Serba hitam, itu adalah warna yang umum digunakan saat menghadiri acara pemakaman yang menandakan orang yang mengenakan warna itu sedang berkabung. Tak terkecuali Julian, pria yang kini tengah terduduk lemas di samping peti jenazah sang papa itu terlihat memakai pakaian serba hitam.
Wajah Julian tampak pias dan lesu menatap jasad sang papa yang terbaring di dalam peti jenazah, sama seperti yang dialami oleh Evan saat kematian Rhea. Kini karma telah berbalik mendatangi Julian, ada sebab maka ada juga akibat.
Duka mendalam yang Julian rasakan saat ini, masih belum ada apa-apanya dibanding dengan rasa duka di hati Evan yang kini sudah menjelma sebagai budak balas dendam. Lingkaran balas dendam yang tidak akan pernah ada ujungnya, semakin menyeret Evan dan Julian dalam pusaran dosa karena akan semakin banyak nyawa tak berdosa yang akan melayang sia-sia.
Dari kejauhan, sosok Fellix terlihat bersembunyi dari balik pohon berukuran sangat besar yang menjulang tinggi. Lelaki tua itu sedang berurai air mata menangisi kematian adik kandungnya, tapi pria itu tidak ada nyali untuk datang ke rumah duka setelah semua pengkhianatan yang ia lakukan terhadap sang keponakan–Julian.
Dari balik pohon juga Fellix melihat kedatangan Iris yang berpakaian serba hitam berjalan masuk ke dalam rumah duka, gadis yang dulunya terlihat feminim itu kini menjelma menjadi seorang Jaksa yang berwibawa.
Iris datang sendirian, ia hari ini mendapat cuti dari atasannya setelah berita kematian papanya tersebar di semua media. Mata gadis terlihat sembab, tapi ia terlihat kuat dan tegar. Dengan mata yang berkaca-kaca, Iris melakukan penghormatan terakhir, tak lupa ia mencium jasad sang papa serta mengelus pipi pria yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
Tangis Iris tiba-tiba pecah, kulit wajah putihnya dan hidungnya kini berubah memerah saat ia menangis. Gadis itu berharap mendapat pelukan dari sang kakak, namun kedatangannya sekarang ini rupanya tidak mendapat sambutan yang hangat dari Julian.
Jangankan pelukan, Julian bahkan enggan untuk menatap sang adik.
"Untuk apa kamu datang kesini? Bukankah aku sudah bilang kepadamu agar tidak kembali datang ke sini lagi?!!" Julian menatap Iris dengan tatapan dingin.
"Aku datang ke sini ingin bertemu dengan papa untuk yang terakhir kalinya, Iris juga anak papa, Kak!! Iris juga adik kak Julian, jangan terlalu kejam kepadaku," ucap Iris.
"Kamu sudah bertemu dengan papa, bukan?! Sekarang pergilah!! Dan seperti yang sudah aku bilang, kamu bukan adikku lagi. Sejak kamu memutuskan untuk pergi dari rumah dan memilih untuk menjadi seorang jaksa, hubungan kakak beradik di antara kita berakhir di hari kau pergi dari rumah," terang Julian dengan ekspresi wajah yang dingin.
"Kenapa kakak sekejam itu kepada Iris?"
"Bukan kakak yang kejam tapi kamu sendiri yang sudah membangun tembok pemisah antara kita, kalau saja kamu mau mengikuti perintah kakak untuk menjadi seorang pengacara. Kakak tidak akan menjadi sebenci ini kepadamu," jawab Julian emosi.
"Lantas apa bedanya antara pengacara atau jaksa? keduanya juga berhubungan dengan hukum," timpal Iris.
"Menjadi seorang Jaksa bukanlah cita-citamu!!! Kamu tidak pernah menyinggung masalah ini sejak kecil!! Lalu kenapa kamu ingin menjadi seorang jaksa yang nantinya kau pasti akan menyerangku?!"' nada suara Julian meninggi, ia begitu emosi saat ini.
Tatapan mata para pelayat kini sedang tertuju ke arah Iris dan Julian yang tengah berdebat, tak semestinya mereka berdua melakukan hal itu saat berada di rumah duka dan tepat di hadapan jasad Frederick yang terbujur kaku di dalam peti.
