Chapter 21 - Battlefield

"Ouuccchh!"

Jean sempat merasakan terpisah dari raganya barang sesaat, bagai limbo terjebak di antara dua dunia, serasa ada tangan dingin tengah meremas ulu hatinya. Tahu-tahu secepat kilat ia terlempar mendarat di bawah akar pohon mahogany raksasa yang membuat perutnya mual sebab cara jatuhnya salah.

Meringis nyeri, sensasi menusuk terasa mual di perutnya, susah payah Jean berdiri. "Akh, lumayan untuk pemula sepertiku. Eh, tunggu dulu tempat ini 'kan?"

Menghela napas frustrasi, Jean tak paham mengapa terdampar di tempat ini lagi. Di mana Azael mengecup lembut bibirnya. Tepat di pohon ini, di depan sisa kayu bakar api unggun kemarin.

"Astaga, Jean. Stop it. Mengapa malah ke sini, sih? Ah! Cuma ini yang kepikiran. Konyol aku ini." rutuknya memaki diri sendiri.

[ Groooooooaaaaaaar! ]

Terkesiap defensif, Jean membeku di tempatnya kala raungan Hellizor terdengar menggema di seluruh penjuru belantara. Matanya membeliak nanar ke sekelilingnya. Ia ingat pesan Lee kalau naga itu bisa berkamuflase, Jean harus lebih hati-hati juga waspada.

Ada hal penting lain selain pikiran aneh-anehnya tentang Azael.

Mulai menyusuri jalan setapak, Jean berjalan maju. Pasang seluruh inderanya dengan tingkat kewaspadaan penuh, hutan pinus ini sunyi dibandingkan kemarin. Mungkin kehadiran Hellizor membuat kehidupan belantara pun ikut ketakutan.

"Aku harus berani, demi menangkan tes ini. Aku butuh privilege itu. Aku pasti bisa."

Jean bergerak secara gerilya, pastikan segala situasi atau kondisinya aman. Dia tidak boleh dikalahkan oleh rival-rivalnya bahkan oleh teman sekamarnya sendiri. Jean berharap semoga tidak bertemu dengan ketiga sahabatnya.

Kemudian terdengar suara dalam pikiran Jean, itu suara mind-link dari professor Declan Eyllaw.

[ "Lucy Adarlan mengangkat tangan, dia menyerah. Artinya dia gugur. Lucy, silakan kembali ke gelanggang." ]

Jean menghela napas panjang, baru beberapa menit dia pijakkan kaki – ternyata Lucy Adarlan menyerah secepat itu. "Seseorang pasti menjegal langkahnya. Kira-kira apa yang akan dilakukan sahabatku kalau bertemu denganku, ya?"

Melanjutkan langkahnya lagi, raungan Hellizor kali ini terdengar lebih dekat. Jean telah pikirkan matang-matang tindakannya nanti bila menghadapi makhluk itu. Selain keberanian tingkat tinggi, ketangkasan kekuatan adalah kuncinya.

"Aku jadi kepikiran semua kata-kata Dewi Astraea." gumamnya tersenyum sendiri,

Jean baru keluar dari batang pinus raksasa, tak antisipasi serangan datang. Cahaya ungu meledak di bawah kakinya, Jean pun terjungkal ke belakang.

"Lawan aku, Jean atau menyerah saja, aku enggak mau menyakiti perempuan!" perintah Connall Vaughan dengan kedua tangan bercahaya ungu terang.

"Uhuk… uhuk." serangan batuk hebat membuat kepala Jean berdenyut, kepala belakangnya membentur bebatuan kala terjungkal tadi. Sensasi nyeri memanas terasa menjalar ke punggungnya. "Con − nall."

Connall lesatkan serangan ledakannya lagi, setahu Jean pemuda asal irlandia itu memiliki kekuatan 'warhead' yang mampu membombardir apa pun. Daya hulu ledakannya lumayan dahsyat, Jean tidak boleh meremehkannya, saat menyerang tadi membuat beberapa batang pohon pinus tumbang dari akarnya.

Jean berguling ke samping, menghindar dan lekas bangkit. Tubuh Jean lenyap dihisap oleh kekuatan teleportasinya.

"Sialan! Mana dia?!" umpat Connall kehilangan jejak Jean.

Diam-diam Jean muncul di belakang Connall, menjaga jarak. Jean lebih siap kali ini.

Pemuda itu yang menyadari kehadiran Jean, lantas lesatkan tinju dengan segenap kekuatannya.

Jean mengangkat satu tangan kanannya, sebuah perisai kasat mata miliknya mampu menahan seragan 'warhead' milik Connall dan menghempaskannya ke arah lain.

"Jadi kau mau melawanku?"

"Maaf, Con. Aku enggak punya pilihan lain, aku harus menangkan tes ini." tegas Jean tak bisa diganggu gugat.

