Chereads / Gadis Bisu: Jerat CEO BDSM / Chapter 19 - SI ULAR MUSNAH, JAHANAM PUN JADI

Chapter 19 - SI ULAR MUSNAH, JAHANAM PUN JADI

Tatapan mata Ben Eddic masih tertuju pada Te Ressa yang tak kunjung membuka matanya. Ia hanya bisa melihat perut dan dada Te Ressa yang kembang kempis karena menghirup oksigen. Ben Eddic yang duduk di samping Te Ressa dengan bersandar pada kepala kasur, hanya bisa melihat uap karbondioksida pada alat bantu pernapasan yang terpasang pada hidung dan mulut Te Ressa.

Ben Eddic mengusap rambut Te Ressa perlahan dan terkadang ia membenarkan selimut yang Te Ressa gunakan. Tangan Te Ressa masih terasa dingin ketika Ben Eddic memegangnya.

"Hey bocah, kapan kau mau bangun? Kau sudah menyiksaku dengan terlama tertidur. Haruskah aku mengecupmu supaya kau terbangun dari tidur?" ucap Ben Eddic bermonolog. Selagi Ben Eddic asik menatap wajah indah nan cantik itu, suara ketuka pintu dan buka kenop yang terbuka bahkan tidak mengalihkan pandangan Ben Eddic dari Te Ressa.

"T-tuan Muda, ini tehnya!" Itu Sora yang beberapa menit yang lalu ditugaskan untuk membuat teh dan datang ke kamar Ben Eddic.

"Taruh saja di nakas," singkat Ben Eddic yang saat ini masih asik memainkan jari-jemarinya pada rambut Te Ressa. Dan masih belum dapat mengalihkan pandangannya dari Te Ressa.

Mo Nica pun mengangguk dan kemudian menaruh nampan yang ia bawa di nakas. "Ada lagi yang Anda inginkan. Tuan?"

"Mo Nica, aku ingin bertanya padamu."

"Apa itu, Tuan?"

"Kau tahu siapa keluarga Te Ressa? Kau mengenal keluarganya?"

"Emm, maafkan saya, Tuan Muda, tapi saya tidak tahu siapa keluarga Te Ressa. Mungkin Tuan Jo Nathan mengenalnya. Karena ketika Te Ressa pertama kali datang, ia bersama pamannya. Dan sepertinya pamannya kenal dengan Tuan Jo Nathan," ucap Mo Nica dengan sopan.

Kali ini Ben Eddic mengangkat kepalanya dan menatap Mo Nica, mengalihkan pandangannya sejenak. "Datang dengan pamannya? Dan bertemu dengan ayahku? Pantas saja ayahku mengizinkannya bekerja di sini," sahut Ben Eddic yang kemudian melirik gadis manisnya..

"T-tuan Ben Eddic ...."

Ben Eddic hanya menoleh dan menunggu Mo Nica melanjutkan perkataannya.

"Saya mohon jangan sakiti Te Ressa. saya kasian padanya, Tuan. Dia anak yang kekurangan, saya mohon jangan pecat dia. Yang saya tahu, Te Ressa sudah tidak punya keluarga kecuali keluarga pamannya. Tapi keluarga pamannya juga tidak menerimanya karena dia cacat. Te Ressa akhirnya dijual pada Tuan Jo Nathan untuk membayar hutang pamannya. Saya mohon jangan sakiti Te Ressa atau bahkan membuangnya," ucap Mo Nica dengan suara lirih menahan tangisnya.

"Saya sudah menganggap Te Ressa seperti anak saya sendiri, Tuan. Ketika melihat Te Ressa, saya teringat pada anak saya yang juga tuna rungu dan sudah meninggal," sambung Mo Nica.

