Keringat dingin keluar dan membasahi dahi serta tubuh Evan, napas pria itu semakin tidak beraturan dan bibirnya terus saja memanggil nama Rhea dengan mata yang masih terpejam. Dari luar kamar Evan terdengar suara langkah kaki Peter yang berjalan masuk ke kamar sang pemimpin Cosa Nostra, pria itu berjalan menuju ke jendela lalu ia menyingkap kain gorden berwarna abu-abu dan membiarkan sinar matahari masuk dan menerangi kamar Evan yang tadinya gelap gulita tanpa penerangan cahaya sedikitpun.
Kelopak mata Evan terbuka namun ia masih menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina matanya, menguceknya perlahan kemudian lelaki bertubuh kekar itu duduk di atas ranjangnya dengan rambut yang terlihat berantakan namun tidak mengurangi sisi ketampanannya sama sekali.
"Mimpi buruk lagi?" tanya Peter yang saat ini masih berdiri di depan jendela kaca Evan dengan tatapan mata yang tadinya sedang menatap ke arah Evan kini telah beralih menatap ke arah taman.
"Selama dendamku belum sepenuhnya terbalas, aku rasa mimpi buruk yang aku alami setiap malam akan terus menghantuiku," jawab Peter.
Peter mendesah. "Perjalanan kita masih panjang, Evan. Bahkan masih belum setengah nya, sepertinya mimpi burukmu itu masih berlangsung sangat lama, bahkan nantinya akan semakin panjang. Dan kamu masih harus bersiap untuk kemungkinan yang lebih buruk."
"Aku tahu, dan aku sudah bersiap untuk menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi nantinya. Sejak aku memilih Rhea untuk menjadi istriku dari situlah aku sudah bersiap untuk menerima semua konsekuensinya. Tapi mungkin ini adalah hukuman dari Tuhan karena selama ini aku terlalu sombong dan selalu menganggap diriku sebagai pimpinan yang terkuat. Akan tetapi semua pikiranku salah dan aku pun akhirnya menyadari kalau aku tidak sekuat itu, bahkan tidak bisa melindungi wanitaku dan juga calon anakku. Karena rasa bersalahku inilah yang akhirnya terus menghantuiku,"
Peter kembali mendesah dan ia menoleh ke arah Evan. "Dan aku yakin setelah kamu mendengar berita dariku, kamu akan semakin dihantui mimpi buruk setiap malam karena berita yang aku akan sampaikan kepadamu akan membuatmu jantungan."
"Berita? Berita apa yang kamu maksud?" tanya Evan.
"Hari ini tersiar kabar tentang dihentikannya semua penyelidikan dan juga invetigasi kematian Rhea, beritanya sudah tersebar pagi ini dan dari pihak kejaksaan tidak memberikan klarifikasi apa pun terkait dihentikannya penyelidikan kasus Rhea. Pihak kejaksaan juga tidak memberikan alasan yang jelas dibalik keputusan mereka yang serba mendadak ini," jawab Peter yang membuat Evan sangat terkejut.
"Apa?! Apakah itu benar? Kenapa dari pihak kejaksaan tidak memberikan kabar langsung kepadaku?" tanya Evan mematikan dan ia masih terlihat tidak percaya dengan ucapan Peter.
"Untuk apa aku membohongimu, aku sendiri juga sangat kaget setelah mendengar beritanya, ingin rasanya aku obrak-abrik meja jaksa yang menangani kasus kematian Rhea. Jaksa itu sangat tidak kompeten dalam menangani kasus Rhea yang tidak mengalami kemajuan sama sekali," ucap Peter kesal.
"Tapi kenapa? Seharusnya mereka bisa menangani kasus ini dengan baik!! Siapa jaksa yang menangani kasus Rhea? Aku ingin bertemu dengannya, Peter."
"Baik, aku akan mengatur pertemuan kalian sesegera mungkin. Tapi mungkin pembicaraan kalian sia-sia saja karena penghentian penyidikan kasus Rhea adalah keputusan dari petinggi kejaksaan," ucap Peter.
"Aku tahu, tolong kamu atur saja pertemuanku dengan jaksa itu," sahut Evan.
Peter pun segera pergi meninggalkan kamar Evan, melaksanakan perintah dari Evan tanpa banyak berkata-kata.
Di sisi lain ....
Sebuah kabar yang sangat buruk di pagi hari nyatanya mampu menghancurkan hati dan mood orang-orang terdekat dengan Rhea, bukan hanya Evan dan Peter saja yang merasakannya, tapi juga Alice salah satunya yang.
