Chereads / Lucelence Academy, 'Elgrimlock Rising.' / Chapter 16 - Jurnal Misterius

Chapter 16 - Jurnal Misterius

"Dewi Astraea?!"

Jean terperanjat dari tidurnya, menyeru setengah menjerit sambil duduk. Pergerakan pertama setelah entah berapa lama dia tak sadarkan diri atau mungkin koma? Benarkah? Merupakan kesalahan besar, kepala Jean langsung diserbu oleh nyeri menusuk yang menjalar ke tengkuk dan punggungnya.

Badannya kaku seketika, Jean ambruk ke atas tempat tidur sembari meringis dan menikmati sensasi nyeri hebat di rongga kepalanya.

"Kupikir aku sudah mati." gumamnya menghembus napas panjang.

Alami mimpi terindah sekaligus membingungkan, rasanya Jean seperti baru saja menempuh perjalanan terpanjang dalam hidupnya.

Sprei yang ditidurinya sejuk, bantalnya empuk, dan selimut selembut sutera yang menyelubungi tubuhnya ini. Mata Jean menjelajah, di tengah-tengah nyeri hebat.

Jean mencari tahu, baru sadar dia bukan berada di atas ranjang crank bangsal rumah sakit akademi, melainkan sebuah kamar utama yang luas dan desainnya membuat siapa pun tercenung takjub.

[ "Di mana aku? Ya, ampun." ]

Ia terbangun di atas ranjang besar dengan keempat tiang berkelambu kain timbul marun bercorak mawar yang mengilap.

Jean melongo barang sesaat, mengusap kedua matanya tapi ia tak salah lihat.

Kamar ini sangat mewah, kelas royal yang hangat, sunyi, dan damai. Warna marun crimson mendominasi di tiap sudutnya. Kaki Jean merasakan lembutnya karpet Persia kala turun dari ranjang. Jendela raksasa ditutupi gorden sutera berwarna serupa yang menyajikan pemandangan pelataran lembah puncak gunung asri.

Puncak-puncak cemara terlihat begitu dekat. Begitu pun birunya cakrawala seakan Jean bisa menjamahnya. Tempat peristirahatan maha nyaman yang seumur hidup belum pernah dirasakan Jean.

[ "Astaga, aku masih di akademi 'kan?" ] pikirnya membatin.

Sembari memijat tengkuk, Jean terus bergerak untuk mencari tahu keberadaannya.

Lantai mozaik sedingin es kontan membuat tubuh Jean menggigil, kaca rias besar yang terbuat dari logam dengan mahkota berukiran rumit, di mejanya terdapat kumpulan koleksi parfum-parfum bertabung kristal.

Aroma sedap dari mawar semerbak, langit-langitnya datar. Satu lampu kandelar menggantung di atas kepala, sofa-sofa kulit berlengan panjang lengkap dengan meja kopi. Di sudut lain terdapat banjaran rak berisi buku-buku bersampul tebal.

Jean berniat hampiri pintu kembar, ingin keluar kamar tetapi kakinya sontak membeku kala matanya menemukan satu foto berukuran besar yang membuatnya terpana dan didera syok kebingungan.

Di dalam foto berbingkai emas itu terpampang wajah seorang wanita jelita bertubuh sintal semampai yang dibalut gaun sabrina bolero berwarna crimson. Pundaknya bercahaya bak pualam, surai bergelombang seterang senja, kulit kenyal mediterania seputih susu, senyum di bibir merahnya yang terkembang manis, hidung runcingnya presisi, bulu mata tebal dengan warna iris mata sebiru langit. Tulang pipi tinggi yang merona hangat.

[ "De… wi… Astraea? Foto itu − " ]

Serbuan rasa sesak kontan menghantam dada Jean bagai dipukul palu godam, detik itu juga dia ambruk di lantai. Dikepung oleh perasaan syok dan linglung. Dengan tubuh gemetar, Jean terus pandangi potret besar itu.

