"Sebenarnya kau mau ajak aku ke mana, sih? Ini kenapa mataku ditutup segala?! Kau memang mencurigakan kadang-kadang, ya?"
Jean mengeluh, menggerutu sebal sebab kesulitan melangkahkan kakinya. Matanya benar-benar tidak mampu melihat apa pun selain kegelapan total. Meski hangatnya tangan Azael membimbing kedua pundaknya.
Sepatu ketsnya meraba-raba, indera pendengarannya menangkap suara ranting-ranting pohon yang patah akibat terinjak, dedaunan berserakan kala Jean menyeret langkahnya. Aroma hutan menebal di lubang hidung, berisiknya kehidupan belantara bersahut-sahutan di atas kepala Jean.
"Belum sampai, jangan buka dulu matamu, Jean."
Pinus yang menyegarkan, kini digantikan udara sedingin es. Anginnya cukup kencang kala Jean merasakan semilir angin dingin menyibak surai sunsetnya.
"Diam di sini."
Sekarang Jean mendengar bentangan suara aliran sungai dengan jelas tampak mengampar di depan mata.
"Jangan macam-macam denganku, Zael. Kau tahu aku saat marah 'kan?"
Azael tergelak, "Itu sebabnya aku hati-hati. Aku hanya ingin melihat wajah cantikmu dari dekat, Jean."
Suasana menghening, Jean tertawa simpul. "Yeah, terus saja menggodaku."
Jarak mereka sedekat nadi, dari samping Azael pandangi wajah jelita Jean lekat-lekat dan menghirup aroma 'bright crystal' semerbak menguar dari tubuhnya yang elok, tulang hidung Jean runcing dan presisi, Azael senang menjimpit cupingnya. Mendamba bibir ranumnya semerah darah.
Jean merasakan helaan napas Azael yang menyapu kulitnya, tangannya meraba-raba dan tak menyangka kalau jemarinya akan mendarat di dada berbidang milik Azael.
"Maaf." Jean menarik kedua jemarinya yang telanjur rikuh namun Azael malah menggamitnya hangat.
Jantung Jean berdegub kencang, serasa hendak melompat dari tempatnya. Darah pun naik ke pipinya, ciptakan semburat merah yang tak kuasa dikendalikan oleh Jean. Demi menepisnya, dia bereaksi defensif. "Zael. Jangan − bergurau."
Azael nyengir, menjimpit lembut pipi Jean. "Kau siap?"
"Memangnya kau membawaku ke mana, sih? Kayaknya ada aliran sungai, ya?"
Penutup matanya dibuka, Jean tercenung sebab pandangannya sempat berbayang. Mencerna lansekap luar biasa indah yang mengampar di depan matanya.
"Apa yang – "
Pelataran pegunungan menjulang tinggi di atas kepala, lembah tebing kehijauan yang menurunkan ceruk air terjun curam yang mengalir ke bentangan aliran hulu sungai pirus jernih di depan mata.
Jean terpana, segaris senyum lega terbingkai di bibir ranumnya. Pemandangan ini memanjakan mata dan pikirannya. Udara sejuknya menenangkan sampai ke rongga kepala, semua lansekap serba hijau. Aroma hutan bercampur kesejukan alam.
"Pengunungan adalah favoritku. Enggak ada yang lebih keren dari perpaduan mereka." Jean berdecak kagum. Merentang kedua tangannya lebar-lebar, membiarkan semilir uap dingin yang dihempas angin terbangkan surai seterang senja indahnya.
"Kalau begitu, ayo. Nikmati selagi di sini."
"Eh, mau apa?! Tunggu dulu, Zael! Jangan! Tunggu du − "
Azael mencengkeram jemari Jean, membawanya berlari untuk melompat di ujung bebatuan dan terjun ke kubangan air yang berwarna pirus. Tawa keduanya terpecah menggema, Jean memekik kala tubuh mereka tercebur langsung ke dalam dinginnya air.
Suara deburan meruap di permukaan, Jean benar-benar tak menyangka akan terjun dalam sekejap mata, Azael terus menggenggam erat jemarinya sepanjang peluncuran terhebat yang pernah Jean rasakan. Semuanya terendam, termasuk kesadaran penuhnya, gravitasi air membuat gerakan reflex tubuhnya ikut melambat.
Pembuluh darahnya serasa menyempit, sebelum Jean membuka mata dan kehilangan arah, Azael menarik tangannya ke permukaan.
Jean menghela napas panjang saat wajahnya melompat keluar permukaan, sempat menggigil dan meraup wajahnya yang kuyup. Memberengut sebal, dan diserang batuk. Cuping hidungnya memerah akibat tersedak air.
"Seru 'kan?" Azael nyengir kuda.
"Kau memang jahil. Bagaimana nanti pulangnya? Ini dingin sekali, Zael. Basah semua!"
