"Bisa kamu jelaskan kepadaku, apa salahku? Kenapa kamu selalu saja bersikap dingin kepadaku dan selalu menatapku dengan tatapan kebencian?" tanya Iris yang terus mengekor di belakang Evan.
Evan sebenarnya merasa sangat jengah karena terus diikuti Iris, tapi pria itu tetap berjalan menuju D' Angelo Caffe tanpa memperdulikan Iris yang terus mendesaknya untuk menjawab pertanyaannya.
"Hey, Evan! Pria dingin berhati kejam! Tidak bisakah kamu menjawab pertanyaanku?" Iris berteriak kencang dan membuatnya menjadi pusat perhatian orang-orang dan membuat langkah Evan seketika berhenti.
"Hehee ... scusi mi!" Iris tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya ke arah orang-orang yang sedang menatap dirinya sambil terus meminta maaf walau dengan suara yang pelan.
Evan berbalik dan berjalan menghampiri Iris, pria berbadan tinggi tegap itu sekarang berdiri tepat di hadapan Iris, perbedaan tinggi badan yang sangat mencolok sangat jelas terlihat diantara keduanya. Sehingga gadis itu harus mendongakkan kepalanya untuk bisa menatap wajah Evan secara langsung.
"Kamu bilang apa tadi? Aku pria dingin berhati kejam? Apa ada sebutan yang lain lagi?"
Iris menelan saliva, ia kini sedang dalam masalah karena telah berani mengganggu Evan. "I–itu ... aku, aku .... itu salah kamu sendiri 'kan yang selalu mengabaikan semua pertanyaanku. Aku hanya ingin tahu apa kesalahanku sehingga kamu selalu bersikap dingin dan mengabaikanku," ucapnya sambil menundukkan kepala dan sesekali melirik wajah Evan dengan kaki kanan yang bergerak menendang batu-batu kecil.
"Tidak!! Kenapa semua kebiasaan, tingkah polah, gaya berbicara bahkan warna kornea mata Iris hampir sama dengan Rhea? Bagaikan dua saudara kembar tapi berbeda wajah, tapi Rhea adalah seorang anak yatim piatu yang diangkat anak oleh keluarga Alessio. Apakah mungkin kalau mereka adalah saudara? Ah, itu tidak mungkin," batin Evan.
"Kamu mau tahu jawabannya?"
Iris langsung mengangguk.
"Karena aku sangat mencintai seorang wanita, tapi dia sudah pergi meninggalkanku. Kornea mata, cara berbicaramu, cara berpakaianmu dan semua yang ada di dalam dirimu sangat mirip dengan wanita itu," jelas Evan dengan raut wajah yang terlihat sendu.
Iris mendongakkan kepalanya dengan telapak tangan yang bergerak menyentuh dadanya karena terasa sangat sakit.
"Sekarang kamu sudah tahu jawaban dari semua pertanyanmu, sekarang pergilah! Jangan pernah mendekat atau mengikutiku lagi," usir Evan yang membuat wajah Iris terlihat sangat sedih dengan netra yang berkaca-kaca.
Evan berbalik lalu meninggalkan Iris yang masih berdiri terpaku di tempatnya sambil menatap punggung Evan yang kian menjauh darinya, Pria itu kemudian masuk ke dalam mobil hitam mewah yang terparkir di depan kafe D' Angelo.
Mobil Evan bergerak, melewati Iris yang masih saja berdiri di tempatnya sambil menatap mobil Evan yang semakin menjauh darinya kemudian menghilang.
"Tuhan, apa aku sedang jatuh cinta? Tapi kenapa Kau ciptakan cinta, kalau hanya untuk menyakiti hati? Entah sejak kapan perasaan ini muncul, yang aku tahu hanyalah jantung ini selalu berdebar saat berada di dekat Evan dan jantung ini pula yang selalu berteriak memanggil nama Evan. Apa yang harus aku lakukan saat jantung ini bergejolak saat Evan pergi menjauh?"
Ospedale Sant'Eugenio, Roma (Rumah Sakit)
"Ini, aku bawakan makanan untukmu," ucap Evan seraya menyodorkan makanan kepada Peter yang langsung disambar dengan kasar oleh pria yang sedang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.
Evan tersenyum saat melihat makanan rumah sakit yang sama sekali tidak disentuh oleh Peter, dan lirikan tajam Peter langsung terarah kepada Evan, sebagai bentuk kekesalannya.
"Wuah!! Kamu benar-benar lelaki tak punya hati dan perasaan, Evan! Kamu telah membuatku kelaparan sepanjang hari dan hampir membuatku mati," cibir Peter yang semakin membuat Evan tersenyum.
"Hari ini sudah ada 2 orang yang mengatakan aku adalah pria yang kejam, jadi aku sudah mulai terbiasa sekarang," ucap Evan yang membuat dahi Peter mengerut.
"Wiih!! Selain aku, siapa yang telah berani mengatakan itu kepadamu? Apakah dia sudah bosan hidup?" tanya Peter penasaran sambil melahap pasta yang dibawakan oleh Evan.
