sela tangisannya.
Sejenak Ben Eddic terdiam. Ia tak menyangka jika Te Ressa memang menganggapnya seperti monster. Sosok yang sudah merobohkan pendiriannya, menganggapnya seperti orang yang mengerikan. Ben Eddic tak bisa berkata-kata selain kata 'maaf' yang keluar dari mulutnya.
"Aku ingin menjauhimu Kakak Ben Eddic. Kau mengerikan," Te Ressa membatin. Ia tidak sanggup mengatakannya secara terbuka.
Te Ressa masih menangis dalam diam dan ia masih dalam dekapan Ben Eddic. Ben Eddic terus menerus mengusap kepala dan punggungnya. Ben Eddic bahkan tak mengurangi eratnya pelukannya pada Te Ressa. Ben Eddic menaruh dagunya di atas puncak kepala Te Ressa. Ben Eddic enggan untuk banyak bertanya, karena ia tahu Te Ressa-nya sedang takut padanya. Ia hanya perlu menenangkannya. Emosi dan amarahnya bahkan menangkis apa pun yang berada didekatnya. Bahkan Te Ressa tak luput dari amarahnya. Ben Eddic mengakui kebodohannya ditambah ia sudah membuat Te Ressa ketakutan dan menangis.
"Apakah aku memang terlahir sebagai monster? Jika Te Ressa memiliki keberanian lebih, mungkin dia bisa saja membunuhku. Tapi seperti akan ada masalah besar ke depannya di rumah ini ... Lagi."
"Namun apa pun itu ... aku tidak akan melepaskanmu, Te Ressa. Bisakah kau lebih lama bersamaku walau pun kau memandangku sebagai monster?"
***
Setelah beberapa minggu yang lalu, Ben Eddic menolak mentah-mentah akan pernikahan ayah kandungnya, ternyata semua di luar dugaan Ben Eddic.
Pagi ini ia dikagetkan dengan sebuah undangan yang mengatas namakan dirinya di atas meja kerjanya. Senyum Ben Eddic pudar ketika melihat undangan berbalut emas. Ben Eddic membuka undangan itu, membaca ....
Jo Nathan Klein & Je Ssica
Ya nama itu yang tertera di sana, membuat pria itu menggeram. Ia tak habis pikir jika ayahnya benar-benar mengadakan pernikahan. Ben Eddic sudah tak dapat mengerti jalan pikiran ayahnya itu. Ia lelah dengan semua permainan ayahnya itu. Rasanya ia ingin mencoret namanya dari anggota keluarganya jika wanita yang merupakan mantannya dulu akan menjadi ibu tirinya nanti.
Seketika Ben Eddic terserang sakit kepala ketika melihat undangan dan nama yang tertera ditambah dengan banyaknya dokumen yang belum ia koreksi dan ditandatangani. Entah ke berapa kali ia menghela napasnya.
Hingga waktu makan siang pun, Ben Eddic masih sibuk di kursi kehormatannya dan menatapi setiap dokumen yang ada di hadapannya. Walau pun di ruangannya sudah terasa dingin karena AC. Namun Ben Eddic melepaskan jas-nya dan melonggarkan dasinya.
"Ck~ " Ben Eddic kembali menghela napasnya dan memijat dahinya. Bahkan mengabaikan panggilan berkali-kali dari ayahnya. Ia sudah muak dengan semua permainannya. Ingin rasanya ia membanting ponselnya itu ketika ayahnya meneleponnya lagi.
Ben Eddic bahkan hampir lupa jika ia ada meeting penting jika bukan Da Rius yang mengingatkannya. Da Rius merupakan manager perusahaan yang memang sangat sangat bisa diandalkan. Ben Eddic berdiri dari kursinya, menggulung lengan kemejanya hingga batas siku dan keluar dari ruangannya.
***
"Te Ressa ~" Mo Nica memanggil Te Ressa yang tengah mencuci piringnya di dapur. Mo Nica merangkul gadis manis itu sembari mengusap lembut kepalanya.
Te Ressa kini menoleh dan tersenyum pada wanita paruh baya yang masihlah cantik itu. "Ada apa, Bibi Mo Nica?"
"Kau tahu, besok lusa Tuan Jo Nathan akan menikah. Dan kita juga akan menjadi asisten dalam pernikahan itu untuk menghidangkan makanan di sana," jawab So Ra lembut.
"Kau tahu, besok lusa Tuan Jo Nathan akan menikah. Dan kita juga akan menjadi asisten dalam pernikahan itu untuk menghidangkan makanan di sana!" jawab Mo Nica lembut.
"Uwaah! Benarkah? Apa aku juga akan ikut Bibi Mo Nica? Aku akan bekerja sebaik mungkin dan tidak akan mengecewakan." Te Ressa tersenyum lebar menghadap Mo Nica.
"Iya Te Ressa sayang, kau juga akan ikut. Jadi persiapkan dirimu, ya, karena tamu Tuan Jo Nathan pasti akan sangat banyak dan tentunya mereka semua dari kalangan kaya raya dan berada. Jadi jangan membuat kesalahan sedikit pun." Mo Nica tersenyum sembari mengelus lengan Te Ressa. "Sekarang lanjutkan pekerjaanmu. Oh iya, makanan Coco dan Yoyo ada di belakang pintu. Kau tinggal ambil saja."
Te Ressa mengangguk dan segera menyelesaikan pekerjaannya mencuci piring. Setelah itu Te Ressa beranjak ke halaman belakang.