Chereads / Lucelence Academy, 'Elgrimlock Rising.' / Chapter 18 - Azael Faulkner Draven vs Rhett Baker Valentine

Chapter 18 - Azael Faulkner Draven vs Rhett Baker Valentine

"Jean! Ya ampun aku sangat merindukanmu!" pekik Margo mengambur pelukan erat untuk menyambut kembalinya Jean. Ia terkejut kala sahabatnya itu mendadak muncul di depan lokernya. "Lama sekali kau pergi, aku kesepian sendirian di kamar asrama. Aku senang kau baik-baik saja."

Jean tertawa kecil, membalas pelukan hangat Margo. "Iya, aku harus diisolasi dan menjalani perawatan intensif. Ketat sekali, aku enggak boleh kemana-mana sebelum kegilaanku mereda. Maafkan aku atas kejadian itu, kuharap kau enggak terluka, Go."

Margo menggenggam erat kedua jemari Jean, tersenyum simpul. "Aku sama sekali enggak terluka. Syukurlah shadowcaster dan para professor bergerak cepat. Kau pasti sangat kepikiran kan, Jean? Aku, Mai dan Lee sampai bertanya ke Jeo setiap hari, pulang pergi ke rumah sakit akademi. Jeo enggak mau mengatakan di mana kamarmu, kami dilarang menjengukmu. Dia cuma bilang bahwa kau baik-baik saja dan 'undersurveillance'. Ya ampun, Jeo memang tampan. Lee sampai hilang akal sehatnya."

"Aku enggak bisa membayangkan itu." kata Jean terkekeh, "Ke mana Mai dan Lee?"

"Mereka sibuk, jalani hukuman setelah bertengkar dengan Coraline. Banyak hal terjadi selama kau enggak sadarkan diri, mau bagaimana lagi. Lee enggak biasanya terpicu emosi, waktu itu Lexie Coraline dan gengnya memang sangat keterlaluan mencemooh dirimu. Kau tahu apa yang Lee lakukan? Mengikat mereka dan menggantungnya di atas kandang Carpus."

"Carpus?" Jean mengerut dahi dalam.

Margo memutar bola matanya jengah, melipat tangan di dada. "Yah, peliharaan hybrid pemangsa daging milik Mr. Salazar Buffet. Semacam predator, pencampuran antara buaya dan ular. Kau percaya itu? Principal membiarkannya sebab itu makhluk kesayangan Mr. Salazar, kau bisa bayangkan gimana takutnya mereka saat monster itu melompat-lompat hendak melahap kepala mereka. Belakangan ini Lee memang sedang menggila. Entah kenapa. Lagi pula aku memang sangat berharap Lexie dimangsa oleh Carpus saja, sayangnya Professor Salvatore malah turun tangan."

Mata Jean memicing, cukup terkejut mendapati air muka kekecewaan Margo. "Ya ampun, Go. Lama-lama kau mengerikan seperti Lee, ya?"

Margo terkikik geli. "Serius, aku bersungguh-sungguh mengatakan itu."

"Oh, ya. Go? Ada korban jiwa? Kudengar Professor Reddington terluka gara-gara aku." tanya Jean murung.

"Iya, tapi beliau sudah lebih baik sekarang. Kalau saja Azael enggak bergerak cepat. Kau tahu? Azael rela menembus kekuatanmu yang dahsyat itu demi menyelamatkan professor Reddington. Azael alami luka bakar serius."

Mendengar itu Jean mematung dan syok, "Azael terluka? Serius, Margo?!"

Margo mengangguk dua kali. "Dia itu heroik banget. Enggak pikirkan keselamatannya sendiri demi membawa Professor Reddington keluar dari sana."

Kedua tempurung lutut Jean lemas seketika, ia butuh duduk sebentar. Kepala belakangnya seperti baru saja dipalu. "Ada korban tewas?"

Suara Jean bergetar, ketakutan teramat sangat selama menanti jawaban Margo.