Raut wajah Ben Eddic seketika berubah mendengar penuturan Mo Nica mengenai Te Ressa dan sedikit asal-usulnya. Rahangnya mengeras dan ia merasa begitu sulit untuk menelan air liurnya. Semenderita itu kah gadis manis yang selama ini mengguncang pendiriannya? Jantungnya seakan berhenti beberapa detik mendengar bahwa gadis manis bermata biru ini tidak memiliki keluarga bahkan keluarganya pun menolaknya karena ia cacat.

Sejahat itu kah dunia ini?

Ben Eddic sadar bahwa dirinya juga kejam dan jahat. Ia pun otoriter dalam segala hal. Bahkan Jo Nathan pun bisa tunduk pada sifat otoriter Ben Eddic. Namun, sekejam apapun dirinya, ia masih memiliki rasa belas kasihan walaupun tidak secara langsung ia tunjukkan.

"Hapus air matamu, Mo Nica. Aku akan mengurus semuanya mengenai Te Ressa. Kau hanya perlu menjaga dan merawat Te Ressa kalau aku tidak ada. Dan tenang saja, aku tidak akan memecat apalagi membuang Te Ressa."

"Terima kasih banyak, Tuan Muda," ucap Mo Nica yang kemudian mengusap pipinya yang telah basah dengan air mata.

Selagi pembicaraan Ben Eddic dan Mo Nica berlangsung, keduanya tidak menyadari jika dibalik pintu yang tidak tertutup rapat itu, ada sosok Gi Selle yang mendengarkan semua pembicaraan itu. Tatapan mata Gi Selle hanya tertuju pada Ben Eddic yang sangat ini tengah mengusap rambut Te Ressa. Ia mengepalkan tangannya dan hatinya mulai panas melihat mengapa Ben Eddic begitu lembut pada gadis itu.

"Lihat saja nanti. Aku yang mengeluarkan Te Ressa dari rumah ini," monolog wanita jahanam itu.

***

Pukul 19.40

Jo Nathan baru saja menyelesaikan makan malamnya. Dan seperti biasanya, ia akan naik ke kamar dan mandi. Namun, ia dibuat kaget dengan sosok Ben Eddic yang berdiri di dekat pintu kamarnya.

"Oh! Ben?" kagetnya menyapa sembari menekan dadanya takut copot, "Kau sudah pulang?" tanya Jo Nathan yang kemudian mendekati Ben Eddic.

"Aku tidak bekerja hari ini!" singkat Ben Eddic singkat.

"Ah, apa karena kau marah pada A Qilla? Aku sudah mendengar semua kejadian di rumah ini," ucap Jo Nathan yang menatap Ben Eddic dengan tatapan fokus namun terlihat lelah.

"Itu salah satunya. Tapi aku tidak ingin memperpanjang masalah bodoh itu. Yang penting sekarang, katakan padaku siapa keluarganya Te Ressa."

"Keluarga Te Ressa? Untuk apa menanyakannya?"

"Jawab saja pertanyaanku, Pa. Aku tidak suka basa-basi,"ucap Ben Eddic geram.

Jo Nathan menghela napasnya. Ia lupa kalau anak satu-satunya ini paling tidak suka dengan basa-basi dan tidak suka dibantah. "Te Ressa hanya memiliki keluarga dari pamannya. Pamannya Bryan Graham. Kau pasti tahu dia kan? Bryan Graham yang pernah memiliki hutang uang pada kita, Ben!"

Ben Eddic mengangkat alisnya. "Bryan Graham ...? Karyawanku dulu? Karyawan yang pernah aku pecat itu?"

Jo Nathan mengangguk membenarkan. "Iya Ben, itu keluarganya Te Ressa. Bryan tidak bisa membayar semua hutang-hutangnya jadi ia hanya membayar setengahnya dan sisanya ia menjual keponakannya sendiri. Dan aku pun setuju dengan itu," jawabnya ringkas. Lalu melanjutkan dengan pertanyaan, "Ada apa? Kau tidak setuju, Ben? Kalau kau tidak setuju, kau bisa memecatnya."

"Tidak! Aku tidak akan memecatnya. Sekarang berikan aku kontak dan alamat Bryan."