[ "Apa yang−? Dewi Astraea, dia – datang di mimpiku atau… kenapa foto itu ada di sini?" ]

Pandangan liar Jean kembali memindai, di atas meja almari pakaian terpajang semua foto-foto milik Dewi Astraea, dari potret berwarna retro sesosok anak kecil bersurai gelombang seterang senja tengah memeluk boneka kelinci dan tersenyum sembari berlarian di taman.

Gadis kecil itu punya mata biru jernih yang membuat Jean mampu menebak siapa dia sebenarnya.

[ "Foto-foto perjalanan hidup beliau?" ]

Bingkai-bingkai itu secara tidak langsung menceritakan hidup Astraea, sejak kecil dia sudah terlahir dengan kecantikan tak manusiawi. Bahkan sampai beranjak remaja pun, di tiap-tiap foto berwarna itu kecantikan Astraea terpancar sempurna tanpa cela.

Astraea yang menggunakan jubah kebesaran akademi yang Jean tak kenal apa namanya saat lulus, menggenggam dengan bangga perkamen di tangan bersama keluarga besar serta teman-teman kampusnya.

Kala dewasa secara fisik tidak ada yang berubah dari beliau, wajahnya tetap terlihat sangat cantik, anggun dan awet muda bagai gadis remaja belia.

"Apa ini sebenarnya?" gumam Jean putus asa menyibak rambutnya ke belakang.

Beberapa foto yang menangkap kebersamaan Astraea dengan sesosok laki-laki tampan berambut 'ginger'. Senyum manis pria itu menggetarkan batin Jean, mata teduh 'steel blue' seretak kaca yang entah mengapa teramat menusuk ke dalam sanubarinya hingga mengejutkannya Dewi Astraea naik pelaminan bersama pria itu.

Jean merasa sangat sakit kepala, "Perkiraanku salah, aku sempat mengira kalau beliau adalah sesosok dewi dari dunia lain. Ini membingungkan, beliau seorang manusia? Apa dia memiliki kekuatan supernatural juga? Kenapa beliau ada di akademi Lucelence? Siapa pula pria ini? Mengapa aku ada di kamar ini? Kenapa beliau mendatangiku di mimpi? Kenapa?!!"

Semakin dipikirkan kian membuat kepala Jean serasa ingin pecah. Pikirannya disesaki beragam pertanyaan yang tidak diketahui apa jawabannya. Ucapan Astraea dalam mimpi tadi terngiang-ngiang jelas di rongga kepalanya.

"Peringatan… keselamatan dua dunia ada di tanganku… Elgrimlock… Mannon Blackwood?"

Mata Jean tersita, pada satu foto yang mencetak Astraea tengah tepekur merajut cardigan mungil berwarna pastel. Wajahnya terlihat berseri diselimuti kebahagiaan tiada tara. Di sofa single dekat jendela raksasa kamar ini, Jean sempat berpaling ke belakang untuk pastikan tata letak dan bentuk detil sofa itu. Keduanya sama persis.

Kian lemaskan kedua tempurung lutut Jean.

"Ini kamar milik beliau?" monolognya dengan pandangan menerawang. Masih tak percayai semua ini.

Astraea terduduk di sana dengan perut tampak membesar, beliau jelas tengah berbadan dua. Berulang kali koleksi foto-foto lainnya diambil kala beliau duduk di sofa itu.

Senyum lembut indah milik Astraea itu, entah mengapa Jean malah sangat merindukannya. Gelombang kepedihan yang sulit dijelaskan berdiam diri di batinnya. Jemarinya tanpa sadar mengelus lembut figura itu. Tepat di senyum cantik Astraea terkembang.

Puzzle besar di kepala Jean makin sulit dipecahkan. Jean meletakkan kembali figura itu ke tempat semula.

Satu bingkai terakhir, membuat batin Jean terenyuh dan emosional hingga tanpa sadar air matanya menetes jatuh ke tulang pipinya.

Astraea dan pria tampan bermata teduh itu memeluk bayi mungil yang telah lahir, air muka mereka penuh kebahagiaan, kasih sayang dan cinta. Astraea mengecup bayinya hangat, gambaran keluarga kecil bahagia.