Margo ikut duduk di samping Jean, tersenyum lembut. "Enggak ada, Jean. Semua orang selamat."

Meski helaan napas lega terdengar, Jean tidak bisa menepis betapa tubuhnya bergemuruh sekarang. Ketakutan kalau ada korban jatuh. Dia memang bisa tidur nyaman belakangan ini, berkat bantuan Jeo. Tetap saja, rasa bersalah dan traumanya belum teratasi.

[ "Aku belum berterima kasih pada Jeo, aku harus temui Azael dan meminta maaf pada professor Reddington. Syukurlah, enggak ada korban." ]

***

"Professor Reddington!"

Jean berlari mengejar beliau, langsung membungkuk dalam kala Reddington baru saja keluar dari ruangan kerjanya.

"Jean? Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik-baik saja, professor. Anda sendiri? Aku minta maaf atas kejadian itu, sungguh aku tidak sengaja melakukannya." Jean tertunduk dalam, merasa sangat bersalah.

Reddington tersenyum bersahaja, menepuk pundak Jean sesaat dan menganggukan kepalanya. "Berjalanlah denganku, Jean."

Mengiringi langkah beliau, Jean ikut tersenyum lebar.

"Mungkin aku juga salah, memicu ketakutanmu di sana. Maafkan aku, kau tahu. Aku hanya menjalankan tugas saja. Tidak apa-apa, Jean. Aku juga sudah jauh lebih baik sekarang. Hanya luka kecil, aku bisa mengatasinya."

"Aku harap anda masih mau menerima kehadiranku di kelas anda." pinta Jean setengah memohon.

Reddington tertawa kecil, "Tentu saja. Siapa yang bilang aku menolak kehadiranmu? Pintu kelasku selalu terbuka untukmu, Jean. Datanglah kapan pun kau siap. Aku usahakan tak akan membuatmu ketakutan lagi."

Jean tertawa meringis, "Sekali lagi, aku minta maaf, Professor Reddington. Semoga anda tidak kapok membimbingku."

"Kau ini bicara apa? Berhentilah meminta maaf. Jangan merasa bersalah, Jean. Nikmatilah waktumu di akademi. Aku baik-baik saja. Nah, sampai jumpa di kelas nanti, ya?"

Berpisah di lorong institut, Jean mengangguk sembari tersenyum penuh arti. Pandangi punggung beliau yang menjauh, satu beban lenyap. Jean bisa sedikit bernapas lega.

Jean hendak berbalik, tak menyangka tubuhnya menubruk dada berbidang seseorang. Aroma parfum maskulin 'black origin' menebal di hidung Jean. Sempat meringis, Jean mengusap dahinya pelan kemudian mendongak, dapati Rhett tersenyum di hadapannya.

"Rhett? Maaf, aku enggak tahu kau datang."

"Enggak apa, Jean. Senang melihatmu kembali." Rhett tersenyum hangat. Kepalanya miring.

Membuat Jean menggigil oleh pancaran auranya yang luar biasa membuat siapa pun meleleh. Rongga pernapasan Jean sempat menyempit. Entah sejak kapan, jarak mereka sedekat ini.

"Bagaimana kabarmu, lebih baik?"

Jean mengangguk pelan, tersenyum manis. "Jauh lebih baik. Maaf untuk kejadian tempo lalu, aku pasti merepotkan kalian semua. Aku bersyukur, enggak ada korban berjatuhan."

"Principal turun tangan, beliau yang menghentikan kekuatanmu."

"Benarkah?" Jean terpaku melongo tak percaya, tercengang mendengar ucapan Rhett barusan, "Principal datang? Turun tangan? Untukku? Serius, Rhett?!"

"Iya, beliau yang menghentikan kemarahan kekuatanmu. Hanya beliau yang bisa. Wakil principal dan jajaran professor enggak sanggup menghentikan amukanmu."