Jo Nathan mengerutkan keningnya bingung. "Untuk apa, Ben?"

"Jangan bertanya, Pa. Jawab dan berikan saja. Aku membutuhkannya."

Jo Nathan tak habis pikir bagaimana ia dengan mudah menuruti semua keinginan dan perintah Ben Eddic. Dan Jo Nathan memang mengakui kalau anak tunggalnya ini memiliki kharisma untuk memimpin walaupun sikap otoriternya sangat kuat melekat pada dirinya.

Jo Nathan pun memberikan kontak dan alamat Bryan pada Ben Eddic sesuai dengan perintah Ben Eddic. "Ben, ada yang ingin Papa bicarakan padamu dan ingin penting sangat penting."

"Apa itu?"

"Tidak sekarang. Tapi aku berharap kau setuju akan keputusan Papa."

Ben Eddic hanya mengangguk dan berdehem. Ia sebenarnya sama sekali kurang tertarik dengan apa yang akan Jo Nathan, paling juga bisnis seperti biasa.

Kini ia berbalik dan meninggalkan Jo Nathan di depan kamarnya. Ben Eddic pun kembali beranjak ke kamarnya untuk menjaga Te Ressa walaupun Te Ressa sampai saat ini masih belum juga membuka matanya.

Ben Eddic menutup dan mengunci pintu kamarnya. Biarkan hanya dirinya dan Te Ressa di dalam kamarnya. Ia tidak ingin ada yang menganggu malam berduanya dengan Te Ressa. Ia hanya berharap Te Ressa membuka matanya dan memperlihatkan keindahan mata yang ia miliki.

Dibaringkannya tubuhnya di samping Te Ressa, sedikit mengangkat kepala gadis itu, dan menaruh posisi kepalanya berada di atas lengannya. Kini Ben Eddic dapat melihat Te Ressa dari beberapa centimeter saja. Ben Eddic mendekatkan wajahnya pasa Te Ressa berniat ingin mengecupnya. Namun ...

Ia mengurungkan niatnya. Ia menghela napasnya. Ben Eddic menempelkan keningnya pada pelipis Te Ressa dan merengkuh pinggang Te Ressa yang tengah tidur terlentang.

Beberapa saat kemudian, Ben Eddic mendekatkan bibirnya pada daun telinga Te Ressa. Ia mengecup ringan pada daun telinga Te Ressa.

"Aku tahu kau tidak akan mendengar suaraku walaupun bibirku sudah sedekat ini denganmu. Tapi ku berharap kau bisa merasakan sentuhan dan detak jantungku. Maafkan aku jika sampai saat ini aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku. Kumohon, tatap aku jika kau melihatku. Aku memang jahat dan kejam, tapi aku tidak ingin di tatap seperti monster olehmu."

Ben Eddic memejamkan matanya sejenak. Ia dapat mendengarkan napas Te Ressa yang samar-samar masuk ke dalam indera pendengarannya.

"Hey Bulan, bisakah kau tidak pergi dari malam yang indah ini? Jangan terlalu cepat untuk pergi dari singgahsanamu. Aku ingin masih merasakan betapa hangatnya malam ini walaupun terasa dingin sampai ke menusuk tulang ...

... Hey Bintang, bisakah kau bersinar lebih terang? Jangan terlalu malu untuk menunjukkan sinar indahmu, karena aku tidak akan melewatkan kesempatan untuk menatapmu!"

Ben Eddic yang masih berbicara dengan puisinya di dekat telinga Te Ressa, kembali mengecup daun telinga Te Ressa.

"Hey Te Ressa, bisakah kau membuka matamu? Ingatkah kau akan diriku? Aku adalah seseorang yang hatinya terguncang akan dirimu. Kau seperti sosok keindahan yang tanpa batas. Jika aku adalah seorang seniman, dan kau pahatannya, maka aku akan jatuh cinta padamu."