Chereads / Harta, Tahta dan Vita : Kisah Hidup Vita / Chapter 8 - Awal mula kenapa aku memilih menjadi perawat

Chapter 8 - Awal mula kenapa aku memilih menjadi perawat

Dua hari sudah aku ditinggalkan ibu, namun kesedihan itu ga berkurang sedikitpun. Sudah dua hari aku tidak ada nafsu makan, tidak bisa tidur, tidak mandi dan mengurus diri serta tidak berkomunikasi dengan siapapun. Hanya mengurung diri di kamar.

Tok,tok,tok! Bunyi ketukan keras terdengar "Permisi" terdengar suara sapaan laki-laki dibalik pintu depan rumah,

Aku mendengarnya, namun aku tidak ada minat bertemu siapapun, jadi aku biarkan saja mereka terus mengetuk.

"Vita.. Bapak tau kamu didalam.. Ini ada perawat- perawat rumah sakit yang mau bertemu. Ayo.. Tolong bukakan pintu ya nak" Terdengar suara pak Wignyo,ketua rt di pintu depan tempatku dan ibu tinggal selama ini.

‐-------

"Sepertinya Vita ga akan membukakan pintu rumah, sudah dua hari sejak mamanya dikubur ia mengurung diri terus. Apa mau kita kembali lain hari? Nanti kelamaan ibu-ibu ini menunggu. Kalau ada kerjaan atau tugas penting lain yang mau dikerjakan tidak apa-apa kalau mau ditinggal pulang saja, nanti beberapa hari kedepan kalau Vita sudah tidak mengurung diri akan saya kontak kembali" ujar pak Wignyo agak pesimis kepada ibu Titis dan ke 2 temannya.

"Tidak apa-apa pak, kebetulan saya tidak dinas hari ini, jadi saya pun bebas hari ini. Kasihan kalau kita abaikan begitu saja anak ini pak. Takutnya akan ada sesuatu buruk yang tidak diinginkan bila kita abaikan. Depresi kalau terus dibiarkan tanpa ditanggulangi bisa membahayakan bukan hanya untuk orang sekitarnya tapi juga untuk pribadi yang mengalami depresi itu." jelas bu Titis kepada pak Wignyo.

"Membahayakan seperti apa bu?" tanya pak Wignyo yang sepertinya kurang paham.

"Macam-macam pak, bisa gejala depresinya makin berat dan mulai muncul gejala yang orang awam bilang sebagai "gila", kadang disertai sakit fisik baik karena tidak mau makan minum atau mengurus diri sendiri, bisa juga sakit karena ulah atau tindakan dari penderita depresi itu sendiri seperti menyayat nadi tangannya, membentur-benturkan dirinya serta ulah atau tindakan berbahaya lainnya. Dan yang paling kita takutkan adalah kemungkinan bunuh diri." Bu Titis menerangkan panjang dan lebar pernyataan dia sebelumnya kepada Pak Wignyo.

"Hah!! Bunuh diri?!! Seberat itu bu??!! Wah ini ga boleh dibiarkan!! Bisa jelek nama lingkungan RT saya nanti kalau sampai kejadian!! Ya udah bu, saya temani ibu-ibu disini, kalau sampai sejam kita diluar ga dibukakan, saya panggil hansip RT deh, biar kita dobrak saja pintu rumah Vita. Nanti bahaya kalau dibiarkan terus!!" seru pak Wignyo panik.

"Sabar pak. Tenang.. Jangan kebawa emosi dan panik begitu. Kita lihat dahulu situasinya. Kalau pakai kekerasan takutnya malah akan bikin Vita makin trauma. Kalau bapak ada kesibukan lain tidak apa-apa kalau mau ditinggal, kami bertiga akan duduk di kursi teras rumah Vita sembari menunggu Vita berubah pikiran" bu Titis berusaha menenangkan pak Wignyo.

"O gitu ya bu.. Baiklah saya ikut menemani ibu-ibu disini. Bagaimanapun Vita ada warga RT 002 juga, jadi merupakan tanggung jawab saya juga, tidak mungkin saya lepas tangan" jawab Pak Wignyo bijak.