"Tunggu dulu, bukankah beliau sibuk? Jarang terlihat, maksudku – Go, selalu berkata kalau Principal adalah orang misterius tapi − benarkah?" Jean masih tercengang sendiri.

Antara senang, berbunga-bunga, sekaligus tak percaya. Jean jadi makin penasaran ingin tahu rupa Principal sebenarnya seperti apa. Selama di akademi, dia hanya mendengar dari kabar burung yang beredar di kalangan murid. Kebanyakan desas-desus terhormat, kebaikan dan tentang segudang kasih sayangnya.

Rasanya Jean sulit mempercayainya, Principal turun tangan sendiri untuk menghentikan kekuatannya? Mustahil 'kan?

[ "Sangat memalukan, Jean. Kau benar-benar memalukan. Padahal, aku ingin sekali bertemu dengannya. Penasaran banget, Principal itu seperti apa?" ] pikir Jean membatin, menepuk dahinya jengkel sendiri.

Rhett terkekeh menyaksikan reaksi itu, tak bisa menahan diri untuk mengelus puncak kepala Jean. "Kenapa, Jean?"

Jean sempat tercenung, sikap Rhett yang hangat ini – jarang sekali. Rhett sendiri cuma nyengir kuda.

"Beliau enggak marah? Aku pasti menghancurkan akademi 'kan? Aku sangat takut beliau marah." Jean menepis pikiran-pikiran anehnya tentang Rhett juga menepis jauh-jauh dadanya yang ternyata tersentak tak berdaya.

Kenyataan bahwa Rhett menawan dan mempesona. Jean susah payah menelan salivanya.

"Mengapa mesti marah? Beliau dan Mrs. El bergerak cepat, kau enggak perlu mencemaskan itu. Tampaknya Principal malah senang bertemu denganmu. Lihat sendirikan? Akademi baik-baik saja."

"Benarkah? Kenapa bertemu dengan Principal di saat enggak tepat? Padahal aku ingin sekali bertemu dengannya." Jean mengaduh, merasa konyol sendirian. "Rhett, memangnya Principal itu seperti apa?"

Rhett menimbang-nimbang, terhenti di puncak tangga. Mengerling nakal. "Kalau aku memberitahukanmu, aku dapat apa?"

Jean cemberut, "Maksudnya? Jadi seorang Rhett Baker Valentine adalah tipikal orang yang pamrih sekarang?"

"Enggak ada yang gratis, bahkan informasi. Kau harus membayarnya." Rhett mengangkat bahu. Tersenyum jahil, "Bukankah aku pernah menyelamatkanmu sekali?"

"Menyelamatkanku? Kau pasti bercanda, bukankah aku yang selamatkan kau, Rhett? Jangan lupakan itu." Jean terpingkal geli.

"Memangnya begitu? Aku enggak ingat, tuh?!"

Pandangan mata Rhett berbinar, entah sejak kapan – Jean mulai penuhi isi kepalanya. Dia pun tidak memahami keresahan hati yang ganjil ini. Azael benar, Jean memang istimewa.

"Ayolah, Rhett. Katakan padaku sekarang juga?" tuntut Jean enggan menyerah, menarik lengan pemuda bermata teduh itu. "Baiklah, kau mau apa? Katakan saja padaku. Kau benar, aku berhutang nyawa padamu."

Rhett malah tertawa, senang menggoda Jean. "Serius? Suatu saat nanti aku bisa menagihnya, lho."

"Enggak masalah, selagi kau memberikan informasi tentang Principal. Lagian aku heran, masa di kastil sebesar ini enggak ada satu pun potret beliau?"

"Itu sudah aturannya, kehendak Principal sendiri."

Azael melintas dari bawah anak tangga, menyaksikan kedekatan Jean dan Rhett baru saja. Tawa keduanya benar-benar terpecah, menggema di lorong-lorong panjang kastil. Langkah kakinya terhenti, terdapat nyala api di dalam dadanya yang berkobar hingga ke lipatan perut.