Emosi Alice semakin memuncak sehingga semua barang menjadi sasaran amukannya, tak terkecuali cermin yang berada di kamar mandi. Dengan tangan kosong Alice menghantam cermin sampai seluruh permukaannya hingga hancur berkeping-keping yang kemudian terjatuh ke dalam wastafel, tetes demi tetes darah segar yang keluar dari punggung tangan gadis itu terjatuh di atas kepingan kaca dan tetesan darah tersebut perlahan-lahan tersapu air dan tersedot ke dalam lubang saat Alice menyalakan keran wastafel.
Meski tangan Alice terluka dan mengeluarkan banyak darah, gadis itu tidak memperlihatkan rasa sakit sama sekali karena rasa sakit yang sesungguhnya berasal dari dalam hati Alice. Gadis berambut panjang sebahu itu membasuh lukanya di bawah kucuran air keran sembari memikirkan sesuatu, gadis itu bergegas keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ke meja langsung mengambil perban di dalam laci mejanya.
Setelah itu Alice terlihat mengambil ponselnya dan langsung menghubungi nomer seseorang yang bukan berasal dari negara Italia, dari kode telepon negaranya menunjukkan dari salah satu kota di negara Amerika. Tidak lama, panggilan telepon dari Alice langsung diangkat oleh si penerima panggilan telepon.
"Lama tak mendengar suaramu Alice, aku pikir kamu sedang berlibur menikmati keindahan Trevi fountain yang selama ini aku inginkan. Oowh!! Aku sangat iri denganmu." Terdengar suara seorang perempuan yang mengangkat panggilan telepon dari Alice.
"Jean, aku baru mendengar kabar kalau kasus penyelidikan Rhea sudah dihentikan oleh kejaksaan, dan aku sangat yakin sekali kalau petinggi kejaksaan juga ada kaitannya dengan kasus kematian Rhea," jelas Alice
"Aku tahu, karena alasan itulah saat ini kamu berada di sana. Kasus ini tidaklah mudah dan sangat berbahaya, Alice. Jika identitasmu terbongkar maka habislah nyawamu karena orang-orang yang terlibat dalam kasus ini bukanlah orang yang sembarangan, mereka mempunyai kekuasaa dan uang. Maka dari itulah kamu harus sangat berhati-hati," ungkap Jean.
"Lalu ... apakah kepala keamanan presiden itu juga berada di pihak kita? Kenapa aku belum pernah melihatnya?" tanya Alice.
"Dia adalah seniormu, seorang agen dengan kemampuan bertarung dan otak yang mendekati kata sempurna. Mungkin sikapnya agak sedikit minus tapi percayalah, dia adalah yang terbaik dan semoga kalian bisa bekerja sama dengan baik. Dan aku sudah mengirimkan sebuah kado yang nantinya bisa kamu jadikan sebagai senjata, pergunakan baik-baik kado dariku dan bekerja keraslah,'' jawab Jean.
"Oke, aku tutup teleponnya."
Sambungan telepon diakhiri Alice, gadis itu melempar ponselnya sembarangan ke atas ranjang lalu membalut perban pada lukanya dengan menggunakan tangan kiri yang dibantu dengan mulutnya. Gadis itu kemudian bersiap-siap untuk pergi 'bekerja' sekaligus menjalankan misinya.
*****
Gedung Kejaksaan .....
Iris menatap pias ke arah dokumen kasus Rhea, emosi gadis itu menjadi campur aduk setelah kasus yang terlanjur ia tangani mendadak ditutup tanpa alasan yang jelas. Namun firasat Iris mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dibalik ini semua, dan gadis itu tidak akan mau menyerah begitu saja hanya karena kepala Jaksa atau pimpinan kejaksaan sekalipun.
Iris bergegas bangkit dari kursinya, mengunci pintu kantor dan mulai mengeluarkan ponselnya. Gadis itu mulai memfoto lembar demi lembar dokumen kasus kematian Rhea dengan sangat cepat karena ia tidak mau ada seseorang yang mengetahui perbuatannya, karena dokumen yang saat ini ia pegang sifatnya rahasia dan jika Iris sampai ketahuan maka karirnya sebagai jaksa bisa langsung berakhir.
TOK TOK ..
Tepat di dokumen terakhir yang ia foto, suara Malvino yang terus memanggilnya untuk dibukakan pintu. Iris segera memasukkan ponselnya ke dalam saku kemudian ia berjalan menuju ke pintu dan membukanya agar Investigatornya bisa masuk.
