Chereads / I'll Kill You With My Love / Chapter 16 - Bab 16. Menghabisi Nyawa Papa Julian.

Chapter 16 - Bab 16. Menghabisi Nyawa Papa Julian.

"Kak Julian, sa–kit. Lepasin Iris," pinta Iris seraya memukuli tangan sang kakak agar mau melepaskan cengkeraman tangan yang mencekik leher jenjangnya, wajahnya memerah dan ia hampir kehabisan napas.

Julian bergeming, ia sudah kadung murka karena Iris sudah menentang perintahnya. Saat tubuh Iris sudah melemah dan hampir kehabisan napas. Julian baru mau melepaskan cengkeraman tangannya, tubuh mungil Iris merosot ke lantai, ia terbatuk-batuk berusaha untuk menghirup oksigen dan mengatur napasnya yang terengah-engah.

"Pergilah!! Pergi menjauh dariku!! Kalau kamu berani mendekat, aku khawatir akan kehilangan kesadaran dan membunuhmu." Julian mencoba untuk meredakan emosinya dengan membalikkan badan dan tak mau melihat wajah Iris.

"Apakah kakak harus sekejam itu kepadaku? Apa kak Julian benar-benar ingin membunuhku hanya karena aku lebih memilih untuk menjadi seorang jaksa dari pada menjadi pengacara?" netra Iris berembun dan seketika berubah menjadi bendungan air mata.

"Benar, aku memang sekejam itu! Karena suatu hari nanti, cepat atau lambat. Kamu pasti akan menjadi musuhku karena pekerjaanmu itu, lalu ... manakah yang akan kau pilih? Menangkap dan menghukum mati kakakmu karena menjalankan bisnis obat-obatan terlarang ataukah kamu mau menjadi pengacara yang akan membela kakakmu ini saat berurusan dengan hukum? Itu adalah pilihanmu saat ini, kalau kamu tetap memilih untuk menjadi seorang pengacara, kamu bisa tetap tinggal di rumah ini, tapi kalau kamu memilih untuk menjadi Jaksa, maka pergilah dari rumah ini dan jangan pernah lagi menganggapku sebagai kakakmu lagi,'' tegas Julian lalu beranjak pergi meninggalkan kamar Iris yang sedang menangis.

Julian berjalan ke ruang kerjanya, ia kini sedang duduk termenung dan menunggu keputusan apa yang dipilih oleh sang adik. Apakah Iris tetap bersikeras memilih untuk menjadi jaksa atau pengacara, dan beberapa menit kemudian sang adik mendatangi Julian dengan menyeret sebuah koper berukuran besar yang ia tinggalkan di depan pintu.

"Jadi keputusanmu sudah benar-benar bulat?" tanya Julian yang diangguki oleh Iris.

"Maafkan Iris, Kak. Menjadi seorang jaksa adalah impian Iris sejak kecil, dan Iris tidak akan pernah melupakan kebaikan kak Julian. Suatu hari nanti, Iris pasti akan membalas semua jasa-jasa kak Julian. Iris pamit dulu, tolong jaga papa dan mama baik-baik," pinta Iris yang kemudian membungkukkan badannya dan berjalan pergi keluar pintu.

BRAKKK!!

Julian menggebrak meja kerjanya dengan sangat keras, rahang Julian mengeras dan terdengar suara giginya yang bergemeretak menahan amarahnya yang sudah tak terbendung. Dimulai dari Fellix, lalu adiknya Iris. Satu per satu orang-orang terdekatnya mulai pergi meninggalkan dirinya.

Tidak ada lagi yang tersisa, kini Julian harus menghadapi semuanya sendirian. Bahkan kini kekuatan Evan semakin bertambah kuat seiring dengan kekayaannya yang semakin bertambah dari hasil jarahan harta emas dari Fellix dan juga harta dari sang jutawan yang berhasil Evan kuasai.

"Berengsek!! Bahkan semesta kini telah berpihak kepada Evan!! Lalu ... apa yang aku punya sekarang? Aku harus memikirkan cara agar aku bisa memperkuat kekuasaanku," ujar Julian sembari memeras otak.

*****

Cahaya matahari pagi bersinar terang menerangi semesta, Evan yang masih terlelap tidur bergerak tidak nyaman ketika secercah sinar itu menerobos masuk dari celah jendela kamarnya dan menerpa wajahnya.

Evan melenguh pelan, kelopak matanya menyipit, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Kepala Evan terasa berputar-putar dan sangat pening karena semalam ia terlalu banyak minum saat berada di klab malam miliknya, pria berjambang tipis itu bahkan tidak ingat bagaimana ia bisa tidur nyenyak di atas ranjangnya yang nyaman.

Tapi Evan sangat yakin, kalau Peter pastilah orang yang sudah bersusah payah menggendongnya dan pasti setelah ini Peter akan masuk ke dalam kamarnya dengan membawakan secangkir kopi pahit sambil mengomel.