‐-------

Hampir 3 jam mereka persisten menunggu didepan rumahku, karena tidak tega akhirnya aku terpaksa membukakan pintu rumah.

"Ada apa? Saya ga minat bertemu siapapun" jawabku ketus sambil membuka pintu dan berbalik badan hendak berjalan masuk kembali ke kamarku.

"Astagfirullah dek, kasian sekali kamu" jawab Suster Titis yang rupanya datang mengunjungiku dan langsung bergegas mengejarku serta memelukku dengan penuh kehangatan.

Dipeluk tiba-tiba oleh Bu Titis, tangisku muncul kembali. Bu Titis hanya diam sembari terus memelukku erat sembari mengelus elus lembut punggungku. Hampir 30menit aku menangis dalam pelukan bu Titis. Ada rasa tenang setelah menangis di pelukannya.

Setelah tenang, bu Titis mengajak ku duduk di sofa ruang tamu, sembari tetap merangkulku dengan erat. Setelah kami duduk, 2 perawat lain yang menemani Bu Titis yang dikemudian hari aku tahu namanya Bu Desi dan Bu Nunung ikut duduk didalam, begitupun pak Wignyo yang rupanya memandu mereka ke alamatku.

"Kamu pasti belum makankan? Ibu dan teman-teman belikan kamu makanan dan minuman buat kamu. Apa mau ibu suapin sayang?" tanya bu Titis lembut sembari tidak melepaskan pelukannya kepadaku. Aku hanya diam aja tidak ada reaksi, membiarkan bu Titis mengelus elus punggungku.

Dua jam kami hanya diam, namun dalam pelukan bu Titis membuat hatiku lebih nyaman dan tenang. Perlahan-lahan rasa sedihku mulai berkurang berganti rasa tenang dan nyaman. Aku mulai melepaskan pelukan bu Titis. Setelah aku lebih tenang aku mulai bicara kepada mereka.

"Terimakasih ya ibu-ibu, makasi atas perhatiannya ke saya, saya sangat menghargai perhatian kalian" ucapku.

"Ini bukan apa-apa dek, 2 tahun kita sering bertemu, kamu selalu menemani ibu kamu saat sakit. Kita yang merasa bersalah kalau kami membiarkan kamu sendiri dalam duka setelah ibumu meninggal" jawab bu Titis

"Terimakasih ya bu"

"Nah, ini ibu bawakan kamu kue cucur, kamu kan pernah cerita kamu suka sekali cucur. Ibu juga bawakan kamu susu kotak dan vitamin ya dek. Ayo dimakan ya dek." ujar Bu Titis sembari membukakan bungkusan berisi cucur lalu menggunakan tissue menyerahkan satu buah cucur kepadaku. Aku memakan cucur yang diberikan oleh bu Titis.

"Oh iya, ibu belum memperkenalkan dua teman ibu, ibu Nunung dan ibu Desi" bu Titis memperkenalkan kedua temannya.

"Halo Dek Vita, saya bu Desi mewakili bagian kebidanan turut berduka cita atas meninggalnya ibumu"

"Iya bu Desi, terimakasih" jawabku sembari tetap memakan cucur ditanganku.

"Dek Vita, saya bu Nunung, saya mewakili direksi rumah sakit turut berduka cita juga ya atas meninggalnya ibunda tercinta. Kamu harus tegar dan kuat ya. Ibumu sudah tenang disana" bu Nunung memperkenalkan diri.

"Kalau kamu ada apa-apa boleh telepon ibu ya dek.. Nanti ibu tuliskan no ibu ya. Janji ya ada apa-apa telepon ibu" pinta bu Titis ke saya.

"Iya bu Vita janji" ucapku pada bu Titis.

‐-------

Karena kebaikan hati bu Titis lah aku menjadi sangat tersentuh, dan membulatkan tekadku setelah lulus SMA akan melanjutkan sekolah keperawatan seperti ibu Titis. Itu adalah titik balik yang merubahku. Aku tidak ingin orang lain merasakan kepedihan yang aku rasakan sehingga sejak kejadian itu aku memutuskan menjadi perawat.