"Aku hanya mengikuti kata hatiku, Kak. Lagipula, papa juga tidak pernah melarang Iris untuk menjadi seorang jaksa, papa malah mendukung keinginan Iris. Kak, kita jangan bertengkar lagi, kasihan papa!! Biarkan papa tenang."
"Apa kamu pikir, papa bisa tenang sekarang?! Orang yang telah membunuh papa masih berkeliaran di luar sana, dan mereka pasti sedang merayakan pesta karena telah berhasil membunuh papa!! Kalau kamu memang ingin membuat jiwa papa bisa tenang di surga, cepat tangkap pembunuh papa!! Adili orang yang telah membunuh papa dengan kejam!!" Julian membentak Iris dengan kasar dan membuat air mata gadis itu meleleh.
"Baik!!! Iris pasti akan menangkap dan mengadili orang yang telah tega membunuh papa, Iris pastikan orang itu akan mendapat hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Di depan peti mati papa, Iris bersumpah untuk menegakkan hukum dan menyeret pembunuh papa masuk ke penjara hingga membusuk di dalamnya." Iris mengusap air matanya dan menatap wajah Julian dengan sorot mata penuh amarah.
"Bagus!! Penuhi sumpahmu itu, dan jiwa papa pasti bisa tenang di surga," ucap Julian.
Seulas senyum seringai tampak jelas dari sudut bibir Julian, setitik rencana penuh kelicikan timbul di dalam otaknya. Dengan bantuan dari Iris, Julian pasti bisa menghancurkan Evan–musuh bebuyutannya sampai menjadi abu.
****
Ciampino Aerporto–Roma, Italia .....
Evan dan Peter tengah menunggu kedatangan seseorang di arrival gate, hampir 2 jam lamanya. Banyak orang berjalan berlalu lalang di depan mereka, namun sosok Alice–adik perempuan Peter belum juga tampak batang hidungnya.
Peter terlihat sangat kesal, sampai ia berkali-kali mendengkus karena saking lamanya menunggu.
"Dasar Alice!! Kenapa tidak mengirim pesan sama sekali kalau pesawatnya ada keterlambatan?!! Untung dia naik pesawat, coba kalau naik kereta api atau bus, sudah aku gulingkan itu kereta dan juga bus–nya, salah sendiri telah membuatku menunggu terlalu lama." Peter terus saja mengomel sendiri sehingga membuat Evan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak kau gulingkan saja pesawatnya? Alice datang dari Amerika, Peter!! Dari Amerika ke Italia, memangnya bisa naik kereta api atau bus?!! Sepertinya saat ini otakmu sedang terguncang," timpal Evan sambil memijat keningnya.
Peter tersenyum lebar dan memamerkan deretan gigi putih bersihnya ke arah Evan. "Karena aku tidak kuat menggulingkan pesawat, lain lagi kalau aku menggulingkan pramugari cantik ke atas ranjang. Aku bisa dengan mudah melakukannya," selorohnya.
Evan mengelus dadanya mendengar ocehan Peter, sahabat sekaligus tangan kanannya itu selalu saja mengeluarkan kata-kata ajaib yang sukses membuat ketua Cosa Nostra itu mengelus dadanya.
Beberapa menit kemudian, para penumpang pesawat dari Amerika berhamburan keluar. Netra Peter dan Evan bergerak mencari sosok Alice dari kerumunan penumpang.
Seorang gadis bertubuh tinggi langsing berwajah cantik mirip dengan Peter terlihat menyeret koper berukuran sedang di tangan kanannya. Pakaian gadis itu terlihat sangat sederhana namun modis, ia memakai kaus berwarna putih keluaran dari salah satu brand ternama di dunia yang dipadukan dengan celana pendek, untuk alas kakinya ia memilih sneakers berwarna putih yang harganya sama dengan satu buah mobil.
"Alice!!" Peter melambai ke arah Alice, raut wajahnya terlihat sumringah dan sangat bahagia karena akhirnya ia bisa bertemu dengan adiknya.
Netra Peter berkaca-kaca, kedua tangannya terbuka lebar dan tak sabar ingin memeluk sang adik yang sudah lama terpisah dengannya karena harus menempuh pendidikan di Amerika. Setelah hampir 5 tahun lamanya mereka tidak bertemu, kerinduan Peter semakin tak terbendung lagi.
