Te Ressa segera menyodorkan nampan itu pada Ben Eddic. Ben Eddic tersenyum tipis ... sangat tipis, namun matanya melirik perban di tangan kiri Te Ressa membuatnya mengernyitkan kening. Ben Eddic mengambil nampan itu dari tangan Te Ressa dan memegang tangan kiri Te Ressa menariknya untuk masuk ke kamarnya.
Mendapat perlakuan tiba-tiba itu, Te Ressa kaget dan hanya diam mengikuti Ben Eddic. Ditutupnya pintu dan saat ini ia melihat Ben Eddic menaruh nampan makan itu di atas meja dan mengambil kertas dan pulpen. Menuliskan sesuatu di sana.
Saat selesai, Ben Eddic mendekat, ia pun memegang tangan kiri Te Ressa yang terdapat perban itu ke udara dan menunjukkan tulisan di lembar kertas itu.
[Apa yang terjadi pada tanganmu? Kau terjatuh?]
Te Ressa membacanya dan menggelengkan kepalanya. Te Ressa menjadi ketakutan saat ini menatap Ben Eddic yang terlihat seperti akan marah padanya. Ben Eddic memberikan lembar kertas itu dan pulpen pada Te Ressa. Namun Te Ressa bingung harus menulis di mana atau bisa dikatakan Te Ressa bingung mencari alas untuk menulis.
Ben Eddic kehilangan kesabarannya. Ben Eddic paham apa yang dicari Te Ressa, ia pun mengambil kembali kertas dan pulpen itu dan menulis sesuatu di sana.
"Mencari alas? Gunakan dadaku untuk menulis. Anggap saja dadaku ini alas untuk menulis."
Te Ressa membaca tulisan itu memberi belalakan mata ketika kertas itu berada di dada Ben Eddic. Ben Eddic meraih tangan Te Ressa dan menempelkannya pada dadanya, membuat gadis itu tersentak. Seketika jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Jantungnya berdetak tak karuan diikuti tangan Te Ressa yang sedikit gemetar ketika harus menulis.
Ben Eddic? Ia bahkan harus menahan senyumnya. Entah ia senang atau apa, tapi jantungnya pun tak kalah berantakannya dengan Te Ressa walaupun ia tidak tahu bagaimana perasaan Te Ressa.
Diliriknya tangan mungil yang tengah menulis itu dan tangan kiri yang dibalut perban menahan kertas itu di dada bidangnya.
Entah kemana rasa lelahnya, namun Ben Eddic sangat senang bukan karena kenikmatan yang diberikan A Qilla, namun mata biru itu sedang menatapnya saat ini sembari menunjukkan tulisannya.
[Maafkan saya, Tuan Muda Ben Eddic, tadi sore saya memecahkan piring dan melukai tangan saya. Maaf sudah memecahkan piring mahal Anda. Anda boleh menghukum saya karena saya bersalah.]
Ben Eddic mengangkat alisnya ketika selesai membaca tulisan Te Ressa. Ben Eddic kembali menulis dan menunjukkan padanya Te Ressa.
[Kalau begitu aku akan menghukummu. Kau harus menemaniku di kamarku malam ini ... sama seperti kemarin. PAHAM?]
Te Ressa mengangguk dengan polosnya, walau sebenarnya Ben Eddic berharap setidaknya gadis itu memberi sedikit penolakan.
Namun sudahlah, kini tangan besarnya meraih tangan Te Ressa dan menyuruhnya duduk di sofa. Menarik nampan makan yang tadi Te Ressa bawa. Lalu menyodorkannya pada Te Ressa dan menunjukkan tulisan padanya.
[SUAPI AKU. Aku capek jadi kau harus menyuapi makan. Tidak ada penolakan dan lakukan perintahku.]
Begitulah isi pesan itu. Namun Te Ressa hanya mengangguk paham. Ben Eddic kini duduk di hadapan gadis itu yang mulai menyuapinya.
***
Pukul 00.15
Ben Eddic sudah menyelesaikan acara makannya yang disuapi oleh Te Ressa sekitar 15 menit yang lalu. Dan kini Ben Eddic masih harus memeriksa berkas dokumen yang ia bawa dari kantor. Posisi duduknya masih sama seperti tadi. Duduk di sofa dan menghadap Te Ressa yang sudah berkali-kali menguap.
"Tidurlah jika kau mengantuk," ucap Ben Eddic yang menyadari Te Ressa sudah berkali-kali menguap.
Beberapa menit kemudian ....