Kecemburuan ini tidak mampu Azael tahan.

Rhett pun segera mematung, terpaku di anak tangga saat pandangan mereka bertemu satu sama lain, Rhett melempar senyum lebar, Azael mengangguk dan membalas dengan senyum tipis.

Berniat pergi ke tempat favoritnya, Azael hendak teruskan niatannya. Tanpa memandang Rhett atau Jean.

"Azael?!" Jean turun menghampirinya sembari tersenyum lebar. "Aku mendengar apa yang terjadi. Aku minta maaf, katanya kau terluka? Yang mana? Aku benar-benar minta maaf, Zael. Semoga kau enggak marah padaku."

Azael mencubit cuping hidung Jean, melepas topi di kepalanya dan meletakkannya di atas puncak kepala Jean. "Aku enggak apa, lagian aku sudah sembuh. Lihat 'kan? Tanganku baik-baik saja?"

"Kenapa kau melakukannya? Kau bisa saja terluka, kalau sesuatu yang buruk terjadi padamu gimana?!" Jean mencebik sebal.

"Kenapa, kau akan merindukanku kalau aku enggak ada?" Azael menjulur lidahnya, untuk menggoda Jean.

Jean memukul lengan Azael menggunakan topinya. "Enggak lucu, Zael. Aku serius!"

"Aku enggak bisa membiarkan professor Reddington di sana. Bahaya baginya, bisa berakibat fatal. Kau enggak mau 'kan ada korban berjatuhan?"

"Kau benar. Terima kasih, sudah menyelamatkan Professor Reddington."

Rhett melintas, menepuk pundak Jean pelan. "Sampai nanti, Jean. Ingat kau berhutang padaku."

"Hutang apa? Kau kan belum bicara apa-apa, Rhett?!"

Terpingkal geli, Rhett melambai tangan. "Nanti kita bicara lagi, hei. Zael."

Azael cuma tersenyum tipis, lalu tertunduk dalam.

"Apa itu barusan?" Jean memandang Azael penuh tanda tanya. Merasakan keganjilan aneh di antara mereka. "Kalian berdua kenapa?"

"Apanya yang kenapa?" Azael melanjutkan langkahnya meninggalkan Jean.

"Kau dan Rhett tampaknya bersitegang. Kalian berdua kenapa?"

Kali ini Azael menggeleng sembari mengedikkan bahunya. "Kami enggak kenapa-kenapa tuh? Kau saja yang berprasangka buruk."

Jean menahan lengan Azael. "Aku enggak percaya, sebelumnya kalian berdua enggak seperti ini. Kalian bertengkar, ya? Ada apa, sih?"

"Sok tahu." jawab Azael merengkuh Jean, menyeretnya di antara lorong sepi.

"Lepaskan aku. Kau mau apa, Zael?! Lepaskan aku!" Jean memukul lengan Azael yang merengkuh pundaknya erat.

Azael tersenyum manis, "Tadinya aku mau jalan sendiri. Kau terlalu menggemaskan ditinggal sendirian. Mau kutunjukkan tempat keren?"

"Ke mana? Aku ada kelas Professor Strago Martland. Jangan ajak aku bolos, deh. Lepaskan aku!"

"Enggak bisa." Azael kian eratkan dekapannya. "Kau terlambat dan enggak boleh menolak. Ikut saja, kau pasti bakalan suka."

Azael keburu membuka pintu teleportasi. Menyeret Jean ke dunia lain, tanpa pedulikan gerutuan gadis itu yang memberontak ajakannya.

Tanpa diduga, sosok lain yang sedari tadi membalam bersembunyi di kegelapan sudut lorong. Memperhatikan gerak - gerik Jean melalui tatapan selicik rubah dengan kebencian mengental. Kedua tangannya terkepal menahan geram. Geriginya bergemeretak oleh berang.

"Sok cantik! Kenapa kau enggak mati saja, Jean!"

***