" 3 ... 2 ... 1,'' hitung Evan dengan suara lirih.

KRIIIEEKKK!! Pintu kamar Evan tiba-tiba terbuka tepat setelah ia berhitung, kepala Peter terlihat menyembul saat memasuki kamar Evan dengan membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat sebuah cangkir yang berisi kopi hitam pekat tanpa gula yang ia buat sendiri.

"Evaan, bangun!! Kenapa kamu selalu saja membuatku susah?! Sepertinya kamu harus mulai mengurangi minuman beralkohol, punggungku sakit semua gara-gara harus membopongmu dari halaman rumah sampai ke kamarmu. Kenapa kamu tidak membangun lift saja sih? Supaya aku tidak capek-capek menaiki tangga sampai kakiku rasanya mau patah," omel Peter panjang lebar seraya meletakkan nampan di atas meja yang terbuat dari marmer mahal yang berada di dalam kamar Evan.

Evan hanya tersenyum mendengarkan omelan Peter, saat Rhea masih hidup. Kepalanya akan terasa hampir pecah karena Harus mendengarkan omelan Rhea dan Peter bersamaan. Namun kali ini hanya Peter yang mengomelinya setelah Rhea meninggal dunia

"Kenapa kamu malah tertawa? Cepatlah bangun, Evan!!! Kita masih punya banyak pekerjaan dan misi penting yang harus dikerjakan hari ini," kesal Peter.

Evan pun bangkit dari ranjangnya, ia hanya menepuk bahu Peter pelan lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Tangan Evan bergerak menyalakan shower, kepalanya mendongak ke atas sehingga guyuran air jatuh tepat di wajahnya yang terasa seperti sedang dipijat.

Setelah selesai mandi dan tubuhnya kembali terasa segar, Evan lantas berjalan menuju ke jendela sambil menyesap kopi hitam pahit buatan Peter yang sudah mulai dingin. Pimpinan Cosa Nostra itu sangat menyukai kopi hitam tanpa gula yang sudah dingin, dimana rasa pahitnya akan tertinggal setelahnya.

"Evan, cepatlah bersiap! Kita harus terbang ke Milan karena ada meeting penting di sana tepat pukul 01.00 siang, setelah itu kita akan langsung terbang ke Las Vegas untuk meeting dengan–"

"Batalkan semua! Karena ada pekerjaan yang lebih penting dari itu semua," titah Evan dengan entengnya setelah ia memotong pembicaraan Peter.

"Whatt!! Apa kamu bilang?! Dibatalkan semua? Apa kamu masih mabuk, Evan? Jangan bercanda seperti itu! Kita bisa kehilangan uang ratusan juta dollar kalau kita batalkan semua meeting hari ini," pekik Peter setengah tidak percaya dengan ucapan Evan.

"Apakah ekspresi wajahku terlihat sedang bercanda?!"

Peter menghela napas panjang, ia memperhatikan wajah Evan yang kini terlihat sangat serius, itu artinya keputusan Evan sudah benar-benar bulat dan perintahnya tidak bisa dibantah. Yang Peter bisa lakukan hanyalah menuruti perintah Evan tanpa bantahan.

"Apa yang kita lakukan? Apakah pekerjaan yang akan kita lakukan ini berhubungan dengan Julian?" tanya Peter dengan tatapan penuh selidik.

"Aku tidak akan bersikap baik lagi kepada Julian, Peter!! Kali ini, aku tidak akan menyerang bisnisnya. Tapi aku akan menyerang hatinya, aku akan membuat Julian merasakan rasa kehilangan yang teramat perih seperti yang aku rasakan saat ini,'' jelas Evan penuh rasa kebencian.

"Siapa yang akan kamu serang kali ini, Evan?"

"Orang tua Julian," jawab Evan dengan sorot mata yang sangat tajam dan senyum yang menyeringai.

"Baiklah!! Katakan apa rencanamu, dan kapan kita akan beraksi?" tanya Peter seraya meletakkan dokumen yang ia pegang sedari tadi di atas meja.

Evan lantas menceritakan semua rencananya kepada Peter secara detail, Peter terlihat memperhatikan dan mendengarkan rencana Evan dengan seksama.

"Baiklah, aku mengerti."

"Kalau begitu, kita berangkat sekarang juga!"

"Evan!! Apakah kamu sudah sangat yakin, akan menghabisi seluruh keluarga Julian?" tanya Peter saat tengah berjalan yang membuat langkah kaki Evan terhenti.

"Kenapa memangnya? Apa kamu tidak yakin, Peter?"