"Ah~ Ben kau bodoh. Dia kan tuli mana bisa dia mendengarmu!" Ben Eddic merutuki dirinya. Ia baru saja ingat jika Te Ressa tuna rungu. Namun ia mulai terdiam ketika melihat gadis yang ia maksud telah terlelap di atas sofa. Membuat Ben Eddic menegakkan tubuh dan sedikit mencondongkan badannya menatap Te Ressa yang tertidur masih terbalut apron kerjanya.
"Kau sudah melembutkan hatiku. Kau menjinakkan monster hanya dengan kepolosan dan tatapan menenangkan itu. Siapa kau ini sebenarnya? Aku akan mencari tahunya nanti."
***
Ben Eddic telah rapi dengan pakaian kerjanya. Dan ia telah membawa berkas-berkas dokumen yang sempat ia bawa dari rumahnya semalam. Dan ia pun membawa sebuah buku yang tidak setebal grafik penjualan sahamnya.
Ben Eddic duduk di kursi kebesarannya dan menarik puntung rokok.
Yaa bagi Ben Eddic, terkadang car menghilangkan penatnya adalah dengan merokok. Namun ia bukanlah penggila rokok seperti kebanyakan orang. Tidak hanya rokok, alkohol juga merupakan pelarian bagi Ben Eddic.
Kali ini, ia penasaran dengan sebuah buku yang Mo Nica berikan sebelum ia berangkat kerja. Tentunya Te Ressa masih tertidur di sofa miliknya. Ben Eddic menyandarkan tubuhnya yang tadi tegak dan merenggangkannya ototnya sejenak. Ben Eddic membuka buku itu.
Fingers Abjad ~ sampul buku itu.
Judul pada Bab 1 pada halaman itu. Ben Eddic semakin penasaran dengan terbukanya beberapa halaman awal pada buku itu dan ia pun menemukan basic dari abjad dalam bahasa isyarat. Setelah melihat halaman itu, Ben Eddic pun mencoba untuk memperagakannya. Ia melihat satu per satu abjad tersebut dan mencoba mengikutinya.
"Susah juga ternyata," pikir Ben Eddic yang berkali-kali mencoba dan mengingatnya namun masih terbilang sulit baginya. Ia bahkan berulang kali menghela napasnya berusaha mencoba lagi dan lagi. Dan pada akhirnya Ben Eddic harus menghentikan pembelajarannya dengan buku itu ketika A Qilla, sang Sekretaris masuk dan memberikan dokumen-dokumen baru.
"Bagaimana penjualan mobil kita bulan ini?" tanya Ben Eddic yang menerima dokumen-dokumen itu dan menandatanganinya tanpa menatap A Qilla sedikit pun.
A Qilla yang duduk di tepi kursi Ben Eddic, merangkul dan mengelus punggung pria itu. "Sangat baik bahkan meningkat 20% itu angka yang cukup bagus dan kemarin ada perusahaan yang membeli mobil dari kita dengan nominal yang cukup tinggi. Datanya sudah ada di dokumen itu semua."
"Hmm ... baguslah. Lanjutkan pekerjaanmu," ucap Ben Eddic dingin yang masih mengunci tatapannya pada dokumen yang ia tandatangani.
"Ughh ~ Ben Eddic," desau A Qilla yang tanpa aba-aba menjalarkan jari-jemarinya pada paha dan pangkal paha Ben Eddic.
"Dengar A Qilla, aku sedang tidak ingin bercinta dan aku masih harus mengurus banyak hal. Jangan sekarang!"
"Jangan sekarang ... tapi nanti, kan!" balasan A Qilla kini mengecup pipi Ben Eddic dan merengkuh lehernya dari samping. Dan penglihatan A Qilla teralihkan oleh sebuah buku yang asing menurutnya. Karena menurutnya, Ben Eddic tidak pernah membaca buku aneh semacam itu. Tangan A Qilla pun terulur untuk mengambil buku itu. "Buku apa ini? Terlihat aneh."
"Jangan pegang buku itu. Itu bukan milikku. Taruh saja kalau kau tidak tertarik," ucap Ben Eddic yang melirik A Qilla sejenak sebelum ia menaruh tatapannya lagi pada dokumen di atas meja.
Namun perintah itu hanyalah angin lalu saja bagi A Qilla sebab ia masih saja memegang buku itu.
"Bahasa isyarat? Untuk apa kau mempelajari ini, Ben?" tanya A Qilla yang membolak-balikkan halaman buku itu dan menatapnya dengan tatapan tak suka.