Sore itu 5 tahun lalu di rumah sakit umum daerah di kamar 3 bangsal kebidanan Bougenville, tampak seorang perempuan cantik usia 35 tahun dengan muka sangat pucat dan dengan keadaan umum yang memprihatinkan akibat sakit tumor ganas rahim stadium akhir yang dideritanya, disertai tubuh lemah dan lunglai tanpa tenaga, memakai oksigen ditemani anak perempuan usia 17 tahun yang tidak kalah cantiknya duduk menemaninya disamping kasur.
Perempuan cantik itu adalah Sukmawati Putri Anggita, ibu kandung dari Vita yang sudah 7 hari dirawat setelah kondisi badannya makin buruk pasca 3hari sebelumnya selesai kemoterapi dosis ke tiga. Dari diagnosis dokter yang dirawat, kondisi Rini memburuk karena kekurangan darah akibat tumor ganas rahimnya sudah menjalar ke seluruh tubuh dan juga karena selama 2 minggu ini Rini tidak bisa makan yang selain penurunan nafsu makan juga karena lidahnya banyak infekai karena antibodi tubuhnya sudah sangat menurun.
"Uhuk.. uhuk.. Nak.. Sepertinya ibu tidak akan lama lagi hidupnya.. Sebelum ibu dipanggil yang maha kuasa, uhuk.. uhuk.. ada sesuatu yang mesti ibu sampaikan kepadamu" ujar wanita itu lemah yang rupanya adalah ibu dari Vita.
"Sudah bu, tidak usah banyak bicara dulu, jangan mikir yang tidak-tidak ya" bujukku kepada ibu yang terbaring lemah di atas kasur rumah sakit.
"Tidak nak, ini penting sekali. Di bawah dipan kamar ibu, ada ukiran salib disisi kiri atas dekat posisi kepala. Kamu tarik lepas ukiran itu maka akan terlihat lubang kunci untuk membuka laci rahasia yang berisi flash disk dan surat untukmu yang ibu tulis sejak ayah tirimu pergi meninggalkan kita nak" ibuku dengan sisa- sisa tenaganya berbicara padaku.
"Sudahlah bu.. Ibu istirahat tidak usah membicarakan laki-laki tidak bertanggung jawab itu" ujarku kesal tapi berusaha tenang.
"Tapi ini penting nak.. Penting sekali.. Untuk masa depanmu.." terang ibuku,
"Uhukkk uhukk uhuk.. Maafin ibu ya Vit.. Uhukk uhhukk uhukk uuuhhhhukkk uhhukkk.. Ga bisa menemani kamu lagi uhukkk.. uhhuuukk.. Ini kunci untuk membuka laci rahasia yang ibu bilang.. uuhhuuukk.. uuhhhuuukkk.. Hueeekkk" tiba-tiba saat ibu menyerahkan sebuah kunci dengan gantungan salib, ibuku batuk-batuk dan lalu disusul dengan muntah, muntahannya berupa cairan hitam pekat yang setelah aku kuliah di akademi keperawatan aku baru tahu kalau itu adalah muntah darah.
Aku yang panik lalu lari keluar untuk memanggil perawat. Dan setelah mendapatkan seorang perawat yang ikut berlari bersamaku menuju ke kamar tempat ibuku dirawat. Saat aku dan perawat sampai di dalam kamar rawat ibuku, ibuku tercinta sudah tidak bernafas, dengan mata melotot, seperti kesakitan dan bibir membiru serta muka sangat pucat.
Aku langsung menangis memeluk ibuku yang pergi meninggalkanku ke alam baka, sedangkan perawat yang ikut denganku memeriksa nadi dan nafas ibuku untuk memastikan apakah ibuku masih hidup atau tidak.
"Ibuu... Ibu... Jangan tinggalkan Vita ibu.. huuuu huuuu huuuu" teriakku sembari menangis memeluk tubuh dingin ibuku.
"Dek, relakan ya dek, ibumu sudah kembali ke surga dengan tenang" elus perawat yang ikut bersamaku dengan lembut ke punggungku setelah memastikan status kehidupan dari ibuku.
