Matahari terlihat sudah meninggi, akan tetapi Alice masih tertidur pulas di kamarnya. Evan dan Peter diam-diam mengamati gadis itu dari balik pintu , saat dilihat sekilas tidak ada yang aneh dengan Alice bahkan cara tidurnya masih saja berantakan dan tidak karuan.
Selimut yang menggantung dan hampir jatuh, bantal-bantal yang sudah berserakan di atas lantai, suara dengkuran halus yang terdengar keluar dari mulut Alice. Semuanya masih sama dan tidak ada yang berubah sama sekali dengan adik kandung Peter tersebut, akan tetapi Peter masih saja mencurigai Alice dan selalu berpikir kalau adiknya sekarang ini sangat misterius dan sedang menyimpan sebuah rahasia darinya.
Evan menepuk pelan pundak Peter dan mengisyaratkan kepada sahabatnya itu untuk segera pergi dari kamar Alice, Peter segera menutup pintu kamar adiknya dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara berderit yang nantinya akan mengganggu tidur adiknya perempuannya. Setelah pintu benar-benar telah tertutup dan memastikan kedua lelaki itu sudah benar-benar pergi meninggalkan kamarnya, barulah mata Alice terbuka lebar, tangan gadis itu bergerak meraba di bawah bantalnya untuk mencari ponsel miliknya.
Kaki Alice turun dari ranjang lalu ia segera masuk ke dalam kamar mandi, memutar keran air hangat yang mengucur deras membasahi ujung rambutnya hingga seluruh tubuhnya. Selesai mandi Alice menyambar kemeja berwarna putih, menguncir rambutnya dan memakai setelan jas berwarna hitam lengkap dengan dasi dengan warna serupa yang dipadukan dengan celana kain berwarna hitam.
Setelah selesai bersiap, Alice segera turun ke lantai bawah dimana Peter dan Evan terlihat sedang duduk di sofa sembari membicarakan urusan bisnis. Netra kedua pria itu yang tadinya sedang fokus menatap lembaran dokumen di atas meja seketika beralih menatap Alice, dahi kedua pria itu mengerut, Evan dan Peter tampak sangat heran saat melihat penampilan Alice yang terlihat sangat berbeda kerena memakai pakaian formal serba hitam yang tentu saja membuat rasa penasaran Peter dan Evan semakin tergelitik.
Di dalam otak Peter menyimpan banyak sekali pertanyaan terkait penampilan rapih Alice yang tidak seperti biasanya. Sambil meletakkan dokumen yang ia pegang tadi di atas meja, Peter akhirnya melontarkan pertanyaan kepada Alice.
"Mau pergi kemana kamu dengan penampilan seperti itu?" tanya Peter dengan tatapan penuh selidik.
"Mau pergi bekerja lah, masa mau berenang," jawab Alice jujur yang diselingi dengan candaan.
"Alice, kakak serius. Jadi, jangan jawab pertanyaan kakak dengan candaan konyolmu," sahut Peter dengan mimik wajah yang tampak sangat serius.
Alice tersenyum heran menanggapi perkataan sang kakak, karena Peter tidak pernah terlihat seserius ini saat berbicara dengannya. Biasanya Peter selalu bercanda dan bersikap santai, tapi kali ini Peter benar-benar berbeda dan tidak seperti yang biasanya.
"Alice juga serius, Kak. Aku sudah menjawab pertanyaan kak Peter dengan jujur, tapi kenapa kakak malah memarahiku? Bukannya kakak sendiri yang menyuruhku untuk mencari pekerjaan? Tapi kenapa kak Peter jadi terlihat begitu heran saat aku bilang ingin pergi bekerja?! Seharusnya kak Peter merasa senang, atau setidaknya mengucapkan selamat kepadaku dan bukannya malah marah-marah tidak jelas seperti itu. Dasar kak Peter aneh," ujar Alice.
"Memangnya kamu bekerja dimana? Apa posisimu? Dan kamu bekerja di perusahaan apa?" tanya Evan yang memberondong Alice dengan banyak pertanyaan.
Mimik wajah Alice terlihat kesal karena Evan juga ikut-ikutan bertingkah menyebalkan seperti Peter. "Kenapa kak Evan malah ikut-ikutan Kak Peter dengan menanyakan banyak sekali pertanyaan yang harus aku jawab? Semua pertanyaan kak Evan dan kak Peter akan kujawab setelah aku pulang bekerja, karena sekarang ini aku sudah terlambat dan aku tidak mau mendapatkan hukuman di hari pertamaku bekerja. Oh iya kak Peter, aku mau pinjam mobil kakak, ya? Kalau naik bus nanti malah nggak keburu, aku pergi dulu, daah." Alice berjalan mendekati meja dan langsung menyambar kunci mobil Peter yang sedang tergeletak di dekat lembaran-lembaran dokumen yang dipelajari Evan dan Peter.