Azael terkikik, menepuk punggung Jean lembut. Membantu redakan serangan batuknya. "Luar biasa 'kan? Ini tempat yang cocok untuk tenangkan pikiran. Sebenarnya ini tempat rahasiaku. Cuma kau yang kubawa kemari. Aku belum pernah membawa orang lain bahkan Shadowcaster."
Berdecak sembari menghempas napas penuh kekalahan, "Ah, sudahlah. Kau memang menyebalkan."
Azael mulai gusar, "Aku punya gerbang teleportasi, Jean. Kau tahu itu 'kan? Aku akan mengantarmu sampai ke depan kamar asramamu. Jangan cemberut begitu. Okay, aku minta maaf. Aku enggak bermaksud apa-apa, cuma ingin membuatmu senang. Jadi, beneran kau marah padaku?"
Suasana menghening, air muka Azael berubah memelas sekarang. Sepasang matanya berkilat-kilat sendu. Air mukanya mulai frustrasi.
Kemudian segaris senyum lebar merekah di bibir Jean, terkikik geli hingga tersengal dan terbahak-bahak.
Dahi Azael mengerut dalam, "Kenapa tertawa?!"
"Kau harus lihat mukamu tadi, lucu sekali! Aku cuma bergurau, Zael. Ini luar biasa, mana mungkin aku enggak suka." Jean terbahak lagi, masih terpingkal geli. Tidak mampu menahan gejolak di perutnya. Mengalahkan hawa dingin sekali pun, ekspresi Azael yang kocak jarang-jarang terlihat. Semestinya ia membawa ponsel untuk mengabadikan wajah Azael tadi, "Aku enggak nyangka pemimpin Shadowcaster bisa panik juga."
"Oh, mengajakku bercanda, awas kau, ya? Enggak ada ampun." Azael menepuk air sungai hingga menciptakan semburan yang membuat Jean kembali tersedak.
"Itu enggak lucu! Uhuk… uhuk!" Jean mengesang, merasakan kedua matanya memanas.
Azael tergelak penuh kemenangan. "Enggak ada ampun, Jean. Kau membuat pesonaku luntur."
Enggan mengalah begitu saja, Jean membalas Azael dan perang air pun tercetus. Tawa keduanya terpecah, menggema nyaring di antara pelataran lembah.
"Gimana kalau ini? apa kau mampu menahan seranganku, Jean?!"
Menerkam tubuh Jean dari belakang dan menggelitiki pinggulnya dengan buas. Jean meronta-ronta, meski tawa keduanya masih mengoyak udara. Jean berupaya melepaskan diri namun Azael enggan membiarkannya lolos begitu saja.
"Hentikan itu, Zael! Ini kelemahanku! Stop it! Atau kau benar-benar kulempar?!" Jean benar-benar tergelak geli, tawa riangnya terpecah bagai simfoni menyenangkan di telinga Azael, yang mampu mengobati kehampaan atau lubang di dalam dadanya.
"Ayo, masih mau melemparku?" Azael ikut terpingkal melihat Jean benar-benar tak berdaya.
Wajah Jean memerah, kakinya memberontak dan Azael enggan hentikan serangannya.
"Ampun, Zael! Stop it, please. Maafkan aku!"
"Okay…okay. Aku hentikan, berarti aku menang 'kan?"
Jean tersengal, kelelahan sendiri. Ingin sekali dia menenggelamkan Azael saat itu juga, tapi lebih baik ia secepatnya naik ke daratan saja. Merasakan kakinya mulai kram, Jean buru-buru ke tepian.
"Hei, mau ke mana?"
"Aku enggak mau dekat-dekat denganmu! Lebih baik kau tenggelam saja sekalian, Zael!"
Azael nyengir dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
***
"Nih, pakai jaketku."
Jean terduduk di bawah pohon mahogany raksasa, surainya lepek. Seluruh pakaiannya kuyup, merasakan tubuhnya menggigil kedinginan. Azael melebarkan jaketnya dan mengenakannya pada Jean.
"Thanks." Jean tersenyum sekilas. "Kau memang sengaja melepas jaket ini 'kan? Biar terkesan heroik?"
"Bukankah aku memang pahlawanmu?" tanya Azael menyikut lengan Jean berkali-kali, masih menggodanya.
Jean mencibir, memutar bola matanya jengah. "Pahlawan gadungan."
Azael terkekeh geli, "Masih mau di sini? Atau ingin kembali, Jean?"
"Aku masih ingin di sini, sih. Kau bisa membuat api unggun?"
"Kecil." sahut Azael enteng.
Kumpulkan ranting-ranting yang berserakan di atas tanah, Azael menimbunnya tak jauh di hadapan Jean. Dari telapak tangan Azael tercipta kekuatan elemen api.
Jean terpana, "Aku enggak tahu kau bisa kendalikan api?"
"Hunter es, aku bisa memanipulasi api. Kau tahu Shadowcaster harus punya 4-5grade."
"Ya, aku tahu. Margo pernah menjelaskannya."