[ "Beruntungnya kau bayi kecil. Kau sangat dicintai dan disayangi kedua orang tuamu. Aku iri padamu. Aku belum pernah merasakan kasih sayang sehangat itu dari keluargaku sendiri." ]

Jean mengesang, tangannya tremor. Entah mengapa batinnya terkuras sekarang. Pipinya banjir oleh bulir-bulir bening yang enggan berhenti. Sesaat dia tertawa getir, meratapi hidupnya yang menyedihkan.

Enggan memikirkan apa-apa, Jean senang berada di akademi. Punya teman yang peduli, wakil principal yang begitu memperhatikannya dan jajaran professor baik hati pengertian padanya.

Di akademi dia diterima, walau sebagian orang masih takut terhadapnya.

"Mungkin Margo benar, keluargaku di London, bukan keluarga kandungku. Eh, apa ini?"

Sesuatu mengganjal jemari Jean saat tak sengaja meraba bagian belakang figura itu. Jean membaliknya, benar saja – terselip satu kertas kecil tertempel oleh selotip bening di sana. Jean bangkit, duduk di sofa sembari meraba-rabanya.

"Bolehkah aku membacanya? Bagaimana kalau ini rahasia? Bukankah enggak sopan membaca memo orang lain? Tapi mengapa di sini, ya?"

Saking penasaran, Jean mau tak mau membukanya. "Maafkan aku, nyonya Astraea. Aku membacanya."

Membuka kertas itu hingga terbuka lebar, Jean menghela napas panjang. Terkejut bukan main meneliti isinya,

[ Jean Venthallow-ku, sayang. Aku yakin kau akan menemukan dan membaca ini. Aku selalu tahu kau memang sejenius aku. Sebab, aku hanya ingin ini menjadi urusan kita berdua saja, tanpa diketahui siapa pun. Aku menyimpan sebuah jurnal berharga. Aku menyembunyikannya di suatu tempat. 'Saat kau menatap langit di malam hari, cassiopeia menjadi bintang paling berpijar. Jadikan itu pemandumu untuk pulang.' ]

"Bagaimana anda tahu namaku? Kita tadi baru saja bertemu."

Kertasnya saja tampak telah dimamah usia, entah berapa lama surat itu berdiam diri di sana. Beberapa bagiannya menguning dan tulisan itu kelihatan jelas dibubuhi pena tinta.

Pintu kamar kembar itu terbuka lebar, Jean terlonjak dramatis dari duduknya. Buru-buru sembunyikan surat kecil tersebut ke saku piyamanya, meski kepalanya sakit akibat terlalu berpikir keras menyambung satu per satu fakta ambigu yang membingungkan.

Jean menyambut kedatangan Jeo bersama wakil principal.

"Jean? Kau sudah sadar? Oh! Syukurlah, sayang. Bagaimana perasaanmu? Masih ada yang sakit?" Elvana memeluk Jean hangat, matanya terpejam dalam hati dia merasa sangat bersyukur.

"Wakil principal, apa yang terjadi padaku. Mengapa aku di sini?"

Evelyn tersenyum sambil membimbing Jean agar duduk, "Jeo, tolong cek kondisi Jean saat ini."

"Baik, wakil principal." Kata Jeo patuh, mulai keluarkan seluruh peralatan medis dalam tasnya.

"Aku baik-baik saja, kok. Apa perlu dicek segala, Mrs. El?"

Jeo tersenyum, "Cuma cek fisik sebentar, Jean. Tenang saja."

Jean tertawa kecil, pipinya merona.

Evelyn mengelus puncak kepala Jean, "Kau ingat apa yang terjadi?"

Muka Jean tertekuk murung, "Sepertinya aku melakukannya lagi ya, Wakil principal? Aku benar-benar tidak sengaja melepaskan kekuatanku, Mrs. El. Sungguh, aku tak tahu apa yang terjadi. Jangan bilang kalau aku melukai orang lain? Adakah korban?"