Connall terkekeh geli, "Semua orang juga mau memenangkan tes ini. Masing-masing dari kita punya impian dan tujuan. Aku enggak akan menyerahkannya pada siapa pun termasuk dirimu. Kuberi kau kesempatan, Jean. Menyerah saja sebelum aku mendepakmu dari sini."

Kedua tangan Jean keluarkan cahaya crimson sembari memasang senyum manis, "Kalau begitu aku lebih memilih melawanmu."

"Fine, enggak akan ada ampun untukmu."

Connall memperbesar kekuatannya, sederet tembakan serbu dia keluarkan. Bagai letusan-letusan roket dari tank, Jean mengangkat kedua tangan, mempertahankan posisi dengan perisai kokohnya.

Pada awalnya ledakan demi ledakan berhasil Jean tepiskan, namun serangan hebat terakhir dari Connall yang semburkan hulu ledak berkekuatan dahsyat −

[ Dduuuuuaaarrr! ]

Seluruh batang pepohonan tumbang dalam satu sapuan, gelombang hantaman gravitasi menghancurkan sebagian hutan. Kobaran api hebat membumbung setinggi langit, menggetarkan seluruh daratan hutan pinus. Dentumannya terasa hingga ke gelanggang.

Jean dilahap api, tubuh mungilnya tak tampak. Selain kobaran api dan ditelan oleh ledakan kepulan asap bercampur debu bara api sehitam jelaga.

***

Dentuman bagai gempa itu membuat Azael terperanjat dramatis, Rhett sama cemasnya. Mereka gelisah di tribunnya, terlebih ketika kepulan asap bercampur api dari tengah-tengah hutan pinus tampak meletup ke angkasa.

"Siapa itu?"

"Kelihatannya Jean tengah melawan Vaughan." ucap Carver mendeteksi melalui kekuatan 'Clairvoyance' nya.

"Gimana kondisi Jean, Carver?" kali ini Rhett bertanya, mengharapkan keajaiban atau berita baik bahwa Jean baik-baik saja.

Carver menggeleng-gelengkan kepalanya, "Belum kelihatan, api di mana-mana."

Azael mulai ketar-ketir, dia berdiri di pembatas tribun dengan pandangan menerawang. Raungan Hellizor mengoyak udara, belum ada satu pun murid yang bisa mendeteksi keberadaannya.

"Jean di mana, Carver?" Azael kelabakan tak sabar. "Tell me good news!"

Carver belum memberi jawaban pasti, matanya yang terpejam dengan dahi terlipat.

"Sesuatu yang buruk terjadi." tambahnya.

Tempurung lutut Rhett melemas, bantuan dari luar tak diperbolehkan dalam tes ini seberapa pun dalam bahayanya peserta di sana.

Azael memukul pembatas besi tribun, jengkel bukan main.

"Katakan padaku, Carver! Situasi, Jean!"

***

Napas Connall naik turun, mengeluarkan kekuatan sebesar itu bukanlah perkarah mudah. Dia tertimpuh di atas tanah yang nyaris gundul akibat gelombang hantaman gravitasi yang tak mampu menahan ledakan dahsyat, peluh sibari wajahnya yang pucat.

"Enggak akan ada yang selamat melawan serangan roket dahsyatku tadi." katanya tersenyum penuh kemenangan, "Maafkan aku, Jean."

Con bangkit, berniat meninggalkan tempat itu akan tetapi kakinya malah terhenti sekarang.

Sesuatu muncul dari pekatnya kepulan asap, bercahaya terang berwarna crimson keemasan. Con sampai menaungi pandangannya yang tak sanggup menatap cahaya menyilaukan itu.

"Gi−mana bisa?" mata Con terbelalak liar, menyaksikan Jean berdiri utuh di sana tanpa terluka sedikit pun.

Kali ini sepasang matanya mulai ikut menyala, rambut Jean berkibar bercahaya bagai tenaga surya matahari. Angin ribut berembus kencang di sekeliling Con sembari pertahankan posisinya sekarang. Bebatuan kerikil dari tanah pun mulai melayang-layang di udara.

Con keluarkan perisai ungunya, sempat mundur beberapa langkah ke belakang. Ingat kejadian tempo lalu kala kekuatan Jean mengamuk.

Ada yang berbeda, itu tak tampak seperti Jean. Con melihat ada sosok lain di dalam tubuh gadis itu. Jean mengangkat tangan kanannya kali ini dan nyawa Connall terancam. Perisai kokohnya tembus oleh kekuatan telekinesis milik Jean, entah bagaimana Jean bisa melakukannya.

[ "Jean… kendalikan dirimu." ] perintah Declan Eyllaw melalui telepati pikirannya.

Sayangnya, Jean tak merespon.

Perlahan-lahan Jean mengangkat tangannya ke atas, tubuh Connell melayang terkunci oleh kendali Jean sepenuhnya.

Con berusaha melawan, keluarkan kekuatannya namun tubuhnya benar-benar terkunci.

[ "Jean, control yourself!" ] pinta Declan kedua kalinya.