"Jaksa Iris sedang apa tadi? Kenapa pintunya harus dikunci?" tanya Malvino.
"Tidak sedang apa-apa, tiba-tiba saja pengait bra-ku terlepas. Apa kau mau aku memperbaiki pengait bra di hadapanmu?" Iris dengan cepat berbohong agar Malvino tidak mencurigai dirinya.
Wajah Malvino seketika memerah. "Ti–dak, bukan itu maksudku."
"Oke," timpal Iris cepat dan bersikap santai.
(Suara telepon berdering) Malvino segera mengangkat telepon dan menjawabnya, asisten Iris itu kemudian meletakkan gagang teleponnya.
"Jaksa Iris, baru saja ada salah satu anggota keluarga Rhea menelepon dan mereka minta untuk bertemu," lapor Malvino.
"Keluarga Rhea? Siapa?" tanya Iris dengan dahi mengernyit.
"Tuan Evan Luciano," jawab Malvino.
DEG !!
Jantung Iris seketika berdebar kencang setelah mendengar nama Evan disebut, gadis itu terlihat salah tingkah dan tidak bisa dipungkiri kalau hatinya sangat senang saat ini.
"Baik, tolong hubungi mereka untuk mengatur tempatnya dan sebaiknya sebelum jam makan siang hari ini karena setelah jam makan siang aku pasti sangat sibuk," titah Iris yang langsung dilaksanakan oleh Malvino.
Pukul 11.35 ...
Evan sekarang ini sedang mengangkat cangkirnya kemudian menyesap kopi yang sudah dingin itu sampai tinggal separuh, Evan saat ini sedang ditemani oleh seorang gadis cantik bermata indah yang selama ini selalu dibencinya tanpa alasan yang jelas. Dan wanita itu adalah jaksa Iris, saat ini Evan, Peter dan Iris sedang berada di di privat room di salah satu restoran mewah yang sengaja dipesan oleh Peter agar mereka bisa leluasa untuk berbicara.
"Cepat katakan kepadaku, apa yang ingin kalian ketahui tentang kasus Rhea? Bukankah itu alasan kalian mengajakku datang kesini, 'kan?" tanya Iris santai.
"Iya, aku ingin tahu alasan yang membuat kejaksaan menghentikan kasus Rhea. Bisakah kamu jelaskan kepadaku," jawab Evan.
Iris mendesah. "Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu apa alasannya," ucap Iris.
Raut wajah Evan terlihat sangat kesal. "Apa kamu sedang bercanda? Ini adalah masalah yang serius, ini menyangkut 2 nyawa yang sudah diambil paksa dengan cara yang sangat kejam dan kamu dengan entengnya mengatakan kalau kamu tidak tahu apa-apa!!"
"Aku juga tidak sedang bercanda tuan Evan, bahkan pihak petinggi kejaksaan tidak memberitahuku alasannya, lalu bagaimana aku bisa memberitahumu? Bukan hanya anda yang marah, tapi saya juga marah karena saya merasa tidak dianggap sebagai seorang jaksa," sahut Iris
"Bohong!! Bukankah kamu bekerja untuk mereka? Tapi kenapa kamu tidak tahu apa-apa? Jangan membohongiku lagi," pekik Evan seraya memukul meja dan membuat Iris terkejut.
Iris mendesah, ia sendiri sedang bingung dan mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya kepada Evan yang sudah sangat emosi. "Aku memang bekerja di sana, dan penghentian penyelidikan kasus Rhea, itu semua adalah keputusan dari petinggi kejaksaan untuk menutup kasus Rhea. Sedangkan aku hanyalah jaksa biasa yang tidak memiliki kekuasaan untuk mencegahnya."
"Kalau jaksa sepertimu saja tidak bisa melindungi warga sipil, lalu untuk apa hukum diciptakan kalau tidak bisa memberi keadilan kepada warga sipil?! Kalau hukum tidak berpihak kepadaku, maka aku yang akan menciptakan hukumku sendiri."
Evan langsung berdiri dari tempat duduknya, saat pria itu hendak pergi, tiba-tiba saja lengannya dicengkeram oleh Iris yang seketika itu juga menghentikan langkah Evan.
"Apa yang akan kamu lakukan? Katakan kepadaku!!"
"Itu bukanlah urusanmu!!" Evan menepis kasar tangan Iris lalu berjalan pergi menuju ke pintu.
To be continued