"Ini pertama kalinya kita kegiatan bersama." Margo memekik antusias menggenggam lengan Jean di sampingnya.
Lee berdecak, memutar bola matanya jengah. "Ayolah, Go. Enggak perlu seantusias itu 'kan?"
"Biar saja, aku juga antusias. Hari ini kita tanding di luar ruang kelas. Aku enggak sabar, apa misinya kali ini, ya? Kalian tahu 'kan? Professor Declan Eyllaw selalu penuh kejutan." Mai menyingkut rusuk Lee untuk bersikap lebih manis.
Kali ini Jean merangkul hangat pundak Lee dan Mai bersamaan, "Aku sudah dengar dari Margo, apa yang kalian lakukan terhadap Lexie. Aku sangat berterima kasih, enggak nyangka kalau kalian membelaku. Aku agak terharu, jujur saja – aku belum pernah punya sahabat akrab yang peduli padaku."
Mia mengibaskan tangan, terkekeh kecil. "Bukan apa-apa, Lee yang punya idenya. Aku cuma membantunya, sayang sekali Professor Salvatore turun tangan. Kau tahu sendiri 'kan? Lee enggak bakalan bisa berkutik kalau beliau yang memintanya."
"Aku sangat berharap mereka jadi santapan Carpus. Lagian hukuman itu enggak setimpal daripada martabatmu, Jean. Jengkel mendengar mulut mereka yang menyebalkan." sahut Lee mendengkus geram.
Mata Jean memicing, curiga terhadap Lee. "Atau sebenarnya kau sedang badmood, Lee? Kau punya masalah?"
Lee terbahak, menggeleng-gelengkan kepalanya, "Aku punya masalah, enggak mungkin. Aku lebih suka meneror orang lain dengan kegilaanku daripada kegalauan urusan pribadi yang enggak ada gunanya."
[ Deg! "Kegalauan urusan pribadi?" ]
Jean jadi ingat lagi, kejadian di hulu sungai bersama Azael kemarin. Si pencuri menyebalkan satu itu!
Terjadi begitu cepat dan itu di luar kuasanya, Jean juga tak menyangka kalau Azael akan senekat itu. Rasanya Jean ingin menjerit sekencang-kencangnya, kalau dibayangkan membuat jantungnya berdebar resah, kacau-balau, dan selalu sukses memaksa darahnya naik ke pipi – memanas tak terkendali.
Dan sekarang Jean cuma bisa menghindari Azael, terlalu takut memandang wajah tampan atau mata teduh sebiru langit pemuda itu. Ia merasa gila saat ini.
[ "Aaargghh! Azael menyebalkan!" ]
Setelah memukul kepalanya sendiri, tanpa sadar Jean mengusap bibir semerah darahnya, entah kenapa ia malah tersipu sekarang kemudian tenggelam dalam lamunannya.
Terselip pula perasaan bahagia yang menghangatkan hatinya meski sulit dipahami, takjub kala dia membayangkan sekali lagi.
Ciuman terhangat, lumatan terlembut dan belaian tangan Azael yang hati-hati membelai tulang pipinya yang tinggi.
[ "Stop it, Jean! Hentikan pikiran anehmu! Aku enggak bisa menemuinya. Terlalu takut – What's wrong with me?" ]
"Jean…? Jean…?"
Margo menepuk pundak Jean sehingga buyarkan seluruh bayangan di kepalanya, terkesiap kaget sebab baru saja Jean dapatkan seluruh kesadarannya. "Hei! Malah melamun, baris di sini!"
Jean tersenyum simpul, menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Margo menyeret lengannya sembari menggeleng-geleng tak habis pikir.
"Maaf, maaf. Aku kepikiran sesuatu. Eh, kita di mana?"
Margo tersenyum manis, "Ini gelanggang olahraga akademi."
Melotot mata Jean, gelanggang itu sebesar lapangan sepak bola. Ditumbuhi rumput hijau segar dan bentuk bangunannya lebih mirip coloseum. Terdapat tribun mengelilingi gelanggang, semua kursinya penuh oleh keriuhan murid-murid akademi.
Tanpa terkecuali kehadiran wakil principal bersama asistennya, jajaran staff dewan lain dan Shadowcaster mengisi tribun khusus. Lagi-lagi, Principal absen.
Dari sana Azael dan Rhett melambaikan tangan pada Jean, mereka sama-sama tersenyum manis. Bukannya membalas, Jean membuang muka. Melihat kehadiran Azael, membuat segala sesuatu yang ada di dalam tubuhnya kacau-balau.
Kali ini pandangan Jean segera teralihkan – tepat pada seorang gadis yang wajahnya asing. Ini kali pertama Jean melihatnya.