Alice juga melambai, gadis itu tersenyum lebar dan semakin mempercepat langkah kakinya untuk segera menghampiri kedua lelaki yang berprofesi sebagai mafia itu.
Alice berlari, mencampakkan kopernya begitu saja dan langsung memeluk tubuh kekar Evan, bukannya sang kakak–Peter. Mata Peter tidak jadi berkaca-kaca, malah sekarang pria itu terlihat sangat kesal karena kelakuan sang adik.
"HEI!! Kakakmu ada di sini!! Kenapa kamu malah memeluk Evan?! Apakah otak dan matamu masih terguncang gara-gara naik pesawat?!" Peter mengomel kesal sambil melipat tangannya di depan dadanya.
Alice bergeming, ia malah semakin erat memeluk tubuh Evan dan tidak memperdulikan omelan Peter.
"Kak Evan apa kabar? Alice kangen banget sama kak Evan," tanya Alice kepada Evan yang semakin membuat Peter semakin sewot.
"Ba–baik ... sekarang peluklah kakakmu, atau kakakmu pasti akan mengamuk dan akan menggulingkan semua pesawat di bandara ini kalau kamu terus mengacuhkannya," canda Evan seraya melepas pelukan Alice.
"Ehh, ada kak Peter. Maaf kak, Alice tidak lihat ada kak Peter. Salah sendiri tidak good looking seperti kak Evan, jadinya mata Alice cuma lihat kak Evan saja. Hehehee," kekeh Alice lalu beralih memeluk Peter yang wajahnya masih kesal.
"Uduh ... uduh!! Kasihan sekali kakakku ini yang suka mengomel kayak nenek-nenek," canda Alice seraya menepuk-nepuk pantat Peter seperti anak kecil.
"Dasar nakal!! Kalau begitu, jangan minta uang jajan sama kakak!! Kalau mau jajan atau shopping minta saja sama Evan, bukankah dia kakak kamu?" Peter gondok, ia menyentil dahi Alice lalu mencubit pipi Alice gemas.
"Awwhh!! Sakit!! Dasar kakak tidak punya hati," kesal Alice.
"Kalau kakak tidak punya hati, kamu adik yang tidak tahu diri!! Masa kakak sendiri tidak diakui," timpal Peter tidak mau kalah.
"Hehehee, maaf. Jangan marah dong," cengir Alice merangkul tubuh Petee seperti tanpa dosa.
"Cepat pergi sana, sama kakakmu yang good looking!! Minta uang jajan yang banyak sama dia," imbuh Peter seraya mendorong tubuh Alice menjauh darinya.
"Kenapa harus aku?! Aku tidak mau punya adik seperti dia, sudah makannya banyak, tukang kuras kantong juga," timpal Evan seraya berjalan meninggalkan Peter dan Alice, bulu kuduknya seketika merinding saat membayangkan Alice akan menjadi adiknya.
Peter kemudian mengikuti Evan dari belakang, pria itu mensejajarkan langkahnya dengan sang pimpinan Cosa Nostra. Dan kini, Evan dan Peter berjalan beriringan dan meninggalkan Alice di belakang yang sedang berlari panik mengambil kopernya yang tertinggal.
"Tungguin, dong!! Kalau kalian tidak mau mengakuiku sebagai adik, terus aku adik siapa, dong?" Alice berteriak sambil berlarian menyusul Evan dan Peter.
"Adik nenek lampir," sahut Evan dan Peter serentak.
****
Kantor Kejaksaan kota Roma, Italia.
Wajah Iris terlihat sembap, gadis itu menatap nanar ke arah tumpukan dokumen kasus yang akan ia tangani. Iris masih terpukul atas kematian papanya, rencananya hari ini Ia akan mengajukan kasus penyelidikan kematian papanya ke kepala jaksa.
Namun, saat ia hendak berdiri dari tempat duduknya. Netranya tiba-tiba tertuju kepada sebuah dokumen, ia pun kembali duduk di kursinya lalu ia mengambil dokumen kasus dan memeriksanya.
"Dokumen kasus kematian Rhea?! Sepertinya aku kenal nama ini, tapi di mana?"
Jari-jari Iris bergerak membalik halaman dokumen yang terlihat sangat tebal itu, dan alangkah terkejutnya ia saat melihat foto Rhea yang terpampang pada dokumen itu.
To be continued.