Jean merasa lidahnya baru saja meneguk racun terpahit dalam hidupnya, berharap tidak akan korban lagi, insiden Essex membuatnya menggila sampai detik ini.

Dia tak akan sanggup bila dipaksa keadaan menanggung beban yang sama.

"Professor Tatum Reddington terluka, tetapi dia sudah tertangani dan dia jauh lebih baik sekarang." Ucap Elvana menggenggam jemari Jean.

"Benarkah, Mrs. El?! Katakan kalau beliau baik-baik saja?! Aku tidak membunuh siapa pun 'kan?! Jawab aku, wakil principal?!"

Jeo mendeteksi kepanikan di sana, tangan Jean lantas menegang sekaku besi. Dia mulai gelisah dan ketakutan. Elvana pun sempat kewalahan menenangkan Jean.

"Jean, tenanglah. Enggak ada yang terluka. Semuanya selamat termasuk professor Reddington. Dia baik-baik saja." Jeo kontan membuang stetoskop yang terkalung di lehernya saking telinganya berdenging. Lengkingan di jantung Jean yang mendadak berpacu, menusuk hingga ke rongga kepala Jeo.

Elvana menyadari kepanikan Jean barusan, dan itu jelas terlihat kurang sehat. Andai saja Silas melihat ini sekarang. Pantas saja tempo lalu Jean langsung terpicu. Gadis ini tengah tertekan juga stress. Diagnosa Jeo sebelumnya benar.

"Jean, tidak apa-apa sayang. Semuanya teratasi dengan baik, tidak ada satu pun yang terluka."

"Serius, Mrs. El? Aku bukan pembunuh 'kan?!" napas Jean mulai sesak, tubuhnya ikut bergemuruh.

"Tentu saja bukan, sayang. Pikiran dan kecemasanmu terlalu jauh. Kau harus santai sedikit. Atur napasmu, semuanya baik-baik saja. Ada kami di sini, melindungimu dari apa pun." Elvana mendekap Jean dalam pelukannya. Sembari mengusap – usap punggung Jean yang terasa sangat kaku.

Lambat laun, Jean menunjukkan respon positif. Dia berangsur-angsur tenang dan kalem. Pelukan penuh kasih sayang dari Elvana seolah menyerap serangan kepanikan yang membelenggu akal sehatnya.

"Tenang, Jean. Tak apa… kau aman di sini."

"Maafkan aku, Mrs. El. Aku pasti membuat repot semua orang." Ucap Jean murung.

Elvana tertawa kecil, "Itu sudah jadi tugas kami, sayang. Jangan cemaskan apa pun. Bagaimana perkembangannya, Jeo?"

Jeo merapikan seluruh peralatan ke dalam tasnya, menghela napas panjang. Air mukanya mengandung kecemasan, "Semua organ vital dalam kondisi baik, kecuali denyut jantung. Sempat abnormal saat Jean panik tadi. Jean, sebenarnya apa yang mengganggu pikiranmu? Kau bisa berkonsultasi padaku. Ada wakil principal di sini, izinkan kami membantumu."

Jean memilin kedua tangannya gelisah, susah payah menelan salivanya. Peluh sibari dahinya, sempat terdiam cukup lama. Matanya melirik ke arah foto Astraea. "Sebelum aku menjawab pertanyaan kalian, ada yang ingin kutanyakan dulu. Wanita cantik di foto itu – bukankah beliau, nyonya Astraea?"

Elvana dan Jeo sama-sama tercegang, mereka saling berpandangan cukup lama serta mematung syok.

Dahi Elvana mengerut dalam, heran sendiri. Sebab, di akademi ini belum ada satu pun yang menceritakan tentang Tetua First Class – Astraea kepada Jean. "Bagaimana – kau − tahu?"

"Sebelum aku sadar tadi, beliau datang ke mimpiku, wakil principal."

Elvana merasakan tempurung lututnya lemas, dunianya runtuh di bawah kakinya.

.

.