Rantingnya terbakar kala Azael melempar apinya ke tumpukan kayu kering. Jean merasakan kehangatan segera menjalar ke seluruh tubuhnya dan meredakan hawa dingin menusuk kulit.
Azael mendorong ranting-ranting yang belum terbakar, pusara api tercipta. Menepuk kedua tangannya, berdiri berkacak pinggang dan duduk di samping Jean.
"Hangat?"
Jean menghangatkan tangannya, menghela napas lega.
"Lalu, gimana ceritanya kau bisa berakhir di akademi?"
Azael tersenyum tipis, "Panjang ceritanya, Jean. Masa laluku terlalu menyedihkan untuk diingat, makannya aku meminta Jeo memblokir sebagian ingatanku. Enggak ada gunanya juga. Masa depanku lebih penting. Kali pertama datang ke akademi usiaku 6 tahun. Butuh waktu lama untukku, Hunter, Rhett dan Carver tergabung di shadowcaster. Kami punya sifat dan karakter sangat bertolak belakang. Sulit menyatukan perbedaan, tetapi berkat kesabaran Principal, kami bisa mengatasinya."
"Memblokir ingatan? Memangnya bisa?" Jean tampak terkejut.
"Jeo bisa melakukannya."
Oh! Sekarang Jean mengerti apa yang dilakukan Jeo terhadapnya tempo lalu, itu bukan pengobatan menyembuhkan penyakit, melainkan terapi untuk memblokir ingatannya.
Itu sebabnya Jean melupakan beberapa potongan memori yang mengganggunya dan bisa tidur nyenyak di malam hari. Kemampuan Jeo ternyata mengejutkan. Pantas dia seorang dokter.
"Dan, makin penting setelah kedatanganmu di akademi. Hidupku berwarna sejak ada kau di sini." Azael termangu, duduk bersila menghadap Jean. Matanya mengerling nakal.
"Mulai, aneh. Berhenti menggodaku, Zael. Enggak akan mempan."
Azael menatap mata Jean intens, "Aneh? Kau menganggapku hanya begitu saja? Setelah selama ini, masih belum menyadarinya juga? Kau memang enggak peka, ya? Dan aku sempat marah, mengapa Rhett yang bertemu denganmu duluan, bukannya aku?"
Jean terperanjat dramatis dari duduknya, merasakan semburat di pipinya memanas. Dadanya berdebar resah, sebelum segalanya hilang kendali, "Kita kembali saja, sekarang."
"Pffffttt! Bilang saja mau menghindar dariku, pipimu merona, Jean." ucap Azael cengengesan menahan gelak tawanya. "Kau masih berhutang padaku, ingat janjimu yang di perpustakaan waktu itu?"
Diam-diam Jean mendesis sendiri, merasa konyol. Mengutuk situasinya dalam hati. "Memangnya kau mau apa lagi?"
Awalnya Azael hanya tersenyum lembut, tanpa diduga dia menarik Jean masuk ke pelukan hangatnya. Mendekap kepala gadis itu dalam balutan lengan dan dada berbidangnya. "Aku benar-benar gila memikirkanmu, Jean. Meskipun kau terus menghindar dariku."
"Az – ael, apa yang kau lakukan?"
Jean hendak melepaskan pelukan itu, Azael malah mengeratkannya. Aroma parfum 'black sage' memabukkan dan membuat Jean lupa daratan.
"Katakan padaku? Apa yang harus kuperbuat lagi? Aku kehilangan akal sehatku karena aku − sangat menyukaimu."
Sesak napas, Jean merasakan jantungnya berdebar kacau, rasanya seakan hendak melompat dari tempatnya. Gejolak hebat serta hawa panas yang menerpa sekujur tubuhnya sulit dipahami.
Paru-parunya mengempis, entah apa yang terjadi pada Jean. Pikirannya mendadak sulit berpikir jernih. Kebimbangan, dilema, beragam kecemasan menghantam hatinya.
Jean menggelengkan kepala, kurang paham apa yang terjadi pada dirinya. Azael melepas pelukannya. Tetapi, Jean benar-benar mundur dan menjauh. Terlalu takut, memandang wajah Azael saat ini.
Gadis itu malah berbalik pergi, lintang pukang tetapi Azael mengejarnya.
"Jean, jangan pergi! Tunggu dulu!"
Menahan Jean pergi, Azael menarik lengannya sekali lagi. Ketika Jean kembali ke hadapan pemuda itu –
Azael mengecup lembut bibir ranum Jean yang terasa semanis vanilla, mereka berbagi napas, melumatnya penuh kasih sayang, hangat, tanpa tuntutan dan segalanya mengalir begitu saja. Seolah ada gelombang kejut di seluruh pembuluh darahnya, Jean terpana oleh sikap Azael yang penuh kehati-hatian, memperlakukannya bagai porselen.
Jean menjerit dalam batin, [ "Tunggu dulu! Dia mencuri ciuman pertamaku!" ]
***