Surai wine gadis itu dikucir kuda, dia kaukasian, tinggi semampai, berbaris paling belakang, namun ada keanehan dirasakan batin Jean kala menyadari, bahwa sedari tadi mata gadis itu terus tertambat; memperhatikan tiap gerak-gerik Jean melalui sorotan ganjil.
Jean bergidik kala mata mereka bertemu.
Senyum keji misterius pun terkembang di bibir gadis itu, seiring semilir angin dingin menerpa wajah Jean dengan suara-suara bisikan mengandung teror itu lagi.
Bisikan Mannon Blackwood di penglihatan itu.
"Kau lihat apa? Oh, dia – anak baru di akademi. Carmen Morissa, kalangan murid lain menyebutnya 'Cursing Girl'." bisik Lee melipat kedua tangan di dada, menyorot Carmen dengan pandangan kurang suka. "Kau harus hati-hati padanya, kemampuannya mengutuk orang lain."
Jean cuma mengangguk-anggukan kepala tanpa berkomentar, walau terganggu dengan tatapan ganjil, aneh, obsesif dari Carmen. Jean enggan merisaukannya.
"Kenapa jadi ramai begini, Lee?" tanya Jean merasa ciut nyalinya.
Lee tergelak, "Karena tes ini tontonan seru. Kau belum melihat turnamen nanti. Lebih gila lagi."
Susah payah Jean menelan salivanya.
"Well, morning, class." sapa Professor Declan Eyllaw tersenyum manis di bawah cahaya mentari pagi, "Kalian semestinya sudah paham mengapa kita berkumpul di gelanggang. Kuyakin semuanya pasti sangat bersemangat hari ini. Wakil principal mengadakan tes kemampuan individual yang diadakan setiap akhir bulan, dan menunjukku untuk persiapkan tantangan seru yang harus kalian lewati."
Serangkaian tepukan tangan dari antusiasme tribun penonton serta peserta tes mengoyak udara serentak. Jean kian merasa ciut sekaligus merinding dengan atmosfernya.
"Aturannya sederhana, kalian boleh menggunakan kemampuan masing-masing. Menjatuhkan rival cukup satu kali, bila rival kalian mengangkat tangan – itu pertanda dia menyerah. Kalian tidak boleh menyerang peserta yang sudah menyerah. Diskualifikasi serta hukuman menunggu bila melanggar aturan." tambah Professor Declan Eyllaw mengambil sesuatu dari bawah kakinya.
[ "Kemampuan masing-masing? Gimana kalau aku nggak sengaja melukai orang lain lagi nantinya? Yakin aku ikut tes ini enggak apa?" ] pikir Jean dalam batin. Mengingat kekuatannya sampai saat ini terbilang belum stabil.
Declan menunjukkan sebuah kotak kayu tertutup berukuran sedang, sesuatu hidup di dalamnya. Beberapa kali kotak itu menggelepar, samar-samar Jean seperti mendengar suara kepakan sayap dari dalam kotak itu, juga serangkaian geraman berikut desisan mungil.
[ "Ular kah?" ]
"Ini misi kalian, menangkap Hellizor dengan tangan kalian sendiri." Declan membuka penutup kayunya.
Dibalik jeruji besi itu terdapat makhluk mungil dengan kulit bersisik tebal selegam malam yang wujudnya tampak seperti Dragon?
Semua orang tercegang, tak terkecuali Jean.
"Apa itu?" tanya Jean syok.
"Itu naga Hellizor, Jean." bisik Mai di sampingnya, "Makhluk itu memang buas, sulit ditangkap karena dia bisa berkamuflase di mana pun dia berada."
"Hah?! Ada makhluk seperti itu di Netherworld?! Kupikir itu cuma legenda. Kau tahu, mitologi?" Jean susah payah menelan salivanya, mulai berpikir keras apa langkah selanjutnya yang mesti di ambil.
Seluruh anak tingkat empat merupakan rivalnya sekarang ini.
"Dan tingginya bisa ratusan kaki. Kau harus hindari semburan api merahnya. Jangan takut, beranilah. Katanya Hellizor akan tunduk pada seseorang yang memiliki 'kalbu suci'." timpal Lee semringah aneh sedari tadi.
"Tetap saja dia makhluk buas, Lee. Apa pentingnya pikirkan hal itu?" keluh Margo sakit kepala.
Jean menyaksikan Hellizor menyemburkan api kecil dari balik jeruji, dan dia tampak marah sekarang. Mendesis, menggeram, menjerit benci pada apa pun. Berulang kali – dengan geram berupaya hancurkan jeruji kotak kayu itu.
Suasana kian riuh, mereka yang ditribun bersorak-sorai antusias. Khusus anak laki-laki tengah memasang taruhan untuk menebak siapa pemenangnya. Uang-uang yang terkumpul itu seolah menguarkan melankoli akhir kehidupan.
[ "Tes macam apa ini?" ] rutuk Jean dalam hati.