Hanya dalam beberapa menit saja, pasta itu langsung ludes dilahap oleh Peter yang sedang kelaparan.
"Gadis itu, yang mirip dengan Rhea," jawab Evan dan langsung membuat mata Peter melotot saking terkejutnya.
"Gadis itu? Yang waktu itu kita tidak sengaja bertemu di Trevi Fountain?" tanya Peter memastikan yang langsung diangguki oleh Evan.
"Kamu tadi bertemu dengan gadis itu lagi?"
Evan mengangguk.
"Dimana?"
"Di depan kafe D' Angelo," jawab Evan.
"Wuah!! Kalian pasti berjodoh! Makanya kalian berdua selalu bertemu," ucap Peter asal yang dihadiahi Evan sentilan di dahi Peter.
"AKKKHH!! Evan!! Sakit, kamu hobi sekali sih menyiksaku," kesal Peter sembari memegangi dahinya yang kini berwarna merah akibat sentilan tangan Evan.
"Jangan asal bicara! Tujuanku sekarang ini adalah untuk membalas dendam kepada Julian atas kematian Rhea! Aku sudah tidak mau lagi memikirkan tentang cinta atau gadis manapun juga," tegas Evan.
"Aku tahu," ucap Peter.
Evan menghela napas panjang, yang ia pikirkan saat ini hanyalah membalas dendam. Meskipun ia adalah pimpinan mafia Cosa Nostra, bukan perkara yang mudah untuk menghabisi Julian. Butuh rencana yang sangat matang dan kekuatan yang lebih besar untuk bisa memuluskan niat balas dendamnya.
"Cepatlah bersiap! Karena sore ini juga, kamu akan kupindahkan ke rumah sakit keluargaku," suruh Evan yang hanya ditanggapi lirikan tajam Peter.
"Ada apa lagi? Apa kamu mau tetap dirawat di rumah sakit ini dan mengambil risiko untuk diserang oleh Julian?" tanya Evan.
"Bantu aku, Evan! Kamu kira aku bisa berdiri sendiri dengan luka seperti ini," pinta Peter dengan nada sedikit kesal.
Evan menuruti permintaan Peter, ia membantu Peter berkemas lalu membantunya bangun dan memindahkannya ke kursi roda. Meski harus menahan rasa sakit ia tetap saja menuruti kata-kata Evan.
"Evan! Tolong bawa aku pulang ke rumah saja, rasanya keadaanku akan cepat membaik kalau aku berada di rumah," pinta Peter lemah.
"Apa kamu yakin?" tanya Evan memastikan yang dibalas dengan anggukan lemah Peter.
"Baiklah, kita pulang sekarang. Nanti aku bisa menyuruh dokter pribadiku untuk datang merawatmu," ucap Evan melanjutkan.
Beberapa saat kemudian ...
Evan dan Peter sudah sampai di mansion, dengan hati-hati Evan memapah Peter berjalan ke dalam kamarnya. Meski harus susah payah serta harus menahan rasa sakit, sebagai pria sejati, pantang bagi Peter untuk mengeluh.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Evan.
"Aku tidak sedang baik-baik saja, Evan. Biarkan aku beristirahat sebentar, kepalaku terasa sangat sakit," jawab Peter lemah.
"Baiklah, kamu istirahat saja dulu! Aku akan atur seorang dokter dan suster untuk merawatmu."
"Hmm ...."
"Kalau butuh apa-apa, aku berada di ruang kerjaku."
"Oke."
Tidak sampai hitungan menit, mata Peter sudah terpejam dan tertidur lelap di dalam kamarnya yang berukuran luas. Diam-diam Evan menatap wajah Peter yang terlihat pucat karena harus menahan rasa sakit akibat terlalu banyak bergerak. Sejujurnya Evan merasa tidak tega melihat kondisi Peter yang lemah, bagaimanapun juga, Peter telah menyelamatkan nyawanya dengan berusaha keras melindungi Evan selama misi penjarahan emas berlangsung.
Setelah memastikan Peter baik-baik saja, Evan segera melangkah turun ke ruang kerjanya diikuti oleh salah satu orang kepercayaannya dari belakang.
"Apa kamu sudah melakukan perintahku?" tanya Evan.
"Sudah, Tuan. Saya sudah meletakkan 2 peti emas ke dalam ruang kerja tuan Evan," jawab sang anak buah seraya membukakan pintu untuk Evan.
Saat Evan masuk ke dalam ruangan kerjanya, Ia sudah melihat 2 peti emas sudah diletakkan di atas lantai yang beralaskan karpet bulu mahal buatan negara Paris, Perancis.
Evan kemudian berjongkok dan memeriksa satu per satu emas di dalam peti.
"Bagus! Kerja yang sangat bagus," puji Evan kepada anak buahnya yang telah menjalankan semua perintahnya dengan sangat baik.
"Maaf, Tuan. Kalau boleh tahu, untuk apa emas-emas itu diletakkan di sini?" tanya sang anak buah penasaran.
"Aku akan membagikan 2 peti emas ini untuk membantu orang-orang miskin yang kelaparan ataupun sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan dan lain sebagainya," ujar Evan.
To be continued.