"Evan!! Akan ada banyak darah yang tertumpah, akan ada nyawa orang yang tidak bersalah yang akan melayang sia-sia. Semua ini berawal dari dendam dan kita juga tidak tahu, pihak siapa yang akan keluar sebagai pemenangnya. Aku hanya ingin mengingatkanmu, setelah kita berhasil membunuh orang tua Julian, maka orang-orang yang berada di sekitar kita pasti akan menjadi sasaran balas dendam berikutnya. Apakah kamu sudah siap?" tanya Peter.

"Peter!! Aku tahu kalau kamu sedang mengkhawatirkan adikmu dan juga keluargamu, tenanglah Peter. Aku sudah menyuruh anak buahku untuk menjaga keluargamu dari kejauhan, secara diam-diam. Selama kita bisa menjaga kerahasiaan identitas keluargamu, mereka akan baik-baik saja." Evan menghela napas panjang lalu ia berbalik dan menatap wajah Peter lekat-lekat.

"Tidak!! Bukan itu yang aku khawatirkan sekarang ini," ucap Peter.

"Lalu siapa yang sedang kau bicarakan saat ini?"

"Kamu, Evan!! Kamu sudah berubah menjadi monster pembunuh yang haus akan darah dari orang-orang yang dekat dengan Julian, aku takut kalau kamu tidak akan pernah bisa berhenti untuk membunuh," jawab Peter di dalam hati.

"Bukan siapa-siapa, lupakan saja ucapanku barusan. Ayo kita pergi," ucap Peter.

Tekad Evan sudah tidak bisa tergoyahkan lagi untuk membalas dendam, Ia tidak akan pernah bisa berhenti sampai keluarga dari klan Zeus semuanya tewas di tangannya, termasuk Julian. Tapi Evan tidak akan begitu mudahnya membunuh Julian, yang ia inginkan adalah menyiksa musuh bebuyutannya yang sudah membunuh Rhea–wanita yang sangat ia cintai itu sangat menderita dan Evan ingin Julian mati perlahan-lahan dalam penderitaan.

Di Tempat Lain ....

Pesawat jet pribadi yang ditumpangi Frederick–Papa Julian baru saja mendarat di Bandara setelah ia melakukan perjalanan bisnis dari kota Millan, Italia. Seorang lelaki berperawakan sedang dengan tinggi mencapai 175 cm yang memakai setelan jas berwarna abu-abu terlihat keluar dari dalam pesawat jet pribadinya.

Laki-laki yang berusia lebih dari 50 tahun itu berjalan menuruni tangga dan menghampiri ketiga orang pria yang ia anggap anak buah putra sulungnya, Julian.

"Apakah kalian adalah orang yang Julian kirim untuk mengawalku?" tanya Frederick kepada 3 orang pria berpakaian serba hitam yang datang menghampirinya setelah ia turun dari pesawat jet yang baru saja ditumpanginya.

"Benar, Tuan. Tuan Julian lah yang mengirim kami untuk menjemput dan mengawal anda sampai ke rumah," jawab salah seorang pria yang ternyata dia adalah Evan dan anak buahnya yang sedang menyamar.

"Hmm, baiklah," ucap Frederick.

"Mari, silahkan. Kami akan memandu dan mengantarkan anda berjalan sampai ke dalam mobil," ucap Evan yang mengarahkan jalan.

Tanpa menaruh sedikit pun perasaan curiga, Frederick berjalan mengikuti Evan dari belakang menuju ke mobil limosin yang panjang, dimana Peter sudah menunggu di dalam mobil dan menyamar sebagai sopir.

Ayah Julian pun langsung masuk ke dalam mobil yang berinterior sangat mewah yang dilengkapi dengan mini bar, tepat di samping tempat duduk Frederick terdapat sebuah ember kecil yang dipenuhi dengan bongkahan es batu yang digunakan untuk mendinginkan sebotol Wine.

Frederick masih tak sadar kalau ia sudah masuk ke dalam perangkap Evan dan Peter. Lelaki itu pikir semuanya masih baik-baik saja, bahkan ia masih sempat menikmati wine yang dituangkan oleh Evan yang duduk di dekat pintu. Setidaknya Evan sudah berusaha memberikan sedikit kesenangan kepada calon korbannya sebelum Evan benar-benar menghabisi nyawa Frederick.

Hanya sepersekian detik setelah mobil Evan pergi menjauh. Mobil dan pengawal yang Julian kirimkan untuk menjemput Frederick datang, anak buah Julian yang berjumlah 4 orang terlihat kebingungan mencari sosok Frederick yang tak juga tampak, meski pesawat jet pribadi milik pemimpin klan Zeus itu sudah kosong.

Tapi sayangnya mereka sudah terlambat, karena Evan bergerak lebih cepat dari pada Julian. Anak buah Julian yang sudah menyadari ada yang tidak beres, langsung menelepon pimpinan dari klan Zeus dan melaporkan tentang masalah hilangnya Frederick dari bandara.