Alice bergegas menuju ke garasi untuk mengambil mobil Porche kakaknya, Peter langsung mengajak Evan beraksi dengan membuntuti Alice dari belakang. Mungkin dengan cara inilah Peter dan Evan bisa menguak tabir rahasia Alice yang selama disimpan oleh gadis itu , akan tetapi satu hal mengejutkan terjadi saat mobil yang dikendarai Alice masuk ke dalam Quirinal Palace, yaitu tempat tinggal Presiden. Evan dan Peter tampak sangat terkejut, netra yang membulat sempurna dan tenggorokan kedua lelaki itu tercekat sehingga mereka berdua tidak bisa berkata-kata.
****
Sementara itu .... Di Istana Kepresidenan, Departement Keamanan.
Alice melangkahkan kakinya dengan mantap memasuki ruangan Pimpinan Departemen Keamanan Kepresidenan, kedatangan Alice disambut dengan sikap dingin oleh sang pimpinan namun Alice tidak mau ambil pusing. Gadis itu berdiri tegap dengan kedua tangan yang sedang dalam posisi bersiap menghadap ke arah sang pimpinan.
"Alice Marchetti, kau sudah datang rupanya. Aku sudah mendengar semua tentang kemampuan pertahanan dirimu yang nilainya di atas rata-rata, karena itulah kamu mendapat rekomendasi khusus untuk menjadi salah satu pasukan khusus pengawal Presiden. Bukankah begitu?"
"Benar, Pak." Alexa menjawab pertanyaan sang pimpinan dengan nada suara yang terdengar tegas.
"Selamat bergabung di Quirinal Palace, bekerja keraslah dan lakukan semua pekerjaanmu dengan baik. Dan ingat baik-baik perkataanku, menjadi seorang pasukan khusus pengawal presiden tidaklah mudah karena kamu harus menggunakan tubuhmu menjadi tameng hidup untuk melindungi Presiden. Akan tetapi, itu bukanlah tugasmu yang sesungguhnya. Ingat!!! Jangan melakukan satu pun kesalahan yang membuat orang lain curiga dan jangan sampai identitasmu terbongkar sehingga nantinya akan mengacaukan misi utama kita," jelas sang pimpinan keamanan.
"Apakah kamu mengerti, Agen Alice?" tanya sang pimpinan
"Iya, saya mengerti, Pak."
Seorang laki-laki berusia 30 tahunan, berhidung mancung lancip dengan postur tubuh tinggi tegap tampak sedang memutar kursi yang didudukinya ke arah Alice. Lelaki berwajah tampan itu tampak tersenyum simpul seraya menatap wajah Alice, keduanya memang belum saling mengenal akan tetapi mereka berdua saat ini sedang menjalankan misi yang sama di dalam Istana Kepresidenan yang mengharuskan Alice dan lelaki itu saling bekerja sama nantinya
Sementara itu, sore harinya ....
Peter dan Evan saat ini tengah menunggu kedatangan Alice seraya duduk diatas sofa yang berada di ruang kerja Evan. Ekspresi wajah Evan terlihat sangat tenang tapi tidak dengan Peter, ekspresi wajah kakak kandung Alice itu terlihat sangat tidak tenang dan sangat gelisah.
Peter berjalan mondar-mandir seperti setrikaan dengan jantung yang berdebar kencang tidak karuan, pria jangkung bertubuh atletis itu sudah tidak sabar menunggu kedatangan Alice rasanya ia ingin sekali menginterogasi adiknya habis-habisan setelah ini. Tidak beberapa lama kemudian, orang yang Peter dan Evan tunggu pun akhirnya datang juga. Alice berjalan dengan santainya memasuki ruang kerja Evan.
"Alice, kau sudah pulang?!" Evan langsung bereaksi setelah melihat kedatangan Alice.
Alice mengangguk cepat. "Kata pelayan, kak Peter dan kak Evan sedang menungguku di ruang kerja, makanya sekarang aku datang ke sini."
Peter mendengkus kesal. "Iya!! Dan ada banyak hal yang ingin kita tanyakan kepadamu."
Peter yang sudah tidak sabaran langsung menghampiri adiknya, mencengkeram lengan Alice lalu menyeretnya dengan kasar dan mendudukkan adiknya di atas sofa.
"Awwh!! Sakit, Kak. Kak Peter kasar banget sih sama adek sendiri," protes Alice cepat.
"Jangan berbelit-belit!! Sekarang katakan kepadaku tentang pekerjaanmu yang sebenarnya? Kenapa kamu tadi masuk ke Quirinal Palace? Bukankah itu adalah tempat tinggal Presiden? Cepat jelaskan semuanya kepada kakak, dan jangan coba-coba sembunyikan satu hal pun dariku kalau kamu masih ingin menganggapku sebagai kakakmu," desak Peter.
To be continued.
'