"Bersiaplah tingkat empat! Kalian ingat aturannya 'kan? Hanya ada satu pemenang, privilege satu semester!" seru Professor Eyllaw meletakkan kotak itu di tengah lapangan. Beliau mundur agak menjauh.
"Tunggu dulu, apa yang harus kita lakukan?!" tanya Jean bingung. "Memangnya kalau kita menang dapat apa? Melawan naga itu, membahayakan nyawa kita, sepadankah?"
"Mengejar Hellizor, itu misinya, Jean. Kau enggak dengar tadi? Privilege satu semester, bisa bentuk apa saja termasuk segala hal yang kau inginkan."
Jean terperangah kemudian semringah, "Benarkah, Lee? Termasuk meminta bertemu dengan Principal?!"
Semua orang memandang Jean melalui sorotan mata keheranan. Jean pun kontan menundukkan kepala, sembunyikan segala urat malunya sekarang.
"Entahlah, bisa jadi. Nah – semoga kalian sukses, guys." Lee mengangkat bahu.
Mai tersenyum, "Sampai bertemu lagi nanti."
Menghela napas panjang, Jean tersenyum sendiri. Kalau dia memenangkan tes ini, privilege satu semester itu bisa dia gunakan untuk bertemu dengan Principal, dan menanyakan segala hal tentang Astraea. Ya – itulah misinya sekarang.
Pasti Principal tahu banyak tentang beliau.
"Aku akan menangkan tes ini." gumam Jean bertekad. Ikut bersiap, menghela napas panjang. Melirik ke sekeliling, kumpulkan keberanian.
Kecuali Carmen, masih memandanginya dengan sorotan mata tak lazim.
"Jean, hati-hati di luar sana. Siapa pun pemenangnya. Semoga kita semua selamat." ucap Margo menepuk pundak Jean. Air mukanya tampak gelisah.
"Kau juga, Go. Hati-hati kalian semua."
"Bersiap tingkat empat!" perintah Declan mengangkat tangan.
Satu menit ke depan, telekinesis dari tangan Declan menggerakan penutup kotak kayu berjeruji besi itu agar terbuka lebar. Beliau memasang senyum lebar, "Happy hunting, berhati-hatilah di luar sana!"
Hellizor pun melesak terbang setinggi langit, naga berkulit hitam itu sempat keluarkan suara dengkungan aneh sembari mengudara untuk berputar-putar. Mengepakkan sepasang sayap lebar dan kokohnya, lantas mengubah wujud ke bentuk aslinya setinggi ratusan kaki.
[ Grrrrrooooaaaaarrrr!! ]
Api merah menyembur dari mulutnya, kala sayap raksasanya terkepak menciptakan serbuan pusara angin ribut di seluruh penjuru daratan gelanggang.
Kedua tangan dan kaki bercakar tajam runcing melengkung, sepasang tanduk mengilap bagai ujung mata pisau, mata reptil keemasan penuh amarah. Sebuah pola garis berapi merah melintas dari mahkota kepala hingga ke ujung ekornya yang dilengkapi serangkaian gerigi.
Moncongnya dipersenjatai oleh barisan gigi setajam silet, napas berapi, sisik-sisik tajam, dan ujung ekor yang juga keluarkan nyala api.
Siapa pun terperangah ngeri, naga itu berukuran raksasa melebihi tingginya kastil.
"Astaga, dia seperti monster yang baru bangkit dari kerak neraka." gumam Jean melongo, keraguan sempat selubungi batinnya. Tangan Jean melindungi pandangannya dari hantaman angin ribut yang bertiup kencang.
Hellizor terbang bebas menjauh, tinggalkan suara-suara geraman memekak gendang telinga.
Semua teman-temannya menghilang, penonton di tribun bersorak-sorai gembira.
"Mari menangkan tes ini." ucap Jean berlari melintasi tengah-tengah lapangan. Tangannya terangkat, sebuah segel berwarna crimson tercipta, meskipun sempat lenyap disapu angin. Jean melakukannya sekali lagi. "Come on, pintu teleportasi bawa aku ke sana!"
[ "Bzzzzzzzzrrrrrtttz!" ]
"Ayo, Jean! Kau pasti bisa!" seru Azael dari tribun khususnya.
Gerbang teleportasinya bekerja dan terbuka lebar sesuai harapannya. Jean sekilas mendengar teriakan Azael di belakangnya, namun waktunya sempit. Punggung Jean lenyap kala pintu teleportasinya tertutup.
Azael terduduk kembali, abaikan pandangan-pandangan yang tertambat padanya. Termasuk pandangan menilai dari wakil principal. Dia lebih cemaskan keselamatan Jean di luar sana. Di hutan belantara yang mengukir sejarah mereka kemarin.
[ "Semoga kau baik-baik saja, Jean" ]
***