Merasakan tubuhnya seperti terbakar hebat, Con kesulitan bernapas. "Jean – aku menyerah!" katanya setengah tercekik.

Tubuh Jean keluarkan gelombang 'cosmic pulse' yang membuat kulit Connall terkelupas seperti ditusuk ribuan jarum. Entah apa yang telah menguasai pikirannya. Jean tersenyum miring, perlahan-lahan kedua matanya berubah menggelap.

"Jean – to – long, aku menyerah!"

Angin kian bertiup kencang, saat awan-awan gelap keperakan mulai bergumul di atas kepala Jean dan keluarkan ledakan-ledakan petir tak terkendali.

Elvana Skylark tanpa pikir panjang pun turun tangan, teleportasinya menyelamatkan Connall Vaughan yang tengah sekarat. Secepat kilat membawa pemuda itu pergi tepat waktu sebelum Jean mencabik-cabik tubuhnya menjadi serpihan debu. Meski kulit lengan El ikut terkelupas, hanya ini caranya menyelamatkan Connall.

Jika saja Elvana terlambat sedikit, Connall Vaughan pasti tewas dalam hitungan detik.

Ledakan dahsyat 'atomic pulse' menyapu setengah bagian hutan pinus menjadi jelaga hitam. Tak menyisakan apa pun selain debu bara api. Setelah keluarkan kekuatan itu, Jean ambruk di tanah dan lemas tanpa daya.

Semua cahaya seterang matahari itu menghilang tanpa jejak, hanya menyisakan cakrawala yang tampaknya hendak memuntahkan badai. Jean terbaring dengan batin dan energi di tubuhnya terkuras habis.

"Apa yang terjadi? What have I done?" pandangan Jean berkeliling, hutan pinusnya porak-poranda, ia tak mengingat apa pun tetapi melihat kerusakannya, sudah pasti ini ulahnya. "Astaga, siapa yang aku lukai tadi?"

Berusaha bangkit, Jean terduduk dengan kepala berdenyut. Merasakan cairan kental panas melinang ke tengkuknya. "Aww." katanya meringis nyeri, baru tersadar ketika telapak tangannya di penuhi darah kental.

Benturan tadi membuat kepala Jean terluka hingga alami pendarahan, kemeja putih di bajunya penuh darah. Tampaknya tak akan cepat berhenti.

[ "Connall Vaughan, Margo Scola, Summer Tremaine, Jonquile River, Maira Hawthorne gugur." ] Declan mengumumkan melalui mind link telepati.

Jean mengutuk dalam hati, melakukan telepati pada Professor Declan Eyllaw. "Professor katakan padaku, kalau Vaughan baik-baik saja?"

[ "Dia alami luka serius, Jean. Wakil principal yang menjemput dan menyelamatkannya. Kurasa lengan beliau ikut terluka. Mereka sudah ditangani oleh Jeo." ]

"Maafkan aku, Professor. Aku tak ingat apa yang terjadi, sungguh. Aku kebingungan. Tolong sampaikan permohonan maafku pada mereka."

[ "Tidak apa, lanjutkan saja, Jean. Itu perintah wakil principal. Good luck." ]

Kepalanya benar-benar nyeri, Jean masih bisa bangkit walau seluruh tubuhnya nyeri semua, napasnya kacau. "Go dan Mai gagal, berarti tinggal Lee?"

Belum selesai Jean menghela napas, dia kembali terjungkal kala serangan lain datang secepat kilat dari arah belakang, tepat menusuk punggungnya.

"Arrrrgh!!"

Seseorang menerbangkan ranting runcing hingga menembus ke tulang punggung Jean.

"Bastard." lirih Jean mengumpat, terjerembab nyeri di atas tanah. Merasakan sensasi menyengat sekaligus terbakar di kulitnya.

Menggunakan kekuatan telekinesis kendali pikirannya, Jean mengatur napas. Pusatkan konsentrasi di rongga kepalanya, mencerabut ranting yang menusuk punggungnya dan mengerang. Napasnya naik – turun memburu.

Ranting itu kini melayang di atas kepalanya, mata Jean berpencar mencari si pelaku yang menyerangnya dengan cara pengecut begitu.

Lima teman kelasnya ada di sana, dengan sorotan mata kental permusuhan. Bersiap pasang ancang-ancang keluarkan kekuatan mereka masing-masing.

Wajah-wajah mereka, dua perempuan dan tiga laki-laki. Jean mengingatnya dengan jelas.

"Reverie Callahan, Nina Maude, Atlas Miklaus, Milo Sawyer, dan Ezra Wade." eja Jean merasakan darah panas merembes di kulit punggungnya.

"Bagus kalau kau ingat kami." sinis Nina Maude, tangannya bercahaya hijau terang.

"Satu-satunya yang harus kami hentikan adalah kau – Jean Venthallow Argent. Karena kau berbahaya bagi siapa pun." Atlas Miklaus tersenyum miring.

"Habisi dia!"

***