"Tidaaakkkkk.. Tidak.. Ibu ga boleh matiii suster.. Huuu uuu Huuu... Ibuku ga boleh mati.. Jangan tinggalkan Vita ibu.. Maafkan Vita.. Huu huuuu Uuu.. Buka matamu bu.. Buka.. Huuuu Uuu.. U.." Tangisku meronta-ronta makin memeluk erat ibuku.
Perawat yang rupanyanya bernama Titin itu berusaha melepaskan pelukan ku dari mayat ibuku lalu memelukku sembari berkata "Ya ga papa menangislah dek, wajar kamu bersedih, namun Tuhan lebih sayang pada ibumu daripada kita, makanya ibumu dibawa ke surganya.. Ibu mu sekarang sudah tenang disurga sana.."
Aku hanya bisa menangis dipelukan bu Titis, hampir setengah jam lamanya aku menangis, sembari bu Titis terus berusaha menenangkanku. Perawat lain juga sudah dipanggil oleh perawat Titis untuk membantu merapihkan jenazah ibuku.
‐-------
Malam itu setelah dikuburkan aku menangis di atas pusara ibuku semalaman, sekarang aku hanya sebatang kara di dunia ini, aku tidak punya orangtua maupun saudara sama sekali.. Malam itu aku merasa sangat hancur dan rapuh dan menganggap Tuhan sangat tidak adil padaku karena telah merebut semua orang yang aku sayangi.
"Huuuuu.. Uuu.. Ibu.. Jangan tinggalkan Vita.. Ibu.. Huuuu.. Uuu.. Ibu.. Vita sendiri disini.. Kenapa Tuhan jahat sekali membiarkan Vita sebatang kara.. Huuuu.. Uuuuu.. Kenapa Tuhan??Apa salah Vita.. Huuu.. Uuu... Uuu.." tangisku penuh kesedihan.
Aku yang larut dalam kesedihan tidak menyadari malam itu, sejak setengah jam lalu ada seorang perempuan tua yang memperhatikanku. Dia adalah Nenek Giarti, perempuan berusia enam puluh lima tahun, juru kunci pemakaman tempat ibuku baru dikubur sejak empat puluh delapan tahun lalu.
Melihatku menangis sembari memeluk pusara ibuku yang baru selesai dikubur sore hari, rasa ibanya muncul, ia pun mendatangiku dengan langkah pelannya.
"Sabar ya Cu, ibumu sudah tenang di alam kubur" ujar Nenek Giarti menenangkanku sembari mengelus-elus punggungku penuh kasih sayang.
"Huuu.. Uuu.. Uuuu.. Tapi ini ga adil Nek.. Aku tidak punya siapa- siapa lagi Nek.. Huu.. Uuu.. Uuu.. Uuu.." jawabku sembari terus menangis.
"Nenek tahu, kehilangan orang yang kita sayangi memang berat.. Nenek saat usia 13 tahun juga ditinggalkan kedua orangtua nenek yang meninggal bersamaan karena penyakit menular didesa nenek. Tapi Tuhan pasti ada maksud baik tersembunyi yang kita tidak ketahui. Andai orang tua nenek tidak meninggal, mungkin nenek tidak akan pergi berkelana ke Jakarta hingga akhirnya bertemu dengan almarhum suami nenek yang nenek cintai hingga akhirnya meninggalkan nenek karena usia tiga tahun lalu" cerita nenek Giarti berusaha menenangkanku dengan caranya.
"Huu.. Uuu.. Uu.. Tapi aku ga tau apa aku sanggup Nek.. Huuu.. Uuu.. Uuu.." tanyaku sembari tetap menangis.
"Nenek yakin kamu kuat Cu.. Percaya sama Nenek ya.. Ayo, Nenek antar kamu pulang.. Jangan bersedih lagi, kasian ibu kamu disana ga tenang kalau kamu terus menangis" Nenek Giarti berusaha menyemangatiku.
"Iya Nek.." ujarku singkat.
Nenek Giarti mengantarkan aku kerumahku, setelah melihatku lebih tenang dan tidak menangis lagi, dia izin pamit padaku. Walau aku sudah tidak menangis namun kesedihan itu masih terus berkecamuk dihatiku. Malam itu aku tidak tidur, duduk diam diatas ranjang dikamarku, bersedih karena kehilangan ibuku.