Drrrrtt Drrttt .

Ponsel Frederick bergetar, ia lantas melihat ke layar ponselnya yang ternyata nama Julian–sang putra sulung, terpampang jelas pada layar ponselnya. Frederick pun mengangkat panggilan teleponnya, ia terlihat begitu bahagia dengan senyum penuh rasa bangga saat ia bisa mendengar suara putra sulungnya itu.

"Halo, Papa!!! Papa sekarang sedang berada dimana dan bersama dengan siapa?"

Terdengar suara Julian saat Frederick mengangkat telepon, dari nada suara Julian terdengar sangat jelas kalau pria yang kini berada di seberang telepon itu sangat khawatir.

"Papa sedang berada di dalam mobil dan bersama dengan orang suruhan yang kamu kirim untuk menjemput papa," jawab Frederick yang masih belum menaruh rasa curiga sama sekali.

"Cepat turun dari mobil, sekarang!!" suara Julian terdengar sangat panik.

"Ada apa Julian? Kenapa suaramu terdengar begitu panik? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?" tanya Frederick bingung.

Evan yang duduk di kursi belakang bersama dengan Frederick–papa Julian langsung merebut ponsel Frederick dengan kasar dan membuat ayah Julian seketika mendelik dan tidak terima dengan sikap tidak sopan Evan.

"Apa yang kamu lakukan?! Kenapa kamu berbuat tidak sopan dengan merampas ponselku?" Frederick memprotes aksi rebut ponsel yang dilakukan oleh Evan.

"Tutup mulutmu," bentak Evan yang membuat papa Julian terdiam seketika.

"Halo Julian! Apa kabar? Sudah lama kita tidak saling sapa sejak peristiwa pengeboman barang-barang selundupanmu itu, bukan?"

"Evan!! Apa yang akan kau lakukan? Aku peringatkan kepadamu, jangan sakiti papaku!! Atau aku akan membunuhmu," ancam Julian emosi.

"Kenapa kamu begitu takut dan panik Julian? Bukankah kau telah membunuh Rhea dengan sangat sadis dan tidak berperikemanusiaan?! Dan aku juga akan melakukan hal yang sama dengan Papamu, sebaiknya kau cepatlah persiapkan tempat dan juga upacara untuk kematian papamu sekarang juga," ucap Evan dengan ekspresi wajah yang terlihat sangat tenang.

Tanpa mau mendengarkan perkataan Julian, Evan langsung memutus sambungan telepon. Ia begitu kalau harus berbicara lama-lama dengan pria yang sudah membunuh calon istrinya dengan sangat brutal.

Kini pandangan Evan beralih ke arah Frederick.

"Ka–kamu siapa? Apa yang kamu mau dariku? " tanya Frederick dengan terbata-bata.

"Aku adalah malaikat pencabut nyawamu, hari ini juga, aku akan mengirimmu ke neraka!! Jadi, bersiaplah untuk menghadapi kematianmu," jawab Evan.

Frederick yang kini sudah sadar kalau nyawanya dalam bahaya, ia bergerak cepat membuka pintu mobil dan langsung melompat ke jalanan saat mobil sedang melaju dengan kecepatan sedang.

"Peter, stop!!"

CKIIIITT !!!

Mobil berhenti mendadak, Evan langsung mengeluarkan pistolnya dari balik setelah jasnya. Pria itu lantas mengejar Frederick yang kabur dengan berjalan terpincang-pincang menjauhi mobil Evan.

"Percuma saja kamu mencoba kabur dariku!! Aku tidak akan pernah membiarkan klan Zeus lolos begitu saja!!'' Evan semakin mempercepat langkahnya karena tidak ingin kehilangan jejak Frederick.

Evan kemudian membidikkan pistolnya ke arah Frederick, lelaki itu terlihat sesekali menoleh ke belakang untuk memantau keberadaan Evan yang masih mengejarnya. Frederick pun semakin mempercepat langkahnya saat ia melihat Evan sedang membidikkan pistol ke arahnya.

Kini Frederick benar-benar bingung hendak lari ke arah mana, jalanan yang ia lalui sangatlah lengang dan jarang ada mobil yang melintas. Di sisi sebelah kirinya adalah tebing curam yang di bawahnya hanyalah bebatuan, tidak mungkin juga ia mau melompat dan mati konyol. Tapi ia akan tetap mati karena Evan terus saja mengejarnya dari arah belakang.

"Menyerah saja, Frederick!! Kamu tidak akan pernah bisa lari dari takdir kematianmu," teriak Evan dari arah belakang.

Frederick kini hanya bisa pasrah, ia lantas berbalik menghadap Evan

DOOORRRR!!!!

"AKKKHHHH!!" tubuh Frederick roboh dan jatuh ke atas tanah setelah tertembus